Marosso, dia tidak pernah memilih lahir dari kandungan ibunya. Di sebuah subuh nan bisu, tatkala para tetua bersujud di Masjid, segerombol anak muda dalam pengaruh alkohol mengendap-endap masuk rumahnya. Mereka meniduri seorang gadis ranum beramai-ramai. Dari situlah asal muasal janin, Marosso terus tumbuh, lalu lahir meski telah coba digugurkan dengan urut dan ramuan obat-obatan tradisional, beberapa kali.
Telah banyak spekulasi perihal laki-laki yang berhak dipanggilnya ayah. Namun, spekulasi itu mengendap demikian saja. Bahkan para tetua kampung tidak berani mengadili biang kerok hadirnya Marosso, meski mereka tahu dalang pemerkosaan itu. Akhirnya, Marosso jebrol tanpa ayah. Inilah malapetaka kedua, setelah dia terpaksa tumbuh dalam rahim antah berantah, dan tak dikehendaki.
Baginya, dunia itu sederhana. Bangun cari makan jika pagi, main-main sejenak, berkeliling kompleks perumahan kalau-kalau ada yang bisa dipungut untuk dijual, tertidur di sembarang tempat, dan terbangun lagi jika perut keroncongan. Mandi, ganti baju, tidak masuk prioritas kesehariannya. Beginilah masa kecil, dia jalani. Perempuan yang ditumpangi peranakannya, tidak mau ambil pusing. Marosso, telah membunuh masa depannya. Dia telah dipinang seorang lelaki mapan sebelum peristiwa subuh itu menimpanya, kemudian batal tanpa kompromi. Begitu dia menarik simpulan.
Tetapi, marcapada masih memberi ruang bahagia untuk Marosso. Hidupnya terang, sewaktu dia bertemu dengan seorang nenek. Tempo hari, dia sungguh menikmati beberapa ekor belalang hasil kejarannya di lapangan sepakbola, lalu dibakar seadanya. Sembari mencabuti kulit-kulit belalang gosong, seorang nenek mendekatinya. Bola matanya mengawasi gerak Sang Nenek, meski mulutnya terus mengunyah serampangan. Alangkah senangnya dia, sewaktu nenek tersebut menyodorkan nasi kuning terbungkus daun pisang. Pagi itu sungguh luar biasa baginya.
Sekenyangnya, Sang Nenek mengajak Marosso tinggal di rumahnya, dengan iming-iming bisa makan, dan minum sepuasnya. Dia manut! Walhasil, dia tidak lagi berkeliling kompleks dan memakan belalang. Dia memilih membantu nenek menyapu jalanan kala subuh, dan memulung barang-barang bekas saat pagi. Hasilnya, dikumpul, dijual, dan dibagi sama rata.
Satu yang sangat membekas di ingatan Marosso selama tinggal bersama Sang Nenek. Ini tentang sebotol kunang-kunang sebagai hadiah untuknya, entah demi merayakan apa. Tatkala itu, Marosso barulah pulang, ketika Sang Nenek berjalan tergopoh-gopoh menghampirinya. Tangan kanannya menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya, sementara satu tangannya lagi berusaha menangkap lengan Marosso. Merespon sikap perempuan renta itu, Marosso secara sukarela mengulurkan lengannya. Belum sempat tersentuh telapak nenek, semburat cahaya membuatnya terperangah. Sang Nenek, semisal peri tua dipenuhi kilauan. Dia bermandi kunang-kunang yang tanpa sengaja jatuh dari pengangannya demi meraih lengan Marosso, lalu berlomba-lomba keluar dari lubang mulut botol plastik ukuran besar. Tetiba, rumah kecil miliknya bersimbah terang. Untuk pertama kalinya Marosso terpukau terang, dan pertama kali pula dia merasai sakitnya kehilangan. Esok, di pagi yang berembun, perempuan berumur itu menghilang.
****
Kepulan asap kopi hitam melayang-layang di udara. Dia senang mengisi paginya menyeruput secangkir kopi, bersama sebatang kretek terapit jari tengah dan telunjuknya. Tidak banyak yang diharapkan dari hidup yang sekarang. Bersyukur, dia telah mampu mandiri, mengelolah warung kaki lima dengan beberapa pajangan kebutuhan sehari-hari itu lebih dari cukup. Pun berinteraksi dengan para sopir yang singgah menjerang kopi instan jualannya, sungguh membawa rezeki untuknya.
Sejak dikerumuni kunang-kunang, dia merasa hidupnya sangat berubah. Dia percaya, binatang kecil bercahaya itu membawa keberuntungan. Maka setiap malam, dia menyiapkan waktu khusus, duduk berlama-lama di rawa penuh belukar di belakang rumahnya. Jika pun udara sungguhlah dingin, dia tidak akan meninggalkan kebiasaannya ini. Dia sangat menikmati kemunculan salah satu hewan keluarga kumbang bersayap tersebut, satu persatu dari rimbun pohon di sekeliling rawa. Semakin larut, akan semakin bertambah banyak, jika sudah demikian, bersamaan dengan riuh berhimpunnya kunang-kunang, Sang Nenek ada di sana.
Maka, Marosso pun akan berkeluh kesah pada perempuan tua itu. Kadang, percakapan berlanjut sangat lama dan alot, apatah lagi jika membicarakan tentang hidup yang diperjuangkan Marosso. Meski perjumpaan mereka memakan waktu lama, dia sama sekali tidak pernah menanyakan perihal perginya Sang Nenek. Kunang-kunang telah membawanya kembali.
Dalam perjumpaan itu pula, Sang Nenek kadang mengungkapkan kekhawatirannya terhadap Marosso karena masih menjalani hidup sendirian, padahal usianya telah layak menikah. Jika wanita berumur itu menanyakan perihal ini, Marosso menanggapi seadanya saja. “Pastilah akan tiba saatnya nanti, mungkin saja ketika kunang-kunang sedang ramai-ramainya beranak pinak.” Selorohnya.
Bukan hanya nenek, kadang ini juga menjadi pertanyaan para sopir yang beristirahat di warungnya. “Bukankah Si Dara sangat suka mengunjungimu? Sepertinya dia menyukaimu!” Kalimat-kalimat ini seperti hujan, menguyur Marosso.
Sebenarnya, perkara meminang gadis menjadi istrinya mudah saja. Penghasilan dari warung kecilnya, terbilang cukup menafkahi keluarganya kelak. Dan inilah yang menjadi alasan para sopir tersebut menjadikan Marosso bulan-bulanan setiap hari. Tetapi, dalam pikiran Marosso, tidak pernah terbesit perihal hidup bersama perempuan muda dalam rumahnya. Dia selalu ketakutan jika memikirkan ini. Sejak kecil, seorang gadis ranum membuangnya. Untuk apa dia memelihara gadis lagi, yang akan mencampakkannya sebagaimana dulu? Pada sebagian ruang ingatannya, hanya tersimpan memori ihwal pertolongan perempuan berumur yang melebur bersama kunang-kunang di suatu malam. Selebihnya lagi, bekas-bekas tangisan ketika dia merengek air susu ibu tapi tidak didapatkannya.
Didera ketakutan mengigilkan, kadang Marosso memimpikan menjadi kunang-kunang saja. Ada Sang Nenek yang bisa membantunya. Sampai-sampai suatu malam, sebagaimana gelap yang selalu ditempuhinya, dia mengumpulkan banyak kunang-kunang dalam botol plastik berukuran besar. Ini sengaja dilakukannya, agar dia menghilang seperti Sang Nenek. Botol plastik tersebut dipeluknya sampai pagi, tetapi dia tidak juga menjadi kunang-kunang. Tidak berputus asa, dia melakukannya berulang-ulang. Telah banyak kunang-kunang dibuat mati kehabisan oksigen. Namun dia tetap berhasrat jadi kunang-kunang.
Malam ini, dia berharap menjadi malam terakhirnya. Dia berjalan menuruni anak tangga rumahnya yang tak seberapa. Mengeratkan balutan jaket menghalau beku. Seperti biasa, dia duduk menunggui kunang-kunang satu-satu berkilau di rimbun belukar. Menanti pula Sang Nenek, hadir di situ. Seekor kunang-kunang mengintip, pelan-pelan mendekat, terbang ke atas kepalanya. Selanjutnya bayangan Sang Nenek berkelebat. Marosso riang. Dia sungguh lama merindukan Sang Nenek, sejak ratusan kunang-kunang dibunuhnya.
“Kau masih menunggunya? Kau bodoh! Coba hitung berapa banyak binatang ini telah kau buat mati? Untung saja tersisa sedikit jantan membuahi betinanya, hingga masih ada yang ingin menemuimu. Mereka juga punya hasrat. Punya cara mempertahankan diri untuk hidup. Punya soalan hidup sendiri-sendiri! Menjadi seperti mereka, apa yang kau harapkan?” Rentetan kalimat Sang Nenek serupa peluru melesat cepat tanpa memberi kesempatan Marosso mengelak, apalagi bertanya.
Hening! Apalah daya, seekor kunang-kunang yang tadi bermain-main di atas kepala Marosso, mendadak mati. Jatuh tepat mengenai ubun-ubunnya. Pelan-pelan, kepalanya ditumbuhi antena, tubuhnya bersayap, dan bercahaya. Dia telah menjadi kunang-kunang!
Makassar, Sabtu dini hari/ 26 Januari 2018
Lahir 35 tahun silam. Punya dua jagoan andalan, Za dan Ken. Senang pinjam buku dan minum kopi hitam.