Hampir tak ada orang yang mampu memperkirakan kondisi yang dialami manusia saat ini. Kondisi yang begitu menakutkan, tidak hanya menakutkan bagi peradaban manusia, tapi juga mengerikan bagi eksistensi manusia. Tak heran jika akhir-akhir ini banyak yang membicarakan tentang periode akhir zaman, meskipun pada saat yang sama kita tak tahu kapan akhir zaman itu.
Ketakutan ini bukan sesuatu yang tidak beralasan sebab begitu banyak tanda-tanda yang sulit kita pahami, seperti perubahan iklim yang ekstrim yang seolah sudah tidak bersahabat lagi dengan manusia, seperti virus-virus menakutkan karena mematikan manusia secara massif, sumber-sumber alam yang sudah mulai menipis bahkan habis, dan juga tentang sistem-sistem yang sebelumnya dibangun oleh manusia sudah mulai berjatuhan, baik itu sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem peradilan, karena “uang” menjadi pengendala penting dan segalanya untuk saat ini. Bahkan manusia mampu menciptakan ‘kecerdasan artifisial’ yang pada akhirnya meragukan eksistensi kemanusiaan kita.
Mungkin sudah saatnya kita mulai bertanya kembali dan menanyakan, apa sebenarnya hakikat manusia? Mana yang dimaksud dengan esensi manusia? Sebab kemanusian kita hari ini sedang mengalami kematian dan kesirnaan secara perlahan-lahan. Gagasan-gagasan sebelumnya sudah tidak mampu lagi menjawab persoalan masa kini. Gagasan agama, teologi, dan filsafat yang ada pada periode sebelumnya seolah sudah tidak menemukan ruang kontekstual di masa kini. Jika kita tetap memaksakan menjawab persoalan hari ini dengan jawaban-jawaban masa lalu, berarti kita telah gagal membaca masa kini karena pemikiran dan imajinasi kita hanya ada masa lalu, jika pun toh masa kini itu ada, hanya dipandang sebagai masa lalu.
Pada manusia dahulu masih terlihat hubungan kemanusiaan yang begitu hangat dan erat. Tak ada kecurigaan yang begitu besar antar sesama manusia. Saat itu hati masih mampu menjadi tali pengikat dan tali penyambung dalam melihat persoalan manusia dan kemanusiaan. Namun saat ini seolah segalanya telah sirna seiring dengan kemajuan teknologi. Media sosial menjadi alat pembunuh karakter kemanusiaan kita yang paling ampuh. Setiap orang bisa menjadi pembunuh karakter seseorang di media sosial dengan begitu mudah dan massif, bahkan tanpa orang itu menyadarinya sama sekali. Media sosial telah berperan aktif mengubah manusia menjadi zombie dan mengajak orang lain agar menjadi zombie yang mampu membunuh karakter seseorang dalam tempo yang sangat singkat.
Kemajuan teknologi yang telah dicapai manusia saat ini tak pernah dibayangkan oleh manusia di masa sebelumnya, akan tetapi apa yang manusia raih saat ini justru menjadi ancaman untuk kemanusiaan kita di masa kini dan masa datang. Jika kita mencoba bertanya lebih jauh, kira-kira apa yang menyebabkan sehingga kemanusian kita menjadi seperti sekarang ini?
Mungkin karena saat ini kita tidak lagi hidup sebab “hidup” telah menjadi bagian dari pekerjaan dan kesibukan kita. Di saat hidup telah menjadi bagian dari kesibukan, kita akan terasing dari diri kita sendiri dan berubah menjadi manusia dengan satu dimensi saja. Manusia satu dimensi adalah manusia yang hanya memaknai segalanya dari aspek materi semata. Ukuran segala sesuatu adalah materi.
Artinya kita telah melupakan alegori gua Plato. Manusia yang begitu lama hidup di dalam kehidupan gua sehingga tak mampu lagi membedakan mana esensi manusia yang sejati dan mana esensi manusia yang palsu. Manusia yang tenggelam dalam keseharian perumpamaannya seperti manusia yang begitu lama hidup di dalam kehidupan gua sehingga tak sadar bahwa apa yang dia saksikan di dalam gua karena pantulan cahaya hakikat manusia yang sejati.
Benar kata Leo Tolstoy, “saat badan manusia ingin dioperasi, orang itu harus dibius hingga tak sadarkan diri, namun saat ruh manusia ingin dibetulkan, orang itu justru harus dibangunkan yakni disadarkan”.
sumber gambar: www.pelitabanten.com
Muhammad Nur Jabir, lahir di Makassar, 21 April 1975 Pendidikan terakhir: S2 ICAS – PARAMADINA. Jabatan saat ini: Direktur Rumi Institute Jakarta. Telah menulis buku berjudul, Wahdah Al-Wujud Ibn ‘Arabi dan Filsafat Wujud Mulla Shadra.