Tatkala Partai Politik Menjadi Kuda Rodeo

 

 

Selang beberapa hari, setelah penetapan pasangan calon gubernur dan bupati oleh KPU, untuk pemilu serentak di beberapa wilayah yang menyelenggarakannya, langsung harian Kompas menurunkan hasil risetnya. Riset itu, dilapikkan pada segala gejolak pencalonan sebelum penetapan, maupun hasil pasangan calon yang lolos. Laporan itu menunjukkan simpaian simpulan, bahwa partai politik yang berlaga, amat pragmatis dalam mengusung calon. Bukan pada visi ideologis partai, platform, dan kader.  Tetapi, lebih pada peluang sang calon dan basis material memenangkan pertarungan. Sehingga, sampai pada detik terakhir, tidak sedikit kegalauan menguar kepermukaan. Perubahan dukungan, yang terkesan plin plan, menjadi bagian dari aroma penetapan.

Akibatnya, tidak ada koalisi permanen. Harapan sekaum anak negeri yang mengharapkan koalisi pilkada gubernur DKI Jakarta diterapkan pada daerah lain, bak asap yang menguap. Asa yang menggebu, ternyata berujung pada menggantang asap. Coba bayangkan, pemetaan hasil koalisi, hanya ada 10 koalisi yang melibatkan Gerindra, PKS, dan PAN, dari 17 provinsi yang melakukan pilgub. Belum lagi di pilbub, lebih berantakan lagi. Karenanya, pilkada gubernur dan bupati serentak pada periode kali ini, seperti gado-gado. Tetap enak disantap. Waima, gado-gado bukan makanan pokok, tapi cukup mengatasi rasa lapar kekuasaan.

Karenanya, berhentilah mengusung isu-isu yang bersifat memancing ketidakstabilan negeri. Hentikan isu agama, jenis kelamin, suku, dan lainnya. Sebab, di atas semua itu, ada yang mengangkanginya. Kepentingan kelompok elit yang lebih mengemuka. Isu-isu itu, hanyalah jualan belaka. Makanya, berharap pada partai politik, buat menjadi kuda tunggangan, buat berpacu dalam pacuan kuda memperebutkan piala kekuasaan, menjadi gubernur dan bupati, ibarat para calon itu menunggangi kuda rodeo. Bukan sembarang kuda. Artinya, para joki pun bukan sembarang joki. Sebab, bila tidak punya keahlian mengendalikan binalnya kuda, si joki akan terpelanting.

Saya ingin mengajukan satu ilustrasi tentang bagaimana partai politik, tatkala menjadi kuda rodeo. Hebatnya lagi, kuda rodeonya, seperti semi digital, bisa dikendalikan lewat remoute controll. Sehingga, terkadang kudanya sudah kelelahan, tapi karena pengendalinya masih saja menekan tombol-tombol angkanya, maka kuda pun masih berjingkrak-jingkrak. Ilustrasi ini faktuil, terjadi di tanah tumpah kelahiran saya, sewujud kabupaten yang lagi moncer namanya di seantero Nusantara. Saya tidak perlu menyebut nama partainya. Pun, para joki yang terpelanting.Toh tidak penting.

Mulanya, partai politik itu dijoki oleh seorang pengusaha. Menjadi ketua partai. Dan, berhasil duduk di parlemen. Tentulah ia berniat menungganginya kembali untuk keperluan jadi calon bupati. Dirawatnya dengan baik kuda itu. Dijaga sedemikian rupa, melebihi menjaga diri sendiri. Bahkan, kebersihan, kesehatan, dan makanannya, melebihi ongkos dari pada kebutuhan sandang pangannya.

Tapi apa lacur, baru tahun pertama pemeliharaan, kuda yang jinak itu mulai liar. Hadirlah seorang penunggang lain yang mengincar kuda itu. Memanfaatkan keliaran kuda. Si pengincar membatin, bagaimana caranya supaya menjadikan kuda liar ini menjadi kuda rodeo, sehingga penunggang terpelanting. Betul saja, si ketua partai terpelanting, padahal jingkrakan kuda itu belum seberapa. Maklum si joki sudah tua, sementara yang mengincar seorang anak muda yang lagi naik daun, karena kedermawanannya.

Partai politik, eh maksud saya, kuda rodeo itu, amat adem di tangan anak muda ini. Sama seperti si perawat pertama. Memperlakukan kuda rodeo ini senyaman mungkin. Karenanya, menjadi jinak di mukimnya. Lebih dari itu, ia menjadikannya kendaraan sehari-hari. Kemana saja ia pergi, hanya kuda ini yang dipakainya. Identiklah ia dengan partai politik itu. Apatahlagi, belakangan ia menjadi ketuanya. Pokoknya, menyebut nama partai itu, ingatan publik sudah pasti ingatan tertuju pada anak muda itu. Atau sebaliknya, melihat anak muda itu, berarti mengadalah partai. Tak terhitung duit yang melayang dalam proses pengidentikan ini. Entah sudah seri ke berapa lembaran fulusnya yang terbang. Pahaman orang banyak mengatakan, “banyak sekali”. Beberapa masjid jadi saksinya. Pos ronda, bisa ikut pula bersaksi. Apalagi, berkardus batang rokok, pastilah tak ketinggalan.

Namun apa lacur, setahun sebelum pilkada bupati, kuda jinak ini mulai bertingkah. Partai politik yang diketuainya ini, mulai meringkik, matanya jelalatan, kakinya menghentak-hentak, penanda ketidaknyamanan. Walau ia sebagai ketua, rupanya kandang yang ia siapkan di mukimnya, tidak memadai lagi untuk menjaga partainya dari incaran para joki. Betul bin benar adanya. Hadirlah seorang calon penunggang yang lagi sibuk mencari kuda tunggangan. Mengincar partai politik, buat kendaraan untuk maju di pilkada bupati. Dan, alamak, ia melihat kuda si anak muda ini cukup potensial untuk ditunggangi.

Mulailah si pengincar mencari tahu, bagaimana caranya supaya partai ini makin tidak stabil di tangan anak muda ini. Memata-matai agar kuda ini menjadi tidak nyaman dan aman, agar mewujud menjadi kuda rodeo, supaya si anak muda pun bakal terpelanting. Sehingga, peluang menungganginya terbuka lebar. Akhirnya, masa itu pun tiba. Si pencari kuda tunggangan, melobi petinggi partai politik yang lebih tinggi. Ke pengurus partai tingkat provinsi, hingga ke pusat ia bergerilya.

Tombol pengendali pun mulai dipencet angka-angkanya oleh pengurus provinsi dan pusat. Kuda yang semula dipelihara dengan adem oleh si anak muda pun mulai bertingkah. Liar tidak karuan. Dan, ketika tombol angka tertentu ditekan oleh orang provinsi, anak muda itu pun tak kuasa mengendalikan kuda, meski tetap kandangnya berdomisili di mukimnya. Ia tetap ketua, tapi tak kuasa mengendalikan kekuasaan partai.

Memang anak muda ini sempat terpelanting, tapi karena ia memegang tali kekang kuda, sehingga kuda ini tidak lepas sama sekali. Namanya juga partai politik ini sudah menjadi kuda rodeo, maka silih bergantilah antara anak muda dan pengincar tunggangan, berlatih menunggangi kuda, yang tingkahnya minta ampun. Sebab, siapa saja di antara keduanya, yang menungganginya, pastilah terpelanting. Karenanya, di penghujung waktu tertentu, keduanya bersepakat untuk menungganginya secara bersama. Maka berpasanganlah keduanya menunggangi kuda rodeo ini. Nampaknya mulai aman. Kelihatan mulai jinak. Sang pengincar menjadi calon bupati, sementara si anak muda menjadi wakil bupati.

Pada pucuk perhelatan pilkada bupati, makin riuh keadaannya. Rupanya, rasa nyaman dan aman, mulai raib. Kegelisahan diantara keduanya mulai menyata. Keduanya mulai saling bertanya, “mengapa kuda kita ini makin tak bisa kita kendalikan?” Mengapa partai ini, yang sudah menjadikan kita berdua menjadi jokinya untuk bertarung, sepertinya, bakal disalib oleh joki lain?”

Benar saja adanya, di kala jelang peresmian pendaftaran perlagaan pacuan kuda, pada pendaftaran pasangan calon bupati dan wakil bupati, keduanya terpelanting. Kuda rodeo itu tak sanggup sama sekali lagi dikendalikan olehnya. Tetiba saja, partai politik itu berpindah ke calon lain. Berpindah ke lain hati, begitu sepotong syair dari sebuah lagu kesedihan akan ketidakberdayaan. Kini, keduanya telah menjadi mantan calon bupati dan wakil bupati. Pragmatisme partai politik memangsanya. Dari pinggir lapangan pacuan, keduanya akan menonton perburuan kekuasaan. Ah, partai politik, eh kuda rodeo, siapa sesungguhnya pemegang kendalimu?

 

Sumber gambar: http://medanheadlines.com/wp-content/uploads/2018/01/Ilustrasi-1.jpg

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *