Arajang-Kalompoang: Pengertian dan Esensi

Ada satu kisah menarik ketika saya berkunjung ke Museum Balla Lompoa di Sungguminasa, saat itu saya bersama Erwin Djunaedi—alumni Ilmu Sejarah UGM—dan Jabal—alumni Sastra Daerah UNHAS—melihat-lihat koleksi museum, bola mata Erwin Djunaedi yang dari Yogyakarta itu begitu takjub melihat tombak, parang, klewang, badik, kain, serta ornamen-ornamen yang terdapat di dalam museum. Adapun Jabal hanya berkespresi biasa—mungkin lantaran keseringan mengunjungi museum Balla Lompoa.

Setelah asyik menyaksikan koleksi museum, pengelola dan juru rawat Museum Balla Lompoa kemudian mengajak kami memasuki ruangan khusus di bagian belakang, ruangan yang diberi teralis dan digembok. Ketika kami diijinkan memasuki ruangan tersebut, sepasang bola mata Jabal dan Erwin Djunaedi berbinar melihat adikarya Museum Balla Lompoa, yakni Salokoa—mahkota Kerajaan Gowa.

Penuturan sang juru rawat saat itu mengatakan bahwa mahkota Kerajaan Gowa atau Salokoa merupakan benda pusaka kerajaan atau dalam bahasa setempat disebut kalompoang sedang dalam bahasa Bugis disebut arajang. Kalompoang atau arajang dalam pandangan masyarakat Bugis-Makassar kala itu merupakan benda sakral dan menjadi alat legtimasi kepemimpinan seorang raja—selain melihat trah, dan pesetujuan dewan adat tentunya.

Di Kerajaan Gowa, selain Salokoa terdapat pula Sudanga. Sekadar catatan Salokoa merupakan mahkota Kerajaan Gowa yang terbuat dari bahan emas murni bertahtakan intan berlian sebanyak 250 biji, ada yang bewarna hijau, ada pula bewarna putih merah. Bentuknya menyerupai kuncup bunga teratai yang mempunyai kelopak sebanyak lima helai. Sedangkan sudanga merupakan senjata tajam—serupa parang atau pedang yang dipercaya dibawa oleh Lakipadada dan Karaeng Bayo—dua nama ini dikenal sebagai bangsawan suatu kerajaan di jazirah Sulawesi saat itu, pun salah satu dari mereka mempersunting raja Gowa pertama, Tumanurung Bainea.

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, esensi dari kalompoang atau arajang ini merupakan salah satu alat legitimasi bagi seorang bangsawan dalam memerintah di suatu kerajaan di Sulawesi Selatan. Posisi dari arajang atau kalompoang ini begitu penting lantaran dapat memberikan pengaruh besar bagi si pemegang benda pusaka ini. Salah satu peristiwa yang kongkrit berkenaan arajang atau kalompoang ini dapat dilihat pada kisah “Gerakan Batara Guru I Sangkaliang”. Sebuah gerakan untuk merebut tahta Kerajaan Gowa. Dikisahkan pada tahun 1776 seorang lelaki yang bernama Batara Gowa I Sangkilang berhasil merebut pengaruh dan wibawa raja Gowa saat itu, Sultan Zainuddin serta banyak rakyat Kerajaan Gowa di daerah pedalaman mengalahikan ketaatannya pada Batara Gowa I Sangkilang—lantaran memiliki lelaki itu memiliki kalompoang kerajaan.

Contoh tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam konsep Kalompoang atau Arajang dapat ditemukan dasar pengabsahan atau pengukuhan kepemimpinan masyarakat tradisional Bugis-Makassar. Itulah mengapa ketika pemerintahan Hindia-Belanda meminta kesediaan Andi Mappanyukki untuk menjadi Raja Bone, ia—maksudnya Andi Mappanyukki—menolak, karena arajang Kerajaan Bone tidak dimilikinya. Barulah ketika pemerintahan Hindia Belanda mengembalikan arajang Kerajaan Bone, maka Andi Mappanyukki bersedia menduduki tahta Kerajaan Bone.

0 thoughts on “Arajang-Kalompoang: Pengertian dan Esensi”

  1. Orang makassar khusunya gowa tdak pernah mengikut sertakan belanda ! Kecuali orang bugis karna orang bugis itu di beri keistimewaan oleh pihak belanda karna kerja samanya . (Matamata balanda) (balanda lele’nga matanna) (balanda bida’) . Mungkin itu bahasa yang tepat buat teman belanda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *