Suatau waktu di bulan desember, masyarakat kampung kecil Kejapanan kota Pasuruan, mendesak Inul Daratista yang akrab disapa Inul untuk menghadirkan KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di kampungnya itu. Mereka tahu kedekatan Gusdur dan Inul, setelah Gus Dur menfasiltasi perdamaian, antara Inul dan raja dangdut Rhoma Irama setelah larut dalam perseteruan karena Rhoma Irama yang karib disapa Bang Rhoma terus mengkritik goyangan ngebor Inul yang marak disiarkan di media layar kaca. Dengan berbagai daya upaya, termasuk undangan ke Gus Dur diajak berziarah ke sebuah makam wali di kampung kecil Kejapanan itu. Dan akhirnya Gus Dur mengiyakan menghadiri hajatan Inul dan masyarakat kampung Kejapanan.
Bukan Gus Dur, bila menjalin hubungan dekat pada seseorang atawa kelompok lalu tak menemukan keunikan di dalamnya. Maka, kala Gus Dur bertandang ke kampung kecil Kejapanan, sebagai tanda syukur dan penghormatannya kepada tokoh kharismatik ini, Inul bersama suaminya mendatangkan mobil pribadinya dari Jakarta ke Jawa Timur untuk digunakan Gus Dur dari bandara ke kampungnya. Tapi, kala Inul menawari Gus Dur kendaraan untuk ditumpanginya, namun ditampiknya karena akan ada kendaraan yang menjemputnya, mungkin saja, Gus Dur tak ingin memberatkan, Inul. Namun Inul berkeluh kesah dalam hati, kok jauh-jauh mobil ini kubawa dari Jakarta hanya untuk menjemput Gus Dur namun ditampiknya pula. Dalam perjalanan Gus Dur menuju kendaraan yang akan mengantarnya, tiba-tiba diurungkannya dan kembali menemui Inul dan keluarganya, kemudian menyatakan kesiapannya untuk menumpangi kendaraan yang disiapkan Inul, spontan Inul kaget dan membatin lagi “apakah ini yang dimaksud orang-orang ya, bahwa Gus Dur bisa membaca pikiran dan kata hati orang.”
Penghujung Desember adalah waktu mangkatnya, Gus Dur kembali menghadap kekasihNya yang ia cintai. Cinta yang terefleksikan dalam lakon panjangnya di alam fana ini, meninggikan dan memuliakan nilai-nilai kemanusiaan. Melakukan pembelaan kepada siapa saja yang ditindas, kaum lemah tanpa daya. Mulai dari Inul Daratista yang tak berdaya hingga Ba’ashir yang memusuhinya. Menyemai kasih kepada sesama dalam ruang dan waktu yang panjang.
Dalam keadaan sakit tak berdaya secara pisik, berbaring di salah satu ruang rumah sakit di Jakarta. Salah seorang sahabatnya yang paham keadaan Gus Dur menjenguknya seraya memberinya uang untuk biaya pengobatan dan rumah sakit yang ia perkirakan cukup, malah lebih. Tapi, sepulang sahabatnya itu, datang lagi penjenguk yang lain pengasuh dari salah satu pondok pesantren di Madura. Kala tamunya ini hendak permisi pamitan, Gus Dur menanyainya seperti biasa bila mengunjungi Gus Dur di kantornya, selain menjengukku ada keperluan yang lain, Yayi,tanya Gus Dur, dengan tersipu tamunya itu menyampaikan hajatnya bila pembangunan pesantrennya mendekati rampung namun biaya belum mencukupi. Gus Dur langsung mengerti dan memepersihkan anaknya memberi semua uang yang diberi sahabatnya tadi untuk biaya pengobatan dan ongkos rumah sakit itu.
Cerita-cerita serupa di atas sangat banyak termasuk pembelaannya kepada siapa saja yang ditindas oleh siapa saja. Belum pupus di kepala kita, bagaimana Gus Dur membela jama’ah Darul Arqom yang diserang berbagai kelompok Islam dan pemerintah, Gus Dur tampil pula membelanya kendati banyak hal ajaran agama Darul Arqom yang Gus Dur tidak setuju. Itulah representasi kematangan jiwanya yang sangat luar biasa, konsistensi pada pembelaan pada siapa saja yang ditindas dan tak pernah luput atas penderitaan orang-orang yang datang padanya meminta pertolongan.
Secara pribadi saya tidak pernah bersentuhan langsung dengan beliau, kecuali sua hanya sekali saja bersama karib saya yang kebetulan aktivis NU (Nahdatul Ulama). Itupun di sela-sela kesibukannya sebagai presiden, menatap wajahnya dalam waktu singkat sekira 5 hingga 10 menit. Tapi, membaca pikiran-pikirannya di berbagai media dan buku, kami dan kawan-kawan telah melakukannya sejak tahun delapan puluhan. Banyak “ramalan-ramalannya” yang awalnya dianggap nyeleneh, kemudian akhirnya dalam beberapa waktu kemudian terbukti. Nurcholis Majid, dalam sebuah seminar pernah “berkelakar” bahwa Gus Dur lahir sebelum zamannya, pikiran-pikirannya jauh melampaui zamannya.
Kegeniusannya dan “nyelenehnya” diakui zamannya, bukan hanya di negerinya tapi di perberbagi belahan dunia. Konon sebelum sakit menderanya, Gus Dur menghapal sampai 3000an nomor telepon. Greg Barton, dalam buku Biografi Gus Dur, the authorized biography of Abdurrahman Wahid, menerangkan bahwa di usia belia, Sekolah Menegah Pertama, Gusdur telah mendaras buku Das Capital karya Karl Marx dalam bahasa aslinya, Jerman, dan buku-buku filsafat lainnya. Selain itu, juga masih di usia belianya telah melakukan laku-laku yang unik, seperti berjalan kaki dengan jarak tempuh berkilo meter jauhnya hanya untuk berziarah ke makam-makam orang mulia atau masyarakat umum kerap membilangkannya “wali” atawa waliullah, wali Allah.
Di era kepemimpinannya yang singkat sebagai presiden di negeri ini, Ia mampu pula membuat pemimpin dunia terpingkal-pingkal kala menyampaikan joke-joke-nya, sebagai sebuah langkah diplomasi yang ramah dan bersahabat pada sesama pemimpin negara dan bangsa. Menjadikan Istana Negara yang tadinya “angker” menjadi lebih egaliter dan bersahabat dengan rakyat. Aturan keprotokoleran dibuat lebih ramah pada rakyat.
Setelah beberapa tahun mangkatnya, Gus Dur, hampir setiap tahun di penghujung tahun, bila aku mukim di rumah sebagai pengembara, hehehe.. aku dan istri tercinta mengenangnya secara sederhana, mengirimkannya doa-doa dan Al-fatihah sembari bercerita pelbagai kebajikan-kebajinnya dari berbagai bacaan dan informasi yang bertebaran di mana-mana. Tahun ketiga setelah mangkatnya, aku dan istri sempat berziarah ke makamnya di jombang di tengah-tengah pesantren Tebuireng yang dididirikan kakeknya. Para peziarah berdatangan dalam jumlah yang banyak. Sehingga rumah-rumah di sekitar makam itu menyediakan berbagai penganan untuk dijual, MCK (mandi cuci kakus) disediakan atawa dipersewakan untuk para peziarah. Aku membatin menyaksikan itu semua, betapa seorang yang baik, telah wafatpun masih bisa memberi manfaat ekonomi bagi warga sekitar di mana dia di makamkan.
Perjalanan kembaraku kali ini di bulan Desember disertai hujan lebat sepanjang jalan kota Manado hingga Kotamobagu di Sulawesi Utara, setelah mendarat di Bandara Internasional Sam Ratulangi dari kota kelahiranku Makassar. Di kendaraan yang kutumpangi aku mengenang Gus Dur dengan mendaras buku baru, Gus ! Sketsa Seorang Guru bangsa.
Sebagai bentuk apresiasi padanya, mengakhiri tulisan sederhana ini kususun puisi untuknya, dalam penggalan kata dan kalimat sederhana pula. Silah dinikmati ;
RINDU CELOTEHMU, GUS..
Negeriku kerontang
Oleh para perusuh
Menuhankan tafsir tunggal
Menebar resah yang akut
Hiruk pikuk mewabah
Menebar benci sana sini
Kecamuk berkecambah
Bak’ virus tak tertahan
Para jelata jadi latah
Saling memangsa di ruang suci
Saling melempar fitnah
Di mulut mulut seolah suci
Para pelacur politik
Menebar jaring beracun
Memangsa sesiapa di lipatan
Memetik untung di lahan berdarah
Carut marut mewabah
Para perente berdansadansi
Menyedot darah anak-anak negeri
Yang kecil terlunta meradang
Hujan desember penghujung tahun
Kenangku terbang jauh ke pusaramu
Merindukan celotehmu menentramkan
Mengawal negerimu tanpa pamrih
Aku rindu celotehmu, Gus..
Menyirami negerimu bak’ gerimis sejuk
Membangun dan mengawal peradaban
Berwajah manusia nan adil dan beradab
Tuhan tidak kau umbar murah
Bak’ menggadai keyakinan di pasar loak
Tapi engkau mengajari kami bertuhan
Penuh kasih dan sayang pada sesiapa saja
Desember tahun ini rinduku kuyup
Pada celotehmu yang meruang di hatiku
Kala menyaksi anak negeri terlunta
Oleh ulah penikmat kuasa tak berhati
Gus.. bawa rinduku melanglang
Ziarahi ruhmu bersama shalawat Nabi
Semaikan damai di negeri kita tercinta
Sebab, damai yang kau rajut mulai tercabik
Sumber gambar: http://www.embunhati.com/wp-content/uploads/2015/10/gus-durrrr.jpg
Penulis. Telah menerbitkan beberapa buku kumpulan esai dan puisi di antaranya Jejak Air mata (2009), Melati untuk Kekasih (2013), Dari Pojok Facebook untuk Indonesia (2014), Tu(h)an di Panti Pijat (2015). Anging Mammiri (2017), Menafsir Kembali Indonesia (2017), Dari Langit dan Bumi (2017). Celoteh Pagi (2018), Di Pojok Sebuah Kelenteng (2018), dan Perjalanan Cinta (2019).