Awal November tahun 2017 itu, tepatnya Sedari hari Jumat hingga Ahad, saya berkesempatan menyambangi tiga kabupaten sekaligus: Maros, Bone, dan Soppeng. Yah, untuk kesekian kalinya raga ini bersua dengan peninggalan-peninggalan budaya, sejarah, dan pranirleka di sana. Setahun lalu juga saya pernah ke daerah-daerah tersebut—melihat pesona Pranirleka Gua Prasejarah Leang-Leang yang berada di Kabupaten Maros, mentadaburi sejarah Kerajaan Lamuru melalui perantara Makam Raja-Raja Lamuru di Kabupaten Bone, dan berpusing-pusing ria (meminjam bahasa melayu) menyaksikan peninggalan budaya dan sejarah di Kabupaten Soppeng.
Tidak hanya setahun lalu tepatnya di tahun 2011 saya juga menyambangi tempat ini. Pun menyambangi tempat-tempat yang sama. Bosankah saya? Tidak! Menyambangi Gua Prasejarah Leang-Leang, Makam Raja-Raja Lamuru, Rumah Informasi Kawasan Prasejarah Caleo, Museum Latemmamala (Villa Yulliana), dan beberapa tempat lainnya tidak membuat hati dan raga saya merasa jenuh, malah sebaliknya penuh semangat dan riang gembira sebagaimana gembiranya anak TK yang diberikan permen oleh ayahnya.
***
Kukira berkuliah di Jurusan Pendidikan Sejarah UNM itu membosankan, membicarakan ihwal masa lalu dan hal-hal yang kuno. Tetapi rupanya menyenangkan, baru aku tahu rupanya salah satu guna belajar sejarah ialah “guna rekreatif”. Maka jadilah saya menyambangi Kabupaten Maros, Bone, dan Soppeng—bermaksud melihat peninggalan sejarah di sana. Kunjungan pertama yang aku datangi ialah kawasan Prasejarah Leang-Leang. Setidaknya ada tiga tempat yang aku sambangi; Leang Pettakere, Leang Pettae, dan Leang Timpuseng. Ada hal yang lebih dari kunjungankuke tempat ini, kata salah seorang senior yang mendampingi kami, studi sejarah ini lain dari pada yang lain, karena ada tambahan leang atau gua yang kami datangi, yakni Leang Timpuseng, jaraknya lumayan jauh dari Leang Pettakere dan Leang Pettae.
Di tiga leang tersebut, aku menyaksikan lukisan-lukisan di dinding gua, ada berbentuk cap telapak tangan, ada pula berbentuk babi rusa. Menurut pemandu kami gambar telapak tangan di dinding gua dipercaya sebagai penolak bala dari roh jahat yang akan mengganggu,sedangkan lukisan babi rusa yang di dadanya tertancap panah diartikan sebagai simbol pengharapan—agar kiranya dalam berburu binatang buran dapat berhasil. Selain itu, kulihat juga beberapa cap telapak tangan yang tidak sempurna, semisal cap telapak tangan di dinding gua yang jemari-marinya hanya ada empat, kata pemandu; telapak tangan yang berjari empat diyakini sebagai simbol berkabung atau belasungkawa, tatkala ada salah satu anggota keluarga—manusia purba yang mendiami gua—meninggal. Ih serem juga yah.
Setelah lawatan ke Maros, tujuan berikutnya adalah Kabupaten Bone, menyambangi Makam Raja-Raja Lamuru. Tapi sayang sekali, aku dan kawan-kawanku tak sempat menyambangi Makam Raja-Raja Lamuru, ihwal itu terjadi karena waktu yang tak memungkinkan.
Dalam perjalanan tersebut, untuk membunuh rasa penasaran, aku iseng-iseng menanyakan mengenai Kerajaan Lamuru pada salah seorang senior yang mendampingi perjalanan ini. Katanya Lamuru dahulu adalah sebuah kerajaan yang berdaulat hingga daerah ini selalu ditimpa ketidakstabilan—lantaran pernah menjadi daerah vassal Kerajaan Gowa, Wajo, Soppeng, dan Bone. Ketika berakhir perang Makassar, Lamuru yang dahulu bagian dari Kerajaan Gowa diserahkan ke Kerajaan Bone—dalam hal ini Aru Palakka—kemudian Kerajaan Bone menyerahkan wilayah ini ke Kerajaan Soppeng. Tetapi di kisaran abad ke XVIII terjadi pembunuhan Datu Lamuru bernama La Cella oleh Datu Soppeng, hal inilah yang menyebabkan Kerajaan Lamuru menggabungkan diri ke Kerajaan Bone dan olehnya itulah hingga kini Lamuru merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bone.
***
Berbeda dengan tahun sebelumnya, untuk pertama kali di daerah Maros saya menyambangi sebuah leang selain leang Petta Kere dan Leang Pettae, namanya Leang Timpuseng. Sebenarnya sebaran temuan jejak purbakala tidak hanya ada di ketiga leang atau gua tersebut melainkan ditemukan pula di daerah Pangkep dengan Leang Bulu Sumi dan Leang Sumpang Bita-nya. Yang mana keduanya berada dalam kompleks Taman Prasejarah Sumpang Bita, sekadar catatan Taman Prasejarah Sumpang Bita telah ditetapkan sebagai Situs Kawasan Prasejarah Berskala Nasional tertanggal 1 Juli 1998 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Prof. Dr. Juwono Sudarsono, M.A.
Setelah asik melihat-lihat peninggalan purbakala di Kabupaten Maros, perjalanan saya kemudian dilanjutkan ke daerah Bone untuk melihat peninggalan Kerajaan Lamuru. Namun sayang beribu sayang, saya dan rombongan tidak sempat menyambangi-nya, lantaran waktu yang memaksa untuk bersegera menuju Kabupaten Soppeng.
***
Ketika menginjaki kaki di Kabupaten Soppeng, aku terkesima dengan bangunan klasik bernama Villa Yulliana, konon katanya, Villa ini dulu dibangun untuk akomodasi ratu Belanda yang sedianya akan berkunjung ke Sulawesi Selatan, namun karena kondisi keamanan yang tidak memungkinkan—maka niatan ratu Belanda itu diurungkan. Ada pula versi lain yang mengatakan bahwa pembangunan Villa Yulliana sebagai bentuk rasa syukur pemerintahan Hindia-Belanda atas kelahiran ratu Juliana putri dari Ratu Wilhelmia van Oranje-Nassau.
Kalau dilihat-lihat sih, Villa Yulliana ini dibangun dengan perpaduan arsitektur Bugis dan Belanda. Memiliki dua lantai. Dari lantai dua sangat jelas terlihat pemandangan Kota Wattansoppeng yang indah, kota yang dikelilingi oleh perbukitan, daerah yang dijuluki Bandoeng van Celebes.
Sebelum ke Villa Yulliana, sesunguuhnya aku sempat mengunjungi Rumah Informasi Kawasan Prasejarah Caleo, bertemu dengan Bapak Anwar—juru rawat kawasan tersebut. Dengan senyuman yang ramah Pak Anwar menjelaskan kepada kami tentang jejak-jejak arkeologi dan budaya di Kabupaten Soppeng—yang beliau istilahkan sebagai Peradaban Lembah Sungai Walanae—di mana ditemukannya fosil vertebrata, fragmen gigi gajah purba, fosil babi rusa, dan artefak batu lainnya—yang merupakan temuan atau hasil eskavasi Van Heekeren dan Soejono serta arkeolog lainnya di abad ke XX masehi. Wau, dari penjelasan Pak Anwar dapat aku interpretasikan bahwa daerah ini dahulu memiliki peradaban yang keren.
***
Setelah melihat pesona Taman Prasejarah Leang-Leang, merasakan sensasi peradaban Lembah Sungai Walanae di Kabupaten Soppeng, kini tiba juga untuk bertolak ke Makassar dan berjumpa dengan setumpuk pekerjaan. Wau! Tiga hari melakukan lawatan di daerah cukup melelahkan juga rupanya. Jika tak ada aral melintang perjalanan pulang ke Makassar akan memangsa jarak 150 kilometer lebih.
Melalui jendela bus kulihat di luar langit mulai senja dan perlahan-lahan gelap akan datang. Bus melaju dengan syahdunya, selama di perjalanan itu saya lebih banyak diam, memilih memerhatikan kamera yang menampilkan hasil jepretan studi lapangan tadi, sesekali mencuri pandang pada penumpang bus yang lagi asyik bertukar obrolan: tentang lembaran sejarah yang baru mereka ukir di memorinya masing-masing.
Ah… kapankah saya bisa menyambangi daerah ini lagi?
sumber gambar: travel.kompas.com
Ilyas Ibrahim Husain adalah nama pena dari Adil Akbar. Alumni S1 dan S2 Pendidikan Sejarah UNM. Pernah menjadi guru di SMAN 1 GOWA dan SMAN 3 MAKASSAR. Pun mengajar di SMAN 2 MAKASSAR dan SMKN 10 MAKASSAR