Dari Freedom Writers untuk Gerakan Literasi Sekolah

Pekan lalu, mahasiswa yang sedang melaksanakan kegiatan KKN-PPL terpadu di sekolah saya, menggelar bedah film, sebagai salah satu program kerja selama ber-KKN. Film yang dipilih untuk dibedah, Freedom Writers.

Freedom Writers sebenarnya film yang sudah lama dirilis, sejak 2007. Beberapa orang teman yagng pernah menontonnya, selalu merekomendasikan, agar saya menontonnya juga. Tetapi sayangnya, tidak ada yang pernah memberikan file filmnya. Untunglah mahasiswa yang ber-KKN di sekolah, menggelar bedah film yang sudah lama ingin saya tonton. Pun saya didapuk untuk menjadi salah seorang pembedah.

Sekilas tentang Freedom Writers

Film ini menyorot proses pendidikan yang terjadi di salah satu negara bagian Amerika Serikat, sekitar tahun 1994. perbedaan ras, suku bangsa, warna kulit menjadi pemicu lahirnya kelompok-kelompok/geng yang akan saling berperang. Sebab di antara mereka selalu merasa dirinya yang paling terhormat, unggul dan istimewa. Sementara yang lainnya selalu menjadi nomor dua, hina, dan budak.

Ternyata, konflik dalam kehidupan sehari-hari mereka pun, berimbas ke dalam lingkungan sekolah. Terutama bagi mereka yang dicap siswa nakal, broken home, dan pengacau. Senantiasa diberikan gambaran menjadi biang kerok kekacauan.

Kehadiran Erin Gruwel sebagai guru di sekolah ini, membawa perubahan yang sangat signifikan bagi sekolah ini, khususnya pada kelas pembuangan yang dipercayakan kepadanya. Meskipun pada awalnya, ia mengalami penolakan.

Bukan hanya peserta didiknya yang menolak kehadirannya, tetapi pihak sekolah sebagai pengambil kebijakan tertiggi pun menolak setiap usulan dan usahanya, untuk memperbaiki keadaan.

Berbagai usaha dilakukan. Selain mengajar, ia mengambil pekerjaan sampingan agar mendapatkan uang tambahan, demi membeli buku-buku yang akan diberikan kepada peserta didiknya secara gratis. Sebab sekolah, khususnya pengelola perpustakaan bersikeras menolak usulannya untuk meminjamkan buku-buku kepada mereka, dengan alasan, mereka hanya akan merobek dan mencorat-coretnya.

Melalui pendekatan yang tidak kenal lelah, dan menggunakan berbagai metode mengajar yang menyenangkan, guru bahasa Inggris ini, berhasil menaklukkan kerasnya hati para siswanya.

Salah satu metode yang dipakai Gruwel dalam mengelola emosi siswanya adalah dengan literasi. Setiap siswa diberikan buku tulis, yang bisa dijadikan diary. Menceritakan lewat tulisan hal-hal menyenangkan dan menyedihkan yang telah mereka alami. Maupun harapan mereka di masa yang akan datang. Dari tulisan mereka inilah Gruwel, membaca serta mengetahui setiap isi hati pikiran, pekerjaan maupun latar belakang para siswanya.

Selanjutnya, Gruwel memberikan bahan bacaan kepada setiap siswanya, untuk membuka dan memperkaya cakrawala pikiran mereka, pun buku yang dipilih bukan buku teks. Sebab, salah satu penyebab kenakalan mereka, karena sempit dan pendeknya cara berpikir. Serta terbatas dan kurangnya bacaan yang didapatkan.

Gerakan Literasi Sekolah

Sejak dicanangkan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan tahun 2015, gerakan literasi sekolah kini terus digalakkan dan digaungkan gerakannya. Bukan sekadar sebuah peraturan yang gaungnya hanya seumuran jagung (belum terlaksana secara menyeluruh, lalu perlahan-lahan menjadi redup dan berganti kebijakan baru). Tetapi gerakan literasi sekolah ini, perlahan tapi pasti, terus bergerak maju. meskipun hampir di seluruh sekolah format yang diberlakukan tidak seragam, melihat situasi dan kondisi masing-masing sekolah.

Sebagaimana mafhum, pencanangan gerakan literasi sekolah, berawal dari terjadinya penurunan yang sangat drastis dalam budaya baca-tulis, khususnya di kalangan pelajar, berdasarkan riset maupun survei tentang literasi di Indonesia. Padahal seharusnya sekolah dan literasi, bak sekeping uang yang kedua sisinya tidak dapat terpisahkan.

Dalam beberapa ulasan pemerhati maupun praktisi pendidikan, selalu mengkritisi budaya sekolah Indonesia, yang dianggap menghilangkan salah satu pilar terpenting lembaga pendidikan formal, literasi. Sehingga konsep pembelajaran sepanjang hayat, tidak pernah diaplikasikan. Pun, tut wuri handayani hanya menjadi slogan yang mati rasa.

Gerakan literasi sekolah, adalah sebuah upaya yang ingin mengembalikan ruh lembaga pendidikan formal, yakni berliterasi. Tidak hanya pada peserta didiknya, yang ingin dibebaskan dari buta aksara lalu melek aksara. Tetapi seluruh komponen sekolah, pendidik, tenaga kependidikan maupun peserta didik bisa melek aksara dan memaknai kemelekan aksara tersebut dalam kehidupannya.

Jika Erin Gruwel dalam film Freedom Writers, menyebut kenakalan dan tawuran yang dilakukan oleh para siswanya, karena sempit dan dangkalnya pemikiran mereka. Sempit dan dangkalnya pemikiran tersebut karena kurangnya membaca. Demikian pula apa yang menjadi kenyataan kita dalam lingkungan pendidikan kita saat ini, karena sempitnya dan dangkalnya daya membaca dan pembacaan kita, terutama pendidik.

Tetapi, kurang disadari pula oleh kita, yang berada dalam dunia pendidikan, khusunya sekolah. Bahwa ada satu wadah yang sangat strategis untuk mengembalikan ruh dan semangat belajar para pembelajar, perpustakaan.

Perpustakaan sekolah, dianggap sebagai pusat belajar, tetapi sangat jarang dikunjungi. Sehingga buku-bukunya selalu tersesun rapi. Atau mungkin saja, buku-bkunya telah dimakan rayap, pun tak dipedulikan.

Demikian halnya, yang tersaji dalam film freedom writers, siswanya nyaris tidak pernah menggunakan kartu perpustakaannya. Pun pustakawannya, enggan meminjamkan bahan pustakanya, karena takut hilang, kotor, dan rusak.

Sementara di lain sisi, perpustakaan bisa menjadi dapur ilmu pengetahuan karena menyimpan literatur-literatur yang bisa memperkaya dan memperluas cakrawala pemikiran yang memanfaatkan media di dalamnya.

Pada akhirnya gerakan literasi sekolah akan berhasil mengembalikan ruh sekolah jika pemangku kepentingan pendidikan mulai dari tingkat paling atas sampai terbawah, komite sekolah, kepala sekolah, pendidik, tenaga kependidikan hingga peserta didik, selurunya ambil bagian. Bisa saja setiap guru berbeda cara menerapkan kegiatan berliterasinya dalam kelas atau di hadapan siswa berbeda tetapi tujuannya dan semangatnya tetap sama.

 


sumber gambar: rakyatsultra.fajar.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *