“Reski itu memberi. Tak melulu menerima”. (Alwy Rachman)
All about love, semua tentang cinta. Ada kebiasaan yang saya rawat. Penuh cinta. Bila keluar daerah, memakai oto angkutan umum langganan saya. Posisi tempat duduk paling depan dekat sopir, atau paling belakang berhimpit bagasi. Posisi kursi yang saya pilih itu, bukan tanpa alasan. Jika di depan, maka itu berarti, saya akan bercakap dengan sopir, sepanjang jarak tempuhan. Kalau di belakang, hanya aktivitas membaca atau tidur, selama perjalanan.
Kali ini, saya memilih duduk di kursi depan, berdua dengan sopir langganan. Menurut pengakuannya, ada rasa yang tak tertukarkan bila saya duduk di dekatnya. Sembari menemani bercakap, rasa kantuknya hilang. Apatah lagi, terkadang percakapan itu amat intim, sesekali tawa menguar. Ada kesetaraan antara saya selaku penumpang, dan ia selakon sopir. Tidak berlaku semboyan penjaja usaha sektor jasa, “penumpang serupa raja, sopir sebentuk pelayan”.
Lalu, apa topik percakapan selama tempuhan perjalanan? Tiada lain adalah perayaan kelahiran manusia agung – lelaki ilham dari surga, menurut Ebiet G. Ade — Nabi Muhammad SAW, yang diganjar dengan hari libur nasional. Memang, negeri kita adalah penggalan sepetak surga, yang amat menghargai peristiwa. Amat setia pada peristiwa. Libur nasional, yang sepanjang tahun bisa kita nikmati bersama, sebentuk tali karet, yang amat lentur untuk menguarai ketegangan-ketegangan sosial, yang menyetubuhi masyarakat. Sulit membayangkan, sakit massal apa yang bakal diidap oleh bangsa ini, manakala tidak punya sederet libur nasional.
Merayakan libur nasional Maulid Nabi, hanyalah salah satunya. Dan, kesempatan ini saya gunakan melenturkan diri, bersama dengan sopir, bercakap akan gundah gulananya. Sang sopir mengalami gulana. Bergundalah ia, sebab ada rasa bersalah, sekaligus penasaran, sebagai akibat dari adanya tradisi keluarga besarnya, mulai hilang. Perlahan menuju kepunahan. Sepenggal kebiasaan yang dilakukan oleh kakeknya, kala merayakan kelahiran Sang Nabi. Tradisi yang memulai memudar itu disebabkan oleh dua hal, adanya pandangan keagamaan, sebagai prilaku bid’ah, dan makin sulitnya meniru prosesi perayaan maulid.
Menurutnya, pada setiap perayaan maulid, keluarga besarnya mempersiapkan dengan sepenuh cinta. Dan, salah satu topik yang menarik adalah Songkolo Maudu, sejenis penganan yang istimewa, yang keberadannya hanya pada acara maulid. Posisi Songkolo Maudu amat sentral dalam upacara maulid. Bermaulid tanpa Songkolo Maudu, sepertinya tidak sah perayaan itu.
Dalam masyarakat Makassar dan juga Bugis, penganan songkolo, merupakan seseuatu yang lumrah. Setiap hari bisa dijumpai buat dimakan. Songkolo (Makassar) atau sokko (Bugis), telah menjadi penganan yang mudah didapat. Tengoklah Songkolo Bagadang, yang dijual jelang tengah malam. Mungkin maksudnya, songkolo ini bisa dimakan sambil begadang. Pun, pada pagi hari, banyak yang menjadikannya sebagai sarapan.
Selanjutnya, adakah perbedaan antara jenis-jenis songkolo itu dengan Songkolo Maudu? Saya meraba saja, bahwa songkolo selain Songkolo Maudu itu, betul-betul hanya untuk keperluan konsumsi. Fungsinya mengenyangkan raga. Sementara, Songkolo Maudu dibikin karena motif cinta, guna memenuhi kebutuhan jiwa. Songkolo Maudu adalah persembahan tanda cinta pada suami Khadijah, Nabi Muhammad SAW.
Mari saya ceritakan ulang, hasil percakapan dengan sopir langganan saya, atas prilaku kakeknya dalam menghadirkan Songkolo Maudu, penganan paripurna, buat persembahan perayaan maulid. Bahwasanya, ada banyak banyak bahan yang mesti disiapkan dalam pembuatannya. Pun, proses membikinnya. Juga saat penyajian. Bahan utamanya, beras ketan, ayam kampung, telur ayam kampung, dan aneka rempah sebagai bumbu penyedap. Dan, wadah penyimpanannya.
Semua bahan Songkolo Maudu itu mudah didapat pada pasar tradisional. Tapi, bagi Sang Kakek, semuanya disiapkan sendiri, sepenuh cinta pada junjunganya, kakek dari Hasan dan Husain, Muhammad SAW. Misalnya, untuk beras ketan, ditanam sendiri, yang sejak mula diniatkan untuk perayaan maulid. Pada sepetak sawah, terpisah dengan padi lainnya. Pun saat dipanen, proses pemanenannya serba khusyuk. Tidak terburu-buru. Setelah dipanen, gabah itu disimpan pada penyimpanan khusus, di atas para, sebuah tempat yang letaknya di atas langit-langit rumah, di bawah atap, hingga jelang perayaan baru ditumbuk, mewujud jadi beras ketan.
Adapun kelapanya, Sang Kakek mempersyaratkan harus dipanjat, tak boleh dibuang. Si pemanjat harus memetiknya dengan sepenuh cinta, lalu membawanya turun. Demikian pula ayam kampung, diternak sendiri, atau setidaknya ia beli sebulan sebelum bukan maulid tiba. Dipeliharanya dengan telaten, dikurung agar tidak makan sembarangan. Hanya beras dan jagung makanannya. Nasib telur ayam kampung pun diperlakukan istimewa. Hasil dari beternak sendiri, atau dipesan khusus. Wadahnya, berupa baku, sejenis tempat hasil anyam yang terbuat dari daun lontar.
Setiba di hari perayaan maka Songkolo Maudu itu sudah nyaman keberadaannya dalam dekapan baku. Isi dalamnya ayam kampung yang telah digoreng. Bagian luarnya, ditancapkan telur yang telah dimasak, penuh warna-warni sebutannya male. Pada Songkolo Maudu pula, melintang-lintang telur dadar yang amat tipis. Taburan merica dan ketumbar, serta bawang goreng, bercampur baur, damai dalam keperkasaan dan wibawa Songkolo Maudu sebagai persembahan. Dari sekian Songkolo Maudu yang disiapkan, ada satu yang bentuknya jumbo, namanya Baku Karaeng. Pada yang jumbo inilah, isi dalamnya seekor ayam kampung terbaik, yang telah digoreng. Dan, inilah yang menjadi incaran setiap orang, karena dipercayai sebagai keberkahan, dari sebuah tindakan penuh cinta.
Di penghujung percakapan, saya bilang pada sopir langganan saya, bahwa laku Sang Kakek adalah laku penuh cinta. Lakon semisal inilah yang dimaksudkan oleh Erich From, dalam bukunya To Have or To Be, Memiliki dan Menjadi, sebagai modus eksistensi seseorang. Sang Kakek telah berhasil, berjalan dari modus memiliki dan tiba pada menjadi. Kesemuanya terjadi karena cinta. Hanya kecintaan pada lelaki suci, ayah dari Fatimah az-Zahra, Nabi Muhammad SAW. Cintanya bukanlah yang memiliki, karena akan menerungku diri. Cintanya merupakan cinta yang memberi, sebab membebaskan diri. Ini pula yang dimaksud oleh pendakuan seorang budayawan, Alwy Rachman, bahwa reski itu memberi, tak melulu menerima. Dan, manifestasinya pada Songkolo Maudu.
Sumber gambar: https://services.sportourism.id/fileload/img-20161212-wa0001jpg-jZo6.jpg?q=75
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.