Kepiawaian dalam berkomunikasi menjadi syarat mutlak bagi seorang figur publik. Bahkan pun pada level yang lebih sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi menjadi penanda paling jelas bahwa manusia adalah makhluk sosial. Bagaimana pun cara komunikasinya.
Terkhusus bagi seorang figur publik. Kekeliruan dalam penggunaan kata dan penyusunan kalimat bisa berakibat fatal. Sebut saja kasus yang menjerat Ahok perihal pidatonya di kepulauan seribu. Terlepas dari persoalan benar beliau menista agama atau tidak dalam hal ini ada sebagian pihak yang merasa dan karenanya mendakwa Ahok menista agama Islam.
Tentunya tulisan ini tidak sedang mempersoalkan kasus hukum yang menjerat Ahok. Apalagi menggugat putusan hukumnya. Tulisan ini sekadar menyoroti beberapa hal yang melatarbelakangi konten serta muatan dari seorang komunikator secara umum.
Seyogyanya komunikasi apapun bentuknya mengandung muatan kepentingan dari si subjek. Paling tidak, ya, iseng atau sekedar basa-basi. Berangkat dari definisi maupun tujuan komunikasi itu sendiri (untuk definisi silahkan googling sendiri).
Pada pidato Ahok di kepulauan seribu misalnya. Walau kunjungan beliau pada waktu itu dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik namun latar konteks saat itu juga menjelang pilkada DKI Jakarta. Sehingga pidatonya bernuansa “kampanye terselubung”. Pidato bermuatan propaganda colongan dalam upayanya mempengaruhi segenap hadirin yang ada dengan me-reinterpretasi ayat di surah al-maidah [51] yang viral digunakan untuk menyerang beliau.
Atau perhatikan gaya komunikasi Anies Baswedan. Betapa menggugah ketika masa kampanye dan debat publik. Sering kita dengar pantun maupun puisi serta interpretasi segar dari dogma-dogma klise yang terlanjur di-amini masyarakat. Sayangnya tidak kita temui lagi semangat itu ketika beliau sudah menjabat Gubernur DKI. Jika kita perhatikan secara seksama, betapa kontras perubahan komunikasi Anies sebelum dan sesudah menjadi gubernur.
Begitulah komunikasi massa. Demikian itulah figur publik. Komunikasi memiliki maksud dan tujuannya. Apakah itu sifatnya sebuah pencerahan (positif), propaganda hoax (negatif), dalam upaya pengalihan isu, atau sebuah klarifikasi. Keberhasilan komunikasi juga bergantung pada ketepatan penggunaan bahasa berikut gaya bahasa si komunikator. Maksudnya, jangan menggunakan bahasa langit untuk kalangan bawah tanah. Sebisa mungkin pergunakan bahasa yang sesuai.
Lebih lanjut, pada komunikasi seorang figur publik muatan dan nuansa konten komunikasi sangat bergantung dengan identitas yang melekat. Dan berdasarkan itu (identitas) menentukan sudut pandang dan kepentingan pandang (interest) si komunikator atau seorang figur publik.
Dilihat dari kerangka berpikir di atas, maka menjadi tidak mengherankan perubahan gaya komunikasi yang dilakukan Anies. Segar, kritis, bersemangat ketika kampanye tetapi “old school” ketika sudah menjabat. Sebagaimana kita sudah tidak kaget dengan perubahan gaya komunikasi misalnya seorang aktivis LSM atau mahasiswa yang hilang daya kritisnya ketika sudah masuk ke ranah politik, atau perubahan gaya komunikasi seorang caleg baik saat masa kampanye maupun setelah rilis dari KPU.
Mungkin sudah sering kita temui bagaimana perubahan gaya komunikasi dari seorang figur publik di berbagai kesempatan. Mungkin juga karena seringnya perubahan itu sehingga kini kita menjadi mafhum. Sehingga diam-diam kita kangen seorang figur publik yang konsisten sebagaimana gegap gempitanya Bung Karno sebelum maupun sesudah menjadi Presiden atau easy going nya Gus Dur. Bahkan ketika beliau dilengserkan.
Tenggarong, 17 November 2017.