Ayah dalam Episode Kenangan

Oleh Bapak saya pernah diperdengarkan sebuah rekaman suara obrolan dua orang yang sedang bercakap-cakap. Suara laki-laki dewasa dan seorang anak perempuan kecil usia sekitar 3 tahunan yang terdengar ceriwis dan kritis. Saya bertanya ke Ibu itu rekaman suara siapa? Ternyata anak kecil dan orang dewasa dalam rekaman kaset tersebut adalah suara saya dan Bapak. Beliau rajin mengabadikan momen kanak-kanak kami dalam bentuk kaset rekaman.

 

Saya bisa membaca sebelum usia SD,  atas jerih payah Bapak. Saya pun sudah bisa melafazkan huruf-huruf Hijaiyah dengan baik dan jelas pada usia tersebut. Dalam bayang-bayang ingatan yang belum terlalu jelas saya sering ikut beliau ke masjid dan tinggal di sana beberapa waktu setiap selesai salat Magrib untuk mengajari mengaji beberapa anak-anak kecil. Saya duduk di samping Bapak menunggunya selesai mengajar. Sesekali saat murid-muridnya ada yang kesulitan melafazkan sebuah huruf, Bapak akan berbalik ke saya meminta saya untuk mencoba menyebutkannya dengan tepat. Sembari show of force saya pun  dengan bangga menyebutkannya.

 

Jelang kelas 3 Sekolah Dasar, kami harus pindah meninggalkan desa mengikuti Bapak yang bekerja di sebuah perusahaan asing di Sorowako. Perpindahan itu membutuhkan banyak usaha yang sangat besar dan serius. Bagaimana proses adaptasi lingkungan dan budaya yang jauh berbeda sempat membuat saya mogok sekolah. Atas usaha Bapak yang tidak main-main saya bersama saudara-saudara  lainnya berhasil melewati masa-masa sulit tersebut. Peran Ibu di mana? Banyak, hanya untuk kali ini saya ingin menggali ingatan khusus untuk Bapak.

 

Bapak adalah sosok yang perhatian dan peduli pada tumbuh kembang anak-anaknya saat masih bayi hingga balita. Setiap pagi kami dijemurnya di bawah sinar matahari pagi demi memperolah vitamin D katanya. Bubur bayi dengan kandungan gizi yang seimbang pun rajin diramunya agar anak-anak dapat tumbuh sehat meskipun dengan bahan-bahan makan yang murah saja. Maklum, saat kami lahir, anak pertama hingga ketiga, Bapak belum memperoleh penghasilan tetap. Sehingga upaya untuk mencukupkan gizi anak-anaknya harus dilakukan dengan cara seirit mungkin.

 

Bapak juga seorang pembelajar sejati. Setiap malam kami biasa mengintip aktivitasnya di balik meja kerjanya. Membaca buku-buku atau melatih pronounciation sering dilakukannya pada malam hingga dini hari. Disiplin dan keteraturan waktunya terus terbawa hingga masa jelang pensiunnya. Satu hal yang menjadi cita-citanya dan belum tercapai hingga akhir hayatnya, adalah menulis buku. Dan itu akan dilakukannya untuk mengisi usia tuanya di tengah lautan buku sebagai perpustakaannya.

 

Beliau pensiun dalam karirnya sebagai guru. Sebuah profesi yang mungkin tidak masuk dalam cita-citanya. Entahlah. Karena jalur akademiknya tidak merujuk kepada jalan itu. Bapak tidak selesai kuliah, hanya sampai tingkat tiga fakultas ekonomi di sebuah perguruan tinggi negeri di Makassar. Meskipun tidak pernah menempuh jalur pendidikan guru, tetapi beliau dipercaya oleh yayasan sekolah untuk mengajar beberapa bidang studi yang terbukti dikuasainya. Agama, akuntansi, bahasa daerah, bahasa Inggris, dan keterampilan mengetik. Kelak beberapa dari keterampilan beliau bisa saya rasakan manfaatnya hingga usia dewasa kini.

 

Kendati tidak didapuk sebagai guru musik, namun Bapak terkadang diminta unjuk kebolehan bernyanyi sambil bermain gitar di atas panggung sesekali. Kemampuan baca notasi angka dan balok pun tak diragukan. Terkadang untuk mengetahui not sebuah lagu saya hanya cukup menyanyi dengan baik di depannya. Bapak pun segera bisa menyebutkan notasinya dengan tepat. Yang penting menyanyi tidak dengan suara fals.

 

Satu pesan yang masih selalu terngiang di telinga dan ingatan kami, Bapak tidak pernah mau berkompromi dengan ketidakjujuran. Integritas adalah hal nomor satu. Sehingga menurunlah kepada kami anak-anaknya. Hal sederhana yang sering kali dijadikan contoh adalah soal menyontek. Kami dilarang keras untuk melakukan perbuatan curang ini saat ulangan atau ujian. Bahkan meski Bapak juga adalah guru kami, akan tetapi dalam penilaian ulangan atau tugas sehari-hari, bukan. Alhasil pesan dan sikap tersebut terbawa hingga kini dalam menjalani hidup sehari-hari.

 

Jika Bapak mendapat tugas diutus untuk keluar kota oleh yayasan sekolah, maka beliau akan memanfaatkan fasilitas yang diberikan sesuai peruntukannya. Tidak ada permainan hitam di atas putih. Yang dilakukan berbeda, yang dituliskan pun lain pula. Bahkan pernah ada salah sebuah partai besar dan sangat berpengaruh di negeri ini yang dengan arogannya menempeli rumah-rumah warga dengan stiker partainya, tanpa peduli apakah penghuni rumah tersebut salah seorang partisipannya. Dengan tegas dan spontan Bapak mencabut dan membuangnya. Begitu pula kala pengguna jilbab mendapat penentangan dari berbagai penjuru termasuk dari sekolah, dengan tegas dan jelas Bapak menyatakan sikapnya.

 

Bapak telah berpulang 17 tahun lampau. Namun kehadirannya masih tetap saya rasakan lewat mimpi-mimpi dan petuah-petuahnya. Beliau berpulang setelah menempuh perjalanan nikmat sakit yang serius. Dan ia melewatinya dengan riang dan suka cita. Tercermin dalam gubahan syair lagunya yang menunjukkan betapa sakit adalah karunia dan anugerah dari Allah Sang Maha Penyayang. Alfatihah untukmu, Ayah.

 

Selamat Hari Ayah…

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *