—Catatan pendek, 40 hari wafatnya Kakanda Syamsuri Ismail
Siang jelang sore, Senin, 16 Oktober 2017, salah satu anggota di group WA-ku mengabarkan bila seorang lelaki yang sepanjang hayatnya menempuh hidup sederhana walaupun sejak usia muda secara ekonomi beliau bisa dikatakan mapan, telah wafat menyeberangi kehidupan abadi. Sejenak aku tertegun mengenang pertemuan terakhirku beberapa hari sebelumnya. Sebelum aku kembali mengais nafkah di kampung seberang jauh dari keluarga dan kota kelahiranku. Dalam kesibukanku melakukan kerja-kerja di kantor, tebing-tebing pipiku dilelehi air hangat dalam hening hati perih.
Kakakku telah mendahuluiku. Dia bukan kakak biologisku tapi kakak yang menautkan “idealisme” hidup di sepanjang hayatnya dan banyak memengaruhi jejak hidupku. Dunia medsos di jaringanku hari itu dilanda duka. Ucapan belasungkawa tebar di mana-mana, dari tulisan dalam bentuk esai hingga tulisan pendek mengurai. Sedang aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali berdoa dan mengiriminya al Fatihah di kejauhan secara fisik walau batinku ada di sana nun jauh.
Saya mengenalnya di pertengahan tahun delapan puluhan kala aku memulai satu tahap dalam jejak hidupku yang secara tak sengaja berjalan di labirin hidup dan menemui orang-orang baik dan berlimpah semangat di labirin itu. Di sebuah organisasi mahasiswa extra kampus aku mengenalnya sejak awal. Rasa empatinya pada anak muda (mahasiswa) yang ingin melakukan perubahan-perubahan dan memberi makna dalam hidup ini, sangat tinggi dengan berbagai apresiasi yang diberikannya.
Yang agak khas dari penampilan fisiknya adalah, hampir sehari-harinya berpakaian yang bernuansa putih, jauh sebelum Presiden Joko Widodo dan beberapa politisi negeri ini menjadikan baju putih sebagai citra kesederhanaan dan keseharian mereka. Jarang memakai sepatu. Dalam menyesap makanan apa saja tidak pernah berlebihan. Suka berbagi dalam berbagai hal.
Suatu sore di sekretariat organisasi mahasiswa yang baru saja aku terdaftar sebagai anggota, setelah beberapa hari mengikuti proses basic training. Aku duduk di beranda mushola kala beliau datang dengan motor vespa warna putihnya bersama senyumnya yang khas. Setelah memarkir vespanya ia berjalan mendekatiku dan memberiku sebuah buku berjudul “Menjangkau Dunia” yang ditulis oleh, Sritua Arief dan Adi Sasono. Tentu bahagiaku melimpah sebab aku merasa sangat diapresiasi, diperhatikan, dan disupport. Laku kecil ini sangat berkesan hingga kini, apatahlagi kala itu aku masih anak bawang yang baru dibait menjadi anggota organisasi mahasiswa islam itu.
Bila memberi reward bagi kawan-kawan yang berprestasi atawa dianggap konsisten menyikapi sesuatu yang dianggap prinsip, jangan harap atawa jangan menunggu diberi uang tunai, tapi beliau akan memberimu sesuatu yang kita butuhkan, dan nampaknya hal-hal yang detail seperti itu tak pernah luput dari pengamatannya untuk adik-adiknya. Tapi, bila anda mencederai kesepakatan-kesepakatan yang bernuansa komitmen dan moralitas yakinlah anda akan dijauhinya.
Saya dengan beberapa kawan dari berbagai perguruan tinggi yang berhimpun di organisasi mahasiswa tempat kami aktif kala mahasiswa, sangat intens berhubungan dan karib dengannya. Kerap di waktu-waktu libur kuliah kami diajaknya membantu usaha tambak keluarganya di kampung, semisal mengantar berton-ton pupuk dan pakan ikan ke kampungnya, dsb-nya. Bukan membantu dan bekerjanya yang unik, tapi, pemberian “upahnya” yang tidak pernah langsung. Seolah upah itu dia kumpulkan dengan daya ingatnya yang sangat kuat, nanti setelah kami punya kebutuhan yang mungkin jumlahnya besar barulah beliau berikan tunai, dan kami kerap bingung dengan pemberian tersebut. Dan dengan enteng dan sederhana beliau menjelaskan bahwa uang ini adalah upah sejak kamu membantu usaha kami walaupun sifatnya temporary. Termasuk jelang pernikahanku, beliau mendukungku dengan dana yang cukup untuk melaksanakan pernikahan. Kala kutanya, beliau hanya berujar santai, dana itu adalah tabunganmu sejak beberapa lama engkau membantuku dalam usahaku. Padahal, kami dengan kawan-kawan ikhlas membantunya sebagai kakak yang mensupport dan menginspirasi.
Hingga aku berkeluarga hubungan kami tetap intens dengan gaya hidup yang tetap “nyeleneh” dan sederhana. Bila ingin memberi uang ke istriku dilakukannya dengan unik dan tidak biasa. Memberi uang dengan jalan membuat kue atau penganan lainnya, tentu tidak sebanding dengan nilai nominal rupiahnya dengan nilai atawa harga kue atau penganan lainnya yang dibuat istriku.
Konon kakak yang satu ini sejak awal dia jejakkan kakinya di perguruan tinggi terbesar di timur Indonesia tempatnya mengais ilmu dan menjadi mahasiswa super aktif sejak tahun tujuh puluhan, telah tiga kali berpindah fakultas di perguruan tinggi yang sama. Terakhir menyelesaikan studinya di fakultas hukum setelah sekian lama menempuhnya karena aktif di organisasi intra dan extra kampus. Beliau pula menjadi penghubung lintas generasi di organisasi hijau hitam itu. Semangat juangnya tak pernah luruh mendampingi adik-adiknya. Menjadi perekat antar generasi, sebab Ia dikenal sebagai lelaki sederhana dan baik serta diapresiasi oleh semua termasuk mungkin yang kurang sependapat dengan pikiran-pikiran dan sepak-terjangnya selama ini.
Suatu sore setelah siang harinya aku melihat postingan seorang kakak senior yang lain tentang keadaannya yang didera sakit akut di sebuah rumah sakit di Makassar, aku menjenguknya. Aku melihat ia terbaring kuyub dengan mata sayu. Hatiku gundah melihatnya tak berdaya dan meringis menahan sakit. Kala menjabat tangannya dan menciumnya, kalimat pertama yang ia sampaikan, mana istrimu dan kujawab apa adanya bahwa dia punya janji dan ketemu dengan kerabatnya. Di matanya masih kulihat semangat yang buncah kendati secara fisik nampak telah kulai.
Rupanya pertemuan di rumah sakit itu adalah pertemuan terakhirku di alam fana ini. Sepekan setelah pertemuan itu ia menghebuskan nafasnya yang terakhir dan aku tak berada di kotaku di mana ia juga berdomisili. Aku jauh di kampung seberang mengais nafkah. Innalillahi wa’inna ilaihi roji’un, sesungguhnya kita berasal dariNya dan akan kembali padaNya. Dari kampung seberang aku hanya bisa mengirimkan doa dan alfatihah untuknya sebagai hadiah dalam mengarungi hidup selanjutnya.
***
Dalam “Tadzkiratul Auliya”, Fariduddin Attar mengisahkan kematian Rabi’ah Al Adawiyah, “ketika tiba saatnya Rabi’ah harus meninggalkan dunia fana ini, orang-orang yang menungguinya meninggalkan kamarnya dan menutup pintu kamar itu dari luar. Setelah itu mereka mendengar suara yang berkata “wahai jiwa yang damai, kembalilah kepada Tuhanmu dengan berbahagia.”
Beberapa saat kemudian tak ada lagi suara yang terdengar dari kamar Rabi’ah. Mereka lalu membuka pintu kamar itu dan mendapatkan Rabi’ah telah berpulang.
Setelah Rabi’ah meninggal dunia, ada yang bertemu dengannya dalam sebuah mimpi. Kepadanya ditanyakan.
“Bagaimana engkau menghadapi Mungkar dan Nakir?”
Rabi’ah menjawab: “kedua malaikat itu datang kepadaku dan bertanya: “siapakah Tuhanmu?”
Aku menjawab: “pergilah kepada Tuhanmu dan katakan padaNya: di antara beribu-ribu makhluk yang ada janganlah Engkau melupakan seorang perempuan tua yang lemah. Aku hanya memiliki Engkau di dunia yang luas, tidak pernah lupa kepadaMu, tetapi mengapakah Engkau mengirim utusan sekedar menanyakan “Siapa Tuhanmu’ kepadaku?”
Penulis. Telah menerbitkan beberapa buku kumpulan esai dan puisi di antaranya Jejak Air mata (2009), Melati untuk Kekasih (2013), Dari Pojok Facebook untuk Indonesia (2014), Tu(h)an di Panti Pijat (2015). Anging Mammiri (2017), Menafsir Kembali Indonesia (2017), Dari Langit dan Bumi (2017). Celoteh Pagi (2018), Di Pojok Sebuah Kelenteng (2018), dan Perjalanan Cinta (2019).