Senja telah berakhir. Garis merah di langit barat mulai memudar. Gelita merayap pelan memeluk bumi. Sang kala merangkak-rangkak. Pelan, lambat tapi pasti. Dan akhirnya malam betul-betul runtuh ke bumi. Di langit, bintang gemintang merekah senyum. Tapi tidak demikian dengan sepotong bulan di akhir Muharram itu, lesu mengapung di balik awan.
Tepat pada saat itulah, Faizal menginjakkan kakinya di tanah. Pendar lampu jalan menimbulkan bayangan tubuhnya yang memanjang. Lelaki ceking itu baru saja turun dari mobil bus yang ditumpanginya. Kota Telaga Indah, itulah tempat yang tanahnya dijejaknya kini. Sejenak Ia membiasakan diri dengan suasana. Situasi yang mulai gelap membuatnya tak bisa segera mengenali keadaan. Udara dingin menyergapnya. Faisal segera mengenakan jaket yang tadi disampirkan ke pundaknya. Tangannya menyisir rambutnya yang telah diacak-acak angin sejak berada di bus tadi.
Saat itulah, telinganya jelas mendengar suara azan yang sudah mau berakhir. Terdengar dari mana-mana dan bersahut-sahutan. Di dekat tempatnya berdiri dia mendengarkan azan itu dari dua masjid. Satu terdengar dari pelantam yang berada di menara masjid yang menjulang persis di sisi jalan di mana ia berdiri. Satunya lagi terdengar dari seberang jalan, sedikit ke arah kiri. Beberapa jenak Faisal menatap dua masjid yang memancang mengapit jalan di mana ia kini sedang tegak. Lalu bergegas Faisal belok kanan, masuk ke masjid yang ada di sisi itu.
Faisal baru saja memasuki halaman masjid itu, ketika dari arah samping seorang tua berpakaian putih lusuh, bersongkok hitam yang mulai pudar warnanya dan bersarung hitam melambaikan tangan.
“Tunggu anak muda, aku ingin bertanya?”. Orang tua itu memanggil Faisal dengan suaranya yang serak sambil melangkah tergopoh-gopoh.
Faisal menghentikan langkahnya menanti kedatangan orang tua itu. Melihat sikapnya yang tergapah-gopoh , jelas ada sesuatu yang penting.
“Anak muda, magrib telah tiba, di mana kita bisa melaksanakan salat?”. Tanya orang tua itu. Matanya yang bulat berputar-putar memandang sekeliling. Mata itu mencari-cari sesuatu.
Faisal menatap orang tua itu dengan bingung. Pikirannya buncah. Bukankah di depan mata orang tua ini menjulang masjid dengan jelas sekali? Bahkan tidak jauh dari masjid yang akan dimasuki Faisal, di seberang jalan juga memancang masjid yang tak kalah megahnya. Faisal dengan terheran-heran memperhatikan orang tua ini. Tubuhnya tidak terlalu tinggi. Wajahnya beberapa bagian telah muncul keriput namun bersih, jelas bukan gelandangan. Matanya yang agak besar seperti bersinar-sinar. Baju putih yang dikenakan sudah agak lusuh, demikian halnya dengan sarung hitamnya. Songkok yang hitamnya sudah agak pudar dan sudah mengarah pada warna coklat disungkupkan sekenanya di kepala, nangkring agak miring ke kiri. Warna coklat itu semakin coklat bahkan sudah mengarah ke warna merah pada bagian bawah, tepi dari songkok itu. Mungkin karena sering terkena air saat berwudu.
“Mungkinkah matanya buta?” Demikian batin Faisal. “Tetapi bola matanya bergerak-gerak seperti mencari-cari sesuatu, berarti Ia melihat?” Bantah Faisal sendiri dalam hatinya.
“Tapi ah…biar aku mengetesnya”. Katanya kemudian. Dalam hati tentunya.
Perlahan tangannya diangkat lalu digoyang-goyangkan di depan muka orang tua tersebut.
“Hei anak muda mengapa malah menggoyang-goyangkan tanganmu di depan mukaku, aku mencari tempat untuk salat”. Sahut orang tua itu tiba-tiba. Meski sebelumnya Faisal sudah memperkirakan orang tua ini melihat, tapi ditegur orang tua atas sikapnya itu, Faisal sampai surut satu langkah ke belakang saking kagetnya. Maka sambil terbata-bata Faisal berkata;
“Maaf…..maaf ….pak, aku eh…iya, ini di depan bapak kan ada masjid, aku juga mau masuk salat di masjid ini”
“Mana…mana….aku tak melihat ada masjid, tidak ada….tidak ada….”. Seru orang tua tersebut. Suaranya mengedau di tengah kesunyian menunggu iqamat. Beberapa orang menoleh ke arah mereka.
Nalar Faisal betul-betul buncah. Ia menatap orang tua itu dengan mulut menganga. Tiba-tiba dilihatnya seseorang memberi isyarat kepadanya. Jari telunjuk tangan kanan orang itu diletakkan menyilang di dahinya, sambil menunjuk ke arah orang tua. Setelah dua kali isyarat yang sama dilakukan orang itu dari jauh. Faisal langsung paham. Orang tua di depannya ini gila rupanya. Bergegas Ia meninggalkan orang tua itu. Melangkah cepat mencari tempat berwudu.
“Di mana masjid….aku mau salat, tapi masjid tidak ada. Ya Allah tunjukkan padaku letak masjid-masjidmu, kenapa tiba-tiba semua masjid raib di negeri ini….”
Samar-samar masih didengarnya orang tua itu berteriak-teriak mencari masjid. Faisal tidak menghiraukannya lagi. Buru-buru dia mengambil air wudu. Iqamat sudah mulai disuarakan oleh muazin.
Salat berjamaah di masjid itu dihadiri oleh hanya segelintir manusia. Sedikit lebih cepat dari salat jamaah yang pernah diikuti oleh Faisal sebelum-sebelumnya. Tanpa zikir bersama setelah salat. Bahkan begitu selesai salam, salah seorang jemaah salat yang duduk di saf depan, persis di belakang imam, berdiri. Mengenakan songkok putih, serban putih menggantung di bahu serta baju koko terusan, panjang sampai di pertengahan betisnya. Sejumput janggut, atau tepatnya beberapa helai rambut yang tumbuh segan, mati pun tak hendak, bergelantungan di dagunya.
“Jemaah salat magrib yang dirahmati Allah,” demikian orang berjanggut segan ini memulai pidato atau ceramah, atau sekedar memberi informasi. Entahlah, dengar kan saja.
“Masjid kita butuh kembali pemugaran, kita akan membangun lantai dua. Rencananya menara masjid kita, akan dibuat lebih menjulang lagi”. Begitu orang berjanggut segan itu melanjutkan pidato, eh tepatnya pengumuman rupanya.
“Masjid adalah rumah Allah, jangan mempermalukan Allah dengan masjid yang tak lapang. Tidak terlihat keagungannya. Apalagi jika di sekitarnya ada rumah ibadah umat agama lain yang lebih agung, lebih indah dan lebih segala-galanya. Tidak boleh….tidak boleh ada yang melebihi keagungan rumah ibadah kita di tanah ini! Di tempat lain, jika ada rumah ibadah umat lain lebih besar, lebih agung dan lebih indah, bukan urusan kita. Tapi di tanah ini….!!!”. Orang ini menjeda sejenak ucapannya. Padangan matanya menyusuri jemaah yang hadir di tempat itu yang duduk menyimak dengan takzim. Ia seperti ahli pidato ulung yang memberi jeda pada pendengar agar penasaran. “Di tanah ini, tanah Allah, tanah umat muslim… tidak boleh ada kejadian semacam itu.” Katanya kemudian.
Jemaah salat magrib yang hanya segelintir itu mangut-mangut. Mereka sepertinya setuju 100 % dengan ucapan orang berjanggut segan itu. Sebaliknya Faisal yang juga berada di tengah-tengah mereka malah celangak-celinguk memperhatikan masjid. Kagum bercampur heran. Masjid ini sudah luas, saking luasnya orang yang sedang salat berjamaah magrib saat ini ibaratnya hanya sejumput rumput dalam lapangan bola yang luas. Masjid ini pun tak kalah indahnya dengan masjid-masjid agung yang pernah dilihatnya di beberapa kota. Tiang-tiangnya kokoh menjulang, diukir dengan kaligrafi. Tegelnya mungkin dari pualam karena berkilat-kilat di timpa sinar lampu. Mimbarnya dari kayu hitam yang diukir indah. Sekujur dinding masjid dipenuhi dengan kaligrafi. Tepatnya di tengah-tengah masjid, lampu-lampu hias yang klasik-elok menjulur-julur ke bawah.
“Kenapa dianggap tidak lapang, dan kenapa pula dianggap kurang agung?” Tentu saja pertanyaan itu hanya disimpan dalam hatinya. Sebenarnya ia ingin berbisik, bertanya pada orang di sebelahnya. Tapi orang yang di sebelahnya dilihatnya terlalu khusyuk mendengar penyampaian orang berjanggut segan itu. Kepalanya berulang kali mangut-mangut. Barulah Faisal sadar bahwa orang di sebelahnya bukannya menyimak tapi justru terkantuk-kantuk, bahkan mungkin tertidur, ketika sang janggut segan bertanya padanya.
“Bagaimana pak Setya, berapa Bapak akan sumbang, bukankah Bapak mau menjadi calon kepala desa dalam pemilihan tahun depan?” Apa kata khalayak kalau masjid di desa Bapak ini tidak terlihat agung dan indah. Apalagi peresmian bapak sebagai calon kepala desa kan dilakukan di masjid ini”. Tiba-tiba terdengar orang berjanggut segan itu bertanya.
Orang di sebelah Faisal itu tersentak, mengucek sejenak matanya lalu dengan buru-buru menjawab.
“Saya siyap 50 juta saja dulu”….
“Subhanalah…..,” terdengar serentak suara menyucikan Tuhan dari dalam masjid itu.
***
Siang itu, Faisal menyusuri kota Telaga Biru. Ia memang mendapat tugas riset tentang Kehidupan dan Keberagamaan Masyarakat Telaga Biru. Sepanjang perjalanan ia menyaksikan beberapa masjid-masjid besar yang memancang kokoh. Ada 2 atau 3 gereja, dan 1 klenteng. Menariknya setiap ada gereja, maka di sekelilingnya ada setidaknya dua masjid yang memancang kokoh. Seakan mengepung gereja. Gereja yang tidak seberapa besar itu pun seakan-akan tenggelam di bawah bayang-bayang kemegahan masjid.
Sementara di sekitar Klenteng juga demikian adanya. Klenteng ini terlihat memang cukup megah. Dengan ornamen-ornamen cina yang artistik, Klenteng ini tampak menantang kekudusan masjid-masjid di sekitarnya. Tetapi dua masjid yang berada di dekatnya. Memancang lebih tinggi, besar dan gagah. Letak Klenteng ini sendiri ternyata tak jauh dari masjid yang di tempati magriban oleh Faisal, saat hari pertama menginjakkan kakinya di kota Telaga Biru ini.
Tapi ada satu hal eh…dua hal yang mengganggu pandangan mata dan pikiran Faisal. Pertama-tama Ia menyaksikan di sepanjang penelusurannya di kota ini, berderet-deret rumah-rumah reyot dan kumuh. Terjepit di antara rumah-rumah besar dan mewah atau bahkan berada di sekitar naungan menara-menara masjid yang tegak memancang. Anak-anak tak berbaju dengan perut buncit-buncit berlarian di halaman rumah mereka yang sempit. Bisa dipastikan perut mereka yang buncit bukan karena kekenyangan, soalnya selain perutnya yang buncit, yang lain di badannya hanya tulang berbalut kulit. Beberapa yang lain memilih bermain bola di sisi jalan. Sesekali ada satu-dua di antara mereka melongok ke pekarangan masjid yang luas dan dipenuhi rumput. Sangat cocok untuk berlari-lari sambil menendang bola. Tapi tidak mungkin, pagar terkunci. Lagi pula di situ dengan jelas ada tulisan “Dilarang Berlarian Apalagi Main Bola di Halaman Masjid.” Masjid adalah tempat beribadah, rumah Tuhan yang Agung, bukan tempat bermain-main, meski pun itu hanya di halamannya. Mungkin begitu maksud dari larangan itu.
Selain itu, sepanjang ia menelusuri kota, Ia tidak pernah melihat lapangan bola, lapangan voli atau lapangan olahraga lainnya. Mulanya Ia menyangka, belum sekujur kota Ia jajaki. Mungkin di satu sudut ada stadion olahraga yang lengkap lapangan untuk berolahraganya. Tapi ketika Ia bertanya pada seorang anak muda soal lapangan olahraga ini, anak muda itu menggeleng. “Tidak ada…tidak ada lapangan olahraga di kota ini. Dulunya ada tapi sudah dibangun masjid di sana. Masjid kebanggaan kota ini”. Begitu kata anak muda itu.
Saat menyusuri jalan-jalan kota itulah tiba-tiba Faisal kembali bertemu orang tua gila yang pernah mencari-cari masjid yang hilang. Pakaian orang tua itu tetap sama dengan yang dia kenakan saat pertama kali bertemu dengannya. Bedanya kali ini orang tua itu tidak berteriak-teriak mencari masjid. Mulutnya bungkam, tapi tangannya sibuk menempelkan kertas-kertas di dinding rumah, di pagar masjid, di tiang listrik, bahkan di punggung orang. Orang yang ditempeli punggungnya gelagapan, ngomel-ngomel dan berusaha mencabut kertas yang ditempel di punggungnya. Orang tua gila itu sendiri hanya tertawa terkekeh-kekeh. Orang gila ini bahkan berusaha memanjat pagar sebuah masjid. Rupanya Ia berniat menempel kertas yang dibawanya di dinding atau di papan informasi masjid tersebut. Penjaga masjid melihatnya dan buru-buru mengusirnya.
Faisal mendekat ke salah satu kertas yang di tempel di salah satu pagar masjid. Ia tersenyum geli setelah membaca tulisan di kertas itu. “Masjid, rumah Allah, tempat merendahkan hati, kini telah ditemukan, datanglah untuk syukuran. Ba’da Ashar hari Jum’at! Jangan telat, nanti keburu raib lagi.” Di bawah tulisan tadi, disebutkan alamat tempat lokasi syukuran.
Beberapa orang yang ada di sekitar tempat itu ikut membaca pengumuman tersebut. Faisal mendatangi salah seorang di antara mereka. Bertanya tentang lokasi dari alamat yang tertera di kertas yang dipasang di mana-mana oleh si orang tua gila.
***
Sore itu pun akhirnya datang. Hari Jumat selepas salat Ashar di tempat yang disebut-sebut di kertas pengumuman si orang tua gila. Tidak dinyana, di sore Jumat yang muram oleh awan hitam yang mengapung lesu di angkasa, orang-orang ternyata mengular datang ke tempat itu. Entah apa yang membetot mereka berbondong-bondong ke tempat tersebut.
Faisal menelisik satu-satu orang yang datang. Rata-rata berjalan kaki. Pakaian kumal. Satu dua memang ada pula yang berkendaraan dengan pakaian rapi jali. Tapi memang yang paling banyak berbondong-bondong datang ke tempat itu adalah para penghuni rumah-rumah kumuh lengkap dengan anak-anaknya yang berperut buncit.
Faisal mengalihkan perhatiannya ke arah lokasi yang dimaksud. Matanya mencari cari si orang tua gila. Tidak kelihatan. Yang tampak di sana adalah bangunan yang di buat dari bambu, sebagian juga ada kayu-kayunya. Atap bangunan dari daun rumbia. “Mungkinkah itu yang dimaksudkannya masjid yang telah di temukan kembali?” Kata Faisal dalam hati. Di depan bangunan itu terlihat beberapa tumpukan. Entah barang apa? Tak seorang pun yang paham, soalnya tumpukan itu ditutupi terpal.
Lalu saat Faisal dan beberapa orang-orang yang semakin menyemut di tempat itu terlongo-longo menyaksikan bangunan dari bambu yang tidak jelas rupanya dan tumpukan yang tak kelihatan wujudnya, tiba-tiba dari dalam bangunan itu muncullah si orang tua gila. Ia memberi isyarat kepada beberapa orang-orang yang berpakaian kumal untuk mendekat. Mungkin mereka adalah para penghuni rumah kumuh di sepanjang kota ini, mungkin juga para sejawat gilanya. Tapi ah..sudahlah tidak usah diambil pusing. Perhatikanlah sekarang apa yang mereka lakukan. Orang-orang itu diminta membuka tutup-tutup terpal itu. Ketika tutup terpal pertama dibuka, ternyata isinya adalah sembako, tutup terpal kedua dibuka isinya berdus-dus mie instan, dan ketika tutup terpal ketiga dibuka isinya adalah pakaian-pakaian yang sudah dikepak sedemikian rupa. Dua tutup terpal belum dibuka. Si orang tua gila memberi isyarat untuk membukanya. Lima orang datang membuka terpalnya, dan semua hanya bisa terheran-heran ketika ternyata di balik dua terpal itu ada dua kubah masjid.
“Hei….ternyata dua kubah masjid itu ada di sini, itu kubah masjid yang dekat klenteng yang mau dibangun lagi, pantasan dua hari yang lalu hilang”. Tiba-tiba salah seorang pengunjung yang berpakaian rapi berteriak. Semua orang berpaling padanya. Ia menunjuk-nunjuk ke arah dua kubah masjid itu.
“Tak ada masjid….tak ada masjid di sana….he…he..he…”. Tiba-tiba terdengar suara si orang tua gila. Serentak perhatian orang kini beralih pada orang tua gila.
“Aku melihat dua kubah ini tergeletak di sana, sayang sekali tidak digunakan, soalnya masjidnya ada di sini. Ya…aku bantu bawa ke sini”. Lanjut Si orang tua gila.
“Dasar orang gila.” Teriak orang berpakaian rapi tadi. Si orang tua gila yang diteriaki gila seperti tidak mendengarkan. Ia malah melanjutkan ucapannya.
“Masjid adalah tempat merendahkan hati, menghilangkan segala rasa sombong dan tempat untuk mengagungkan Allah, bukan tempat yang justru dijadikan lahan memupuk keangkuhan apalagi untuk memperlihatkan kehebatan kelompok.” Demikian orang tua gila itu bilang. Matanya menatap orang-orang di sekitarnya dengan liar. Mendengar kata-kata orang tua gila itu, Faisal menjadi tertarik. Apa yang dikatakan sepertinya tidak mungkin keluar dari mulut orang gila. Ia lantas menyeruak ke depan. Mendekat.
“Semua masjid di kota ini telah hilang. Yang ada sekarang hanyalah tempat orang berkerumun bicara politik, tempat orang menampar harga diri dan menjatuhkan marwah orang atau kelompok lain.” Ucap orang tua gila itu lantang. Orang-orang yang hadir di tempat semakin merapat. Yang berpakaian lusuh yang paling pertama maju, lalu meski dengan agak segan-segan, orang-orang yang berpakaian rapi juga mendekat. Mereka menyimak apa yang dikatakan orang tua yang dianggap gila itu.
“Masjid itu ternyata pindah ke sini”. Kata orang tua itu sambil menunjuk bangunan di belakangnya. “Di sinilah kubah-kubah itu akan dipasang. Masjid ini milik kita semua. Anak-anak kalian, yang perutnya besar-besar itu boleh bermain-main di halamannya. Masjid ini tidak perlu besar, tapi bisa menjadi pusat transaksi sosial. Masjid ini harus menjadi pusat keadilan sosial, setidak-tidaknya jadi tempat untuk membicarakan hal itu” Lanjut orang tua gila ini. Faisal semakin dicengkau rasa heran mendengar ucapan-ucapan orang tua ini. Bukan hanya dia, yang lain juga terlihat terlongo-longo. Kebanyakan mungkin tidak mengerti khususnya mereka yang berpakaian lusuh-lusuh itu, tapi ada yang betul-betul terpukau. Mereka tidak menyangka orang tua yang selama ini dianggap gila bisa berkata seperti itu.
Si orang tua gila lantas menunjuk ke arah tumpukan barang-barang, pakaian, sembako dan mie instan dan berkata “Tapi sebelum kita mulai salat di masjid ini, silakan kalian bagi barang-barang yang ada itu” .
Mendengar itu serentak orang yang berpakaian lusuh menyerbu ke depan. Lima orang yang sebelumnya membuka terpal-terpal itu dengan sigap membagikan barang-barang yang ada di situ, sembako, pakaian dan mie-mie instan. Pembagian barang-barang itu membuat suasana riuh rendah. Orang-orang berpakaian lusuh terlihat bersemangat. Sesekali mereka bersorak dan bertempik dengan riuhnya. Faisal tersenyum-senyum melihatnya. Sementara pengunjung lain yang berpakaian rapi hanya tegak seperti orang dicengkau pesona mistis.
Matahari semakin bergerak turun, sinarnya memerah di balik selimut awan yang kelabu. Gelap terasa lebih cepat memeluk waktu. Mungkin karena senja hari itu berkelumun awan yang pekat.
Tepat ketika hujan yang berinai-rinai luruh ke bumi, dari dalam bangunan yang dianggap masjid oleh si orang tua gila terdengar suara azan magrib. Mengalun dengan syahdu. Tapi azan tanpa pelantam itu segera ditindih oleh azan dari menara-menara masjid yang lain yang seakan berlomba mempertunjukkan pelantam-pelantam paling canggih. Orang-orang berpakain rapi mundur teratur, lalu pelan-pelan naik ke kendaraan masing-masing, pulang ke rumah mereka atau mencari masjid-masjid dengan suara azan dengan pelantam di menara-menara. Sementara orang-orang berpakaian lusuh itu berbondong-bondong masuk ke bangunan sederhana, yang dibangun si orang gila dan disebutnya masjid. Tempat mereka memang hanya di sana, bukan di masjid mewah-mewah yang selama ini pagarnya digembok. Melarang mereka masuk.
Faisal masih tegak. Ia ragu apakah masuk salat ke bangunan yang tidak berbentuk masjid itu, atau ikut pulang dan salat di masjid mewah, menara menjulang dan suara pelantam yang berdentam-dentam. Azan dari dalam bangunan mengalun semakin syahdu, suara sang muazin menyusup ke telinga Faisal. Kemudian lesap ke dalam batinnya. Sementara itu, tiba-tiba saja Faisal mendengar suara azan dari pelantam-pelantam di menara-menara masjid mewah itu, seperti suara tawa. Mulanya pelan, lalu seperti tawa terbahak-bahak. Tawa yang angkuh…!!, tapi tawa siapa?
sumber gambar: Tribunnews.com
Lahir di Bulukumba, 17-11-1976. Aktif di Gusdurian Sulsel. Belajar meneliti di LAPAR dan Litbang Agama Makassar