Maafkan Kami yang Telah Mengirimmu ke Sekolah

Suatu sore seorang kenalan baru bertandang ke toko dan melihat aktivitas yang saya lakukan. Mengajar anak usia SD pelajaran matematika, Bahasa Inggris, dan mengaji. Terlontarlah tanya dari mulutnya, “Anak-anak ta pastinya rangking semua ya di sekolah?”

“Oh, tidak juga. Mereka biasa-biasa saja prestasinya di kelas.”

Kami termasuk orangtua yang tidak mematok anak-anak harus menduduki peringkat tertentu. Karena bagi kami, sekolah bukanlah segalanya dalam menjalani kehidupan ini. Bahkan, anak-anak berkelakar di rumah, kala ditanya oleh temannya, bahwa sekolah itu hanya sampingan saja. Pengisi waktu di sela-sela banyaknya kegiatan yang lain.

Inilah soal yang senantiasa menjadi keprihatinan kami. Dalam perenungan saya, anak-anak saat ini banyak melakukan hal-hal yang sifatnya sia-sia di sekolah. Diajar menghafal tanpa memahami, diberikan instruksi tanpa proses dialog. Anak-anak dicekoki materi pelajaran dari semester ke semester dengan susah payah, tiba saat ujian, kunci jawaban tersebar dengan mudahnya. Sesungguhnya kita sudah melakukan banyak sandiwara dan kepura-puraan dengan mengirim anak-anak kita ke sekolah-sekolah.

Termasuk kami, yang tidak mampu menempuh pilihan lain selain memasukkan anak-anak ke sekolah. Namun satu langkah yang menurut saya bisa mengimbangi keputusan tersebut adalah dengan tidak menambah beban mereka dengan keharusan untuk mendapat peringkat tertentu di sekolah. Di samping itu, kami rutin melakukan dialog dengan mereka mulai dari masalah yang remeh-temeh hingga ke persoalan  yang menyangkut dunia politik, agama, dll. Kenapa ini kami lakukan, agar mereka tahu dan sadar bahwa proses bersekolah yang saat ini mereka tempuh bukan satu-satunya jalan untuk mendapat pengetahuan dan menjadi generasi yang berguna. Sekolah bukan pula tujuan yang boleh menghalalkan segala cara untuk menjadi bintang.

Keluhan soal sekolah sudah banyak bertebaran di mana-mana, baik media cetak, media daring, maupun lewat perbincangan antar orangtua dan guru. Tetapi seolah berjalan di tempat, perbaikan sistem ke arah yang lebih baik tampaknya tidak kunjung tiba. Suatu ketika seorang anak les saya, yang duduk di kelas V SD bertanya pada saya, “Bu, untuk apa orang belajar matematika? Tidak ada ji nanti hubungannya dengan pekerjaan.” Saya menatapnya sambil menunggu ia menyelesaikan kalimat berikutnya. “Jadi menurutku, sekolah itu hanya untuk mendapat pengetahuan saja,” lanjutnya. Mungkin maksudnya, materi pelajaran itu hanya sekadar diketahui saja, bukan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Diam-diam saya salut dengan cara berpikirnya. Ia sudah kritis terhadap proses kehidupannya. Jika guru-gurunya di ruang kelas tidak terbiasa menciptakan dialog dengan siswa, besar kemungkinan anak-anak akan mencari sendiri jawaban dari pertanyaan-pertanyaan besarnya. Bersyukur jika menemukan orang atau pihak yang tepat untuk menjelaskan kegundahan-kegundahannya, tetapi jika sebaliknya, maka tentunya bersekolah hanyalah sebatas ritual belaka yang mesti dilakoninya saban pagi hingga siang atau sore hari.

Memang benar saat ini kita masih diliputi oleh sistem pendidikan yang seolah berjalan di tempat. Kalaupun ada perubahan yang mengiringi pergantian program pemerintahan baru, berubahnya hanya pada wajah dan kulit, namum hakikat di dalamnya belum mengalami perbaikan yang berarti. Buku-buku paket yang diganti dari tahun ke tahun, bukan karena kontennya hendak diperbaiki, melainkan penerbit B lebih mampu melakukan lobi yang lebih baik ke pihak sekolah daripada penerbit A.  sebelumnya. Jumlah mata pelajaran yang wajib dipelajari pun masih tetap sama. Anak-anak bingung hendak mengutamakan yang mana. Semuanya penting untuk dipelajari. Dan saat ujian tiba, siapa yang memori di kepalanya paling kuat maka ialah yang akan berhasil menjawab soal-soal yang diberikan. Lalu ketika nilai seorang siswa tergolong rendah, maka ia akan diberikan kesempatan untuk memperbaikinya di hari lain.

Saya yakin di antara ribuan sekolah yang tersebar di negeri ini, pasti ada beberapa yang berbeda di antaranya. Yang mendirikan sekolah sesuai idealisme dan keyakinan mereka akan hakikat pendidikan dan kemanusiaan. Yang bukan menjadikan sekolah sebagai sebuah industri atau pabrik. Yang hanya tahu berhitung untung rugi membangun sekolah.

Ujian anak sekolah baru saja usai. Ada beberapa broad cast yang saya temukan di grup obrolan aplikasi ponsel soal tidak perlunya orangtua memusingi peringkat anak di sekolah. Yang perlu jadi perhatian seharusnya pada soal akhlak dan karakter anak, juga bagaimana perkembangan minat bacanya. Bukan melulu pertanyaan soal nilai-nilai dan ranking anak. Dari dulu kami sudah setuju pemikiran seperti ini. Persoalannya, sudah sejauh mana aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari kita? Di kanan kiri masih ramai pertanyaan-pertanyaan seputar prestasi anak di sekolah. Apatah lagi saat penerimaan rapor. Jujur, saya sesekali iseng juga menanyakan pertanyaan serupa. Tetapi hanya sebatas ingin tahun seberapa mampu ia menyerap pelajaran selama ini. Bukan menjadi prioritas yang harus dicapai anak. Karena kami sangat menyadari iklim sekolah, serta bagaimana kualitas guru yang mengajar. Semua biasa kami kontrol situasinya lewat obrolan di rumah.

Suatu waktu saya bertanya kepada anak kami yang duduk di kelas VI SD sebuah sekolah negeri yang cukup baik di kota ini. Mengapa untuk pelajaran Bahasa Inggrisnya ia sering diberikan paper, semacam PR untuk dikerjakan di rumah. Hampir setiap pekan tugas tersebut diberikan. Lalu saya mulai serius bertanya kepadanya, apakah gurunya menjelaskan semua hal yang terkait dengan tugas tersebut sebelum diberikan? Karena kalau tidak, maka itu berarti PR yang diberikan sesungguhnya dimaksudkan untuk dikerjakan oleh orangtua di rumah. Anak sisa menuliskannya saja. 90% hasil pikiran orangtua. Lalu kalau guru tidak pernah menerangkan materi tersebut, apa yang ia lakukan setiap kali masuk mengajar?

Sistem pendidikan kita tampaknya masih akan maju-mundur, jatuh-bangun, dan gonta-ganti kostum untuk jangka waktu yang panjang ke depan. Jika orangtua, guru, dan pihak-pihak yang memiliki wewenang mau bergerak untuk mengubah apa yang bisa diubah, mungkin akan ada hasil yang bisa diraih walaupun tidak signifikan hasilnya. Setidaknya, mari mengajari anak untuk jujur belajar dan meraih prestasi walaupun dalam skala kecil. Menolak menyontek saat ujian, menolak bocoran soal dari guru, dan menolak bekerja sama dalam kebohongan meskipun dikemas dalam sebuah slogan kebersamaan dan persatuan.

 

 

4 thoughts on “Maafkan Kami yang Telah Mengirimmu ke Sekolah”

    1. Terima kasih sudah berkenan membacanya. Semoga kita bisa melakukan banyak hal berbeda yang bermanfaat pada anak-anak kita. Tetaplah kritis dan berikan kontribusi meskipun tampaknya remeh.

  1. Iya, betul. Itu karena kita tidak punya banyak pilihan yang lebih baik. Selain itu menyekolahkan anak adalah tradisi yang turun-temurun dilakukan sejak dulu. Dan kita masih berpikir itulah satu-satunya cara untuk membuat anak menjadi cerdas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *