Heidegger: Sejarah Filsafat adalah Sejarah Nihilisme

Karl Jaspers dalam biografi filsafatnya menceritakan kisah yang sangat menarik tentang Heidegger. Kata Karl Jaspers, suatu ketika saya melihat seseorang mengantarkan surat. Surat itu berasal dari masyarakat biasa. Tulisannya pun jelek dan banyak kesalahan dalam penulisan. Orang awam itu sedang menuliskan keresahannya. Dan ia merangkum seluruh tulisannya dalam satu pertanyaan, “apakah benar setelah dunia ini, setelah kehidupan ini, benar-benar tidak ada lagi sesuatu?”.

Karl Jaspers melanjutkan, kebetulan pada saat itu Heidegger hadir sebagai tamu. Lalu saya menunjukkan surat itu padanya. Saya menyaksikan pemandangan yang berbeda saat Heidegger membaca surat itu sebab di antara orang-orang yang membaca surat itu, hanya Heidegger yang benar-benar serius dan memperhatikan surat itu.

Apa pentingnya seorang pemikir membaca dan benar-benar menyimak surat dari orang awam? Pada umumnya seorang pemikir, guru besar, dan dosen hanya sibuk dan ingin disibukkan dengan pertanyaan-pertanyaan penting. Tentu bukan di sini letak persoalannya sebab inti persoalannya adalah dalam meletakkan sejauh mana pertanyaan itu menjadi hal yang sangat penting sehingga menjadi tak penting darimana pertanyaan itu berasal.

Ciri seorang pemikir adalah selalu peduli atas apa yang akan terjadi di masa yang akan datang melalui tanda-tanda yang sedang terjadi saat ini. Mereka senantiasa menanti tanda dan mencari petunjuk atas apa yang sedang terjadi. Kata Heidegger, surat dari orang awam itu adalah petunjuk bahwa kita tidak tahu apa yang sedang terjadi dan sekaligus sebagai tanda atas ketidakpedulian dunia atas mereka.

Tugas seorang pemikir tidak hanya menanti pertanyaan yang meresahkan sebab pertanyaan meresahkan senantiasa hadir dalam setiap perenungan. Pemikir akan benar-benar beranjak dari singgasananya ketika ada peristiwa penting yang benar-benar akan terjadi. Bagi Heidegger, peristiwa penting yang akan melanda seluruh masyarakat manusia moderen disebut dengan nihilisme. Surat dari orang awam itu menjadi penanda penting bahwa nihilisme telah berhasil masuk ke rumah-rumah kita.

Nihilisme tidak selamanya bermakna penafian atas hakikat atau wujud. Juga tidak selalu berarti nilai-nilai yang telah ada, sudah tidak memiliki nilai lagi. Sebab ciri utama nihilisme adalah ketika masuk ke dalam rumah atau berada dalam sebuah sistem, nihilisme akan menghancurkan segalanya. Nihilisme bukan penyakit dan tidak menular seperti penyakit. Nihilisme bukan sifat personal seseorang akan tetapi bagian aksidental dari alam ini. Tak heran jika Heidegger menganggap sejarah filsafat barat Yunani dianggap sebagai sejarah nihilisme.

Bagaimana mungkin manusia selama kurang lebih dua ribu tahun tidak memahami dan mengetahui bahwa mereka terjebak dalam nihilisme? Apa mungkin sesuatu disebut ada namun tak memiliki nama?

Tentu mereka yang tak pernah memikirkan masalah tersebut tak akan bisa menjelaskan persoalannya dan jika tak dijelaskan tentu tidak akan memiliki sebutan. Nihilisme hadir di abad 19 namun akar-akar nihilisme telah ada di dalam pemikiran Yunani. Kira-kira apa penyebabnya sehingga Eropa pada saat itu diingatkan oleh ke-nihilisme-an dirinya sendiri. Apakah Dostoyevsky dan Nietzsche secara kebetulan saja mengangkat persoalan nihilisme kemudian mengajarkannya?

Jika kita menganggap esensi nihilisme hadir secara aksidental di era modernitas, berarti faktor-faktor pendukung kemunculannya telah hadir sebelumnya yaitu di filsafat Yunani. Nihilisme yang semakin mendominasi di awal-awal kemunculannya berdampak kepada para pemikir dan penyair. Nihilisme mampu membuat mereka terusir dari tanahnya sendiri sehingga manusia dan kemanusiaan kita tidak memiliki tempat lagi untuk bernaung.

Jika kita tak pernah sadar bahwa saat ini kita tengah menghirup di dalam budaya dan pemikiran barat berarti kita tak akan tersadarkan bahwa sebenarnya kita sedang bersama nihilisme, bersama di dalam budaya dan pemikiran kita. Demikian halnya dengan orang-orang yang telah memiliki kesadaran atas nihilisme, sudah saatnya mereka mencari jalan keluar dari cengkraman nihilisme.

Banyak orang yang tidak memahami bahwa politik identitas berakar dari subjektivisme. Subjektivisme akan membiarkan setiap gagasan muncul dipermukaan sebab kebenaran hanya ada dipikiran setiap orang sedangkan realitas eksternal adalah kebenaran-kebenaran yang disepakati secara bersama. Kita sedang memasuki babak baru dari era nihilisme yaitu subjektivisme. Oleh sebab itu persoalan penting saat ini adalah ‘apakah kita bisa melewati subjektivisme atau tidak?’ karena tiap kali kita mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan ini, lagi-lagi orang lain akan berkata kepada kita, ‘jawaban itu sesuai dengan perspektifmu’.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *