Budaya Literasi Sul-Sel: Warisan Yang Hilang

Budaya membaca dan menulis (literasi) masyarakat Sul-Sel tergolong rendah. Hal ini bisa dilihat dari kuantitas dan kualitas karya sastra yang dihasilkan misalnya dalam setiap tahun. Karya sastra merupakan indikator ketinggian peradaban suatu bangsa. Padahal dalam diri kita mengalir darah sastrawan besar. Siapapun tahu bahwa Sul-Sel pernah menjadi lumbung karya sastra yang diakui dunia. Misalnya saja I La galigo merupakan karya sastra terpanjang yang pernah ada di dunia, jauh lebih panjang dari naskah Mahabarata dari India, serta naskah Odessey dan Ellied karangan Homerus.

Melihat kenyataan ini makanya tidaklah salah mengambil kesimpulan budaya literasi merupakan warisan yang saat ini hilang dan menjadi tanggung jawab bersama untuk menggali dan menemukannya kembali.

Membaca karya sastra atau biografi penulis yang pernah mengharumkan nama Sul-Sel bisa menjadi motivasi untuk menorehkan kesuksesan yang sama. Membaca kisah-kisah seperti itu tidaklah semata ingin bernostalgia dan selalu menengok masa lalu. Apalah artinya karya sastra monumental lagi fenomenal tapi adanya di masa lalu, dan sekarang membaca karya sastra saja kita sangat tertinggal. Namun dengan cerita ini kita ingin menunjukkan, bahwa kita pernah memiliki nenek moyang yang merupakan sastrawan hebat. Di dalam tubuh kita mengalir darah mereka. Dan kita juga memiliki apa yang pernah membuat mereka menjadi sastrawan hebat, yakni semangat, kecerdasan dan kemampuan menulis serta sikap yang menempatkan budaya literasi pada tempat yang sangat terhormat, yang bila ini dipraktekkan secara sinergis pasti akan memberikan “ledakan peradaban” yang sama.

Tentunya akan muncul pertanyaan lanjutan yang sangat absah: mengapa peradaban tinggi yang pernah membuat generasi hebat kemudian tenggelam? Lalu apa saja yang dapat diperbuat oleh generasi sekarang untuk mengukir karya yang minimal setara dengan karya para pendahulu?

Dengan tulisan ini, meski hanya sebuah langkah kecil, semoga mampu mendorong ribuan langkah kecil lainnya, hingga menjadi langkah-langkah raksasa yang cukup demi menarik dan menemukan kembali budaya literasi yang telah lindap tertelan masa.

Mesti diakui bahwa di Sul-Sel Penulis masih menjadi profesi yang dipandang sebelah mata. Sehingga wajar saja jika sangat sedikit yang ingin mendedikasikan diri menjadi penulis. Menjadi penulis dianggap tak akan mampu untuk membiayai hidup. Padahal kalau kita mau mengambil contoh seperti Andrea Hirata dengan Tetralogi Laskar Pelangi atau Habiburahman El Shirazy dengan Ayat-Ayat Cinta, yang kemudian menjadi novel Mega Best Seller, ternyata bukan hanya pundi-pundi rupiah yang mampu dikumpulkan tapi juga ketenaran yang kemudian bisa diperoleh.

Saat ini menulis sangat mudah. Di mana pun kita bisa menulis, fasilitas lengkap tersedia, tak perlu lagi repot memanjat pohon lontar mengambil daunnya guna digunakan medium menulis. Bandingkan dengan kondisi nenek moyang kita yang sangat minim fasilitas menulis, tapi dengan semangat yang membaja mereka mampu menghasilkan banyak karya yang sangat luar biasa. Andai saja saat ini masih menggunakan medium daun lontara untuk menulis, apakah masih bisa menulis sebuah buku meski hanya terdiri beberapa lembar saja. Semangat untuk menulis inilah yang tidak dimiliki oleh generasi sekarang.

Hal terpenting yang mesti dilakukan sekarang adalah menggalakan budaya menulis bagi generasi muda khususnya dikalangan pelajar dan mahasiswa. Kemampuan menulis bukanlah sesuatu yang didapatkan secara instant begitu saja, tetapi membutuhkan proses pembiasaan yang mesti dilakukan secara kontinyu.

Peran media massa dalam melahirkan penulis berbakat sangat besar. Hal yang bisa dilakukan meski mungkin kelihatannya sangat sederhana misalnya memberikan ruang yang cukup bagi penulis pemula untuk mengekspresikan karya mereka dengan menyediakan ruang khusus atau hari tertentu untuk memuat tulisan bagi para penulis pemula.

Selanjutnya menyangkut usaha penerbitan yang masih sangat minim di Sul-Sel. Hal ini dikarenakan karena usaha penerbitan belum menjadi bisnis yang menjanjikan. Bagaimana mungkin penerbitan memiliki masa depan yang cerah jika budaya membaca sangat rendah, mana mungkin masyarakat berkeinginan membeli buku jika malas membaca.

Inilah berbagai problem literasi yang dihadapi oleh masyarakat Sul-Sel. Seyogyanya kita bisa berperan positif, meski hal itu cukup kecil untuk mendorong dan menumbuhsuburkan budaya literasi masyarakat. Semoga saja.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *