Perjalanan kembaraku kali ini kulintas lagi bentang katulistiwa entah yang ke berapa kalinya. Jejak jalan panjang mengais nafkah di kampung seberang. Di perjalanan mengangkasa, seorang ibu bergumul amarah pada anaknya yang masih berusia kanak. Menimpuknya beragam kalimat tak elok dan bergenggam bogem ke tubuhnya yang ringkih.
Laku kasar ibu itu mengingatkanku pada kekasihku yang telah menyapih putra-putrinya selembut kapas dan sehalus sutra. Ia selalu mengingatkanku bila tumbuh kembang anak itu terletak di hati orang tuanya. Hendakkah ia menggoresinya dengan sebilah belati, mencabik hati di bawah alam sadarnya atawa mewarnainya dengan berjuta bunga-bunga yang engkau benihkan dari hatimu yang bening. Terserah kita, ujarnya, pada setiap kesempatan mendiskusikan soal-soal terkait mengawal usia anak-anak dari semua anak manusia.
Ada tangis tergurat perih pada bibir tak bersuara karena terdera takut yang akut. Aku membisikinya seuntai doa di hati ibu itu, semoga engkau menyeduh sepoi angin sejukkan hatimu. Menyapih putrimu yang masih bening sebening embun meniti di dedaun hijau kemilau di pagi hari.
Di tanah basah aku disambut rinai hujan, remahi dan sejukkan batinku. Langkahku kuayun seteguh bukit-bukit tempatku bermukim kini dan mengais nafkah. Beratus langkah, bayang ibu dan anak itu masih menari-nari di kepalaku. Sejuk di sekitarku kukirim padanya lewat doa beserta sepoi angin. Semoga keduanya pun sejuk di hari-hari panjangnya.
Ibu dan anak sebuah kesatuan cinta yang sulit dipisahkan. Makanya, bila seorang ibu melakukan kekerasan kepada anaknya apatah lagi anaknya itu masih tergolong kanak maka perlu mencari benang merahnya. Sebab, umumnya kejadian-kejadian seperti ini tidaklah berdiri sendiri tapi kerap dilatarbelakangi oleh faktor-faktor psikologis yang mendera seorang ibu.
Ibu dan Anak bak matahari dan bulan. Matahari menyuplai cahayanya kepada bulan tanpa jeda dan tanpa pamrih hingga keduanya kembali ke pelukan pemilik-Nya. Bagaimanapun gundahnya seorang ibu pada anaknya, seorang ibu secara spiritual tak hentinya mensuplai atawa memberi doanya pada anaknya, baik yang diverbalkan maupun yang digumamkan di dalam hati. Mengandungnya sembilan bulan dengan sangat enjoy, dengan senang hati, dengan bangga sebagai seorang perempuan, mengerahkan segala kemampuannya baik pisik maupun spiritual, untuk apa? Untuk melahirkan seorang anak atawa generasi yang bajik, generasi yang bisa mengharumkan nama keluarga, bangsa, dan negerinya.
Bahasan di atas adalah ranah parenting. Membincangkan parenting, mungkin saya termasuk yang masih kurang membaca literatur tentang hal tersebut. Tetapi Alhamdulillah saya dan istri telah mengantar lima orang anak menuju jenjang usia dewasa. Anak bungsuku telah memasuki usia semester awal di perguruan tinggi. Sedang kakaknya putri kami yang ke empat akan menyudahi kuliahnya di sebuah perguruan tinggi swasta yang cukup begengsi di kota Malang.
Saya dan istri sangat yakin dan telah berusaha menjalankan sejak awal pesan nabi Muhammad SAW, bahwa “didiklah anakmu sebelum dia lahir”. Pesan ini kuapresiasi dengan laku-laku kami sebelum memasuki jenjang pernikahan. Dan pesan ini juga kami titipkan pada anak-anak kami.
Kemudian dalam proses adaptasi suami istri sejak awal hingga reproduksi terbuahi mesti tetap dikawal dengan laku-laku bajik dan nuansa spiritual yang selalu ruah di jalan-jalan batin setiap pasangan hingga seorang anak atawa generasi baru menghirup udara bumi yang sangat krusial. Bila semua tahapan-tahapan kebajikan secara fisik dan spiritual terejawantah dengan baik maka menurutku sebagai orang tua tidak perlu khawatir pada nasib tumbuh kembang anak kita selanjutnya.
Tinggal kemudian mendampinginya dengan tetap memberinya asupan gizi tampilan dan spiritual. Soal tumbuh kembang anak dan menjadi, tidaklah terjadi begitu saja dengan sim salabim tetapi alur proses sangatlah menentukan untuk sampai kepada muara cinta dan kasih sayang yang mesti inhern pada diri seorang anak.
Proses inilah nampaknya yang tak bisa memisahkan antara seorang ibu, ayah, dan anak. Sebab ibu akan menjadi payung spiritual yang akan menaungi anaknya sepanjang hayat hingga kelak pertemuannya di hari keabadian yang tak berbatas. Sedang ayah dalam proses interasksi dan adaptasinya adalah menjadi benteng peneguh keyakinan di hari-hari panjangnya hingga tiba di masa kebadian. Dua peran dalam proses yang saling sinergi dan berpelukan yang membuatnya mesti tak boleh berpisah. Atas proses-proses inilah sehingga istri saya sedikit kurang sepakat dengan, Khalil Gibran, dalam syairnya yang pilosofis,
“Anakmu bukan anakmu
Mereka putra putri Sang hidup yang merindu pada dirinya sendiri
Berikan cintamu pada mereka, tapi jangan gagasanmu, kerena mereka memiliki gagasan sendiri
Kau boleh membikinkan rumah untuk raga mereka , tapi bukan untuk jiwa mereka
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan
Yang tak bisa kau kunjungi, meski hanya dalam mimpi”
Sebab, anakku adalah anakku. Kami akan memayunginya untuk tidak terbakar oleh centang perenangnya hidup ini. Jangankan dalam mimpi, kami secara bersama dalam kesepahaman spiritual berupaya dengan keras untuk tetap sua di rumah keabadian kelak.
Kasih sayang kami tetap akan saling berpelukan dalam waktu panjang di dunia fana ini. Tak ada waktu untuk tidak saling mendukung dan mendoakan. Upaya-upaya inilah yang kami bangun sejak awal pertalian hubungan kami secara spiritual, ibu dan ayah serta anak-anak sebagai sebuah bangunan yang solid di sebuah rumah damai. Sebab kata para bijak “mencintai anak-anak adalah representasi kecintaan kita pada Tuhan.” Wallahu a’lam bisawab.
http://www.selipan.com/wp-content/uploads/2017/03/ort2.jpg
Penulis. Telah menerbitkan beberapa buku kumpulan esai dan puisi di antaranya Jejak Air mata (2009), Melati untuk Kekasih (2013), Dari Pojok Facebook untuk Indonesia (2014), Tu(h)an di Panti Pijat (2015). Anging Mammiri (2017), Menafsir Kembali Indonesia (2017), Dari Langit dan Bumi (2017). Celoteh Pagi (2018), Di Pojok Sebuah Kelenteng (2018), dan Perjalanan Cinta (2019).