Sungguh, bagi saya, esai ini amat spesial. Apa latarnya? Tatkala saya tuliskannya, sebagai bentuk rutinitas menulis di media ini, pada setiap hari Ahad, bertepatan dengan hari terakhir tahun 2017. Bukankah 31 Desember 2017, jatuh pada hari Ahad? Tentulah momen berharga semisal ini, hanya berlaku bagi insan yang menganggap pergantian kalender masehi, bukanlah soal yang mesti dipersoalkan. Dan, saya termasuk yang tidak mempermasalahkannya. Sebab, padanya berlakon, sebagai kesempatan melakukan sejenis rangkuman perjalanan, dari satu ikatan kala.
Bagi setiap orang, ada banyak cara mengakhiri putaran tahun ini. Ada yang bikin pesta. Tiada terkira institusi sosial ekonomi melakukan persamuhan akhir tahun, sembari melahirkan resolusi buat dijalani tahun berikutnya. Berbagai keluarga memanfaatkan liburan panjang bersama keluarga. Saya sendiri, di samping meladeni permintaan beberapa acara dialog akhir tahun, yang terpenting adalah melipat kembali masa, lalu menetapkan satu poin yang amat membekas dalam diri. Pada, jati diri waktu inilah, saya tiba di suatu kesan terdalam pada sekelompok pemusik, era enam puluhan hingga tujuh puluhan, yang lahir di tanah Inggris, The Hollies.
Perkenalan dengan The Hollies, jauh di masa silam. Sekira usia sekolah dasar jelang sekolah menengah. Salah satu tembangnya yang sering kami putar di rumah berjudul Just One Look. Lagu ini terdapat dalam sebuah kaset, yang saban waktu kami bermain permainan bola kancing, sebagai penanda durasi memulai dan mengakhiri permainan. Side A menandai babak pertama, sedang side B untuk babak kedua. Pastilah generasi sekarang tidak mengenal permainan ini, pun kaset sebagai pemutar lagu.
Jelang pertengahan tahun sembilan puluhan, ketika saya memulai usaha membuka toko buku di bilangan utara kota Makassar, saya bertetangga dengan pengusaha warung. Ada lagu yang setiap hari pasti ia putar. Saya menduga, seringnya lagu itu diputar, sebab stok kasetnya terbatas. Lebih dari setahun saya bertetangga, sebelum saya pindah ke bagian selatan kota. Jujur, saya tidak tau apa judul lagu itu, sebab kasetnya sudah tak bersampul. Tapi, karena lagu itu sepanjang tahun diputar, akhirnya sulit sekali saya tampik. Padahal, di tahun yang sama, saban waktu salah satu perusahaan komputer IBM, menjadikan lagu ini sebagai latar iklannya, yang menggambarkan dua ekor gajah, induk dan anaknya, jalan beriring.
Nanti di tahun ini, tanpa sengaja saya berselancar di YouTube, bertemu dengan lagu yang penuh kesan tersebut. Ternyata, judulnya, He Ain’t Heavy, He’s My Brother, yang ditembangkan oleh group The Hollies. Anehnya, entah iklim spiritual apa yang melatari, sehingga, nyaris setiap hari lagu ini saya dengarkan. Bahkan, terkadang seperti orang minum obat, tiga kali sehari. Barulah di penghujung tahun 2017, saya berani memastikan, bahwa suasana kebatinan saya amat tertambat pada lagu ini, dikarenakan pada tahun ini, tidak sedikit saya menyaksikan peristiwa kemanusiaan yang antikemanusiaan. Manifestasinya amat telanjang dalam dunia politik, ekonomi, sosial, agama, dan budaya.
Lalu, apa sebenarnya yang dikandung oleh lagu ini? Saya selalu merinding jika tiba pada syair ini, With gladness of love for one another // It’s a long long road // From which there is no return // While we’re on our way to there, why not share?. Karenanya, dari sini pula, saya petik judul tulisan ini, Why not Share? Yang amat memengaruhi jiwa saya, sebab adanya ajakan untuk berbagi. Meski sebenarnya, lagu ini dicipta dengan latar perang di Amerika. Namun, pesannya begitu universal, melampaui batas benua. Sekat pembatas sebagai bangsa, ras, agama, budaya, dan berbagai ikatan lainnya, teretas karena ajakan berbagi. Jadi, kenapa tidak berbagi, why not share?
Sekira pertengahan tahun ini, saya merasa amat malu. Terutama pada diri sendiri. Betapa tidak, sekali waktu, saya ke tempat pembuangan sampah. Orang yang mengolah tempat sampah, semulanya hanya dua orang, pasutri. Tidak lama kemudian menjadi beberapa orang. Pasutri awalnya menguasai tempat sampah itu seharian, pagi hingga larut malam. Tapi, kemudian ia membaginya dengan sebuah keluarga, yang ingin juga mengais nafkah di tempat sampah itu. Dengan segala kelapangan dada, pasutri itu membaginya. Saya mencari tau muasal pembagian jatah itu. Pasutri saya tanya, mengapa sudah tidak sampai malam. Dijawabnya, bahwa ia membaginya dengan seorang yang juga punya keluarga, karena baru saja ia pensiun dari mengayuh becak.
Penasaran saya berlanjut. Saya lalu cek kebenarannya pada yang menerima jatah malam, bagaimana cara ia memperoleh pekerjaan di tempat sampah ini. Dengan mata yang berkaca-kaca ia bertutur, bahwa atas kebaikan orang semula menguasai tempat ini, membagikannya buat jatah malam. Rupanya, keinginan berbagi di antara orang yang dianggap kecil dan terpinggirkan amat kuat. Terus terang saya malu, amat malu pada mereka. Mengapa? Karena selama ini saya hidup di tengah orang-orang yang lebih suka mengambil dari pada berbagi. Kalaupun berbagi, maka yang dibagi hanyalah kebencian, pencitraan, malah pembagi aktif hoaks. Saya pun membatin, sembari membayangkan orang-orang yang suka berebut jatah, apa saja, bahwa mereka sudah tidak punya malu, yang tersisa hanya kemaluannya saja.
Akhirnya, memasuki Desember 2017, umat manusia di berbagai belahan dunia, larut dalam perayaan akan dua manusia agung. Tepatnya, di pekan pertama Desember, memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Pada pekan terakhir Desember, merayakan Natal Yesus Kristus. Kedua, utusan Tuhan ini, adalah manusia paripurna dalam berbagi. Nabi Muhammad dengan rahmat seluruh alamnya, sedangkan Yesus Kristus bersama cinta kasihnya. Dua persona yang begitu mempesona, sehingga setiap persona, pasti terpesona akan pesonanya dalam berbagi. Jadi, kenapa tidak berbagi, padahal berbagi adalah sari diri para utusan Tuhan? Sungguh, Why not share?
Sumber gambar: https://cdns.klimg.com/vemale.com/g/ilustrasi_realita_kehidupan_masa_kini_bikin_miris_tapi_nyata/realita-zaman-now-20170929-editor-001.jpg