Waktu field break-ku di kantor kali ini cukup membahagiakan. Sebab, selain kebahagiaan yang ditaburkan keluargaku, dengan kelahiran cucu pertama dan lamaran untuk putri ke-tigaku. Juga karena tayangnya sebuah film besutan putra daerah yang bercerita tentang peristiwa lokal Makassar yang cukup sensitif, SILARIANG, Cinta Yang (Tak) Direstui. Salah satu aktornya cukup dekat denganku dalam artian yang sesungguhnya meskipun beliau bukanlah saudara atawa keluarga satu darah tapi secara psikologis lebih dari segala embel-embel itu. Dia keluarga, adik, dan juga sahabat. Dia yang banyak memotivasi saya dalam berkarya di dunia penulisan walaupun sesungguhnya hal ini sudah lama saya tekuni sebelum sua beliau secara intens.
Beberapa kali dia bercerita tentang film-nya itu, baik kualitas maupun alur cerita yang menarik dan cerita tentang perannya di film itu. Mungkin karena dia tahu bila aku memang penikmat film sejak masa kanakku. Tapi, yang dia lupa bahwa hampir semua film hasil kreativitas anak bangsa apatah lagi karya anak-anak sekampung pastilah aku menyisipkan waktu dalam kesibukanku untuk menyaksikannya. Bahkan bila tak sempat kudapati di bioskop pertunjukannya karena kesibukanku di rantau mengais nafkah, maka suatu saat akan kucari cakramnya untuk kunonton di rumah.
Kembali ke film “Silariang” yang di bintangi sahabatku itu. Substansi ceritanya, siapa pun yang membuat film-nya pasti sama. Jadi, tidak bisa ada yang mengklaim bahwa kisah itu adalah miliknya, sebab cerita dan peristiwa ini adalah cerita rakyat yang sangat mengakar di kalangan masyarakat Bugis-Makassar. Bagi warga Makassar dan Sulawesi Selatan umumnya yang lahir di tahun enam puluhan dan tujuh puluhan, kemungkinan masih kerap menyaksikan langsung peristiwa pembawa aib bagi keluarga ini. saya pun, dalam sebuah buku kumpulan tulisan tentang Makassar Tempo Dulu telah menuliskannya. Sebuah cerita tentang Silariang, jauh sebelum dua film dengan judul yang sama dibesut oleh para sineas Makassar ini. Substansi kisahnya sama tapi alurnya bisa berbeda. Sepasang kekasih kawin lari oleh penyebab bisa berbeda, ada to masiri’ dan to mappasiri, ada proses a’baji’. Ada proses mappaoppangi tana, dll. Isi atawa substansi ceritanya tak jauh dari situ. Yang berbeda-beda dalam setiap kisah atawa kejadiannya adalah alur ceritanya.
Secara keseluruhan film “SILARIANG, Cinta Yang (Tak) Direstui” ini, sangat menarik, dari sisi pengambilan gambar, akting para pemain yang terlibat, kecuali yang berperan sebagai Ibu yusuf atau Ucu. Saya tidak bisa menguraikannya apatah lagi bila memasuki perasaan seorang Ibu di kalangan Bugis-Makassar, jauh sekali. Seorang Ibu di Bugis-Makassar adalah figur penyayang, penuh cinta kasih, romantik, terkhusus untuk keluarga kecilnya. Selebihnya, film ini memuaskan dahaga kami sebagai penikmat film. Bahkan, dalam satu adegan kala Ibu Sulaikha membaringkan anaknya di pangkuannya lalu menyanyikan lagu “Ininnawa Sabbara’e” aku dan istriku saling memandang sejenak sebab kami spontan bersamaan mengelus tebing-tebing pipi yang mulai renta. Di adegan dan lagu itu membawa emosi kami ke masa lampau, masa kanak kami di tanah Bugis kala Ibu menina-bobokkan kami di pangkuannya dengan lagu yang sama. Ah.. kami betul-betul menangis.
Di sela-sela adegan serius yang nyaris tegang, diselingi pula dialog-dialog jenaka yang berkualitas, tidak sekedar melucu tapi ia menyampaikan pesan-pesan bajik pada penonton. Ada pula sedikit yang mengganggu pendengaranku, kala Sese Lawing yang berperan sebagai Puang Ridwan, paman Sulaikha, kala menutur pesan-pesan tu riolo orang Bugis tentang siri dan keperibadian, beliau kurang pas dalam dialek Bugisnya. Memang pada sisi itu perlu latihan yang lebih serius dan intens. Sesungguhnya, hal ini terasa bila kita betul-betul meresapi makna yang ditutur dalam bahasa Bugis yang sarat pesan filosofis itu. Selebihnya, Sese berakting sebagai paman to masiri’ dengan sangat bagus. Eee terlalu jauh saya berkomentar tentang film-nya padahal saya bukanlah kritukus film, hehe.. hanyalah seorang yang sedari kanak kerap di bawah orang tuanya nonton di bioskop, alias jadi hobi dan penikmat film.
Satu lagi yang membuatku amat suka dengan film ini, kru filmnya berhasil mengeksplorasi keindahan kampung halamanku di kabupaten Maros. Sebuah destinasi wisata yang belum terlalu lama dikembangkan oleh warga masyarakat dan pemerintah. Rammang-rammang namanya, yang terdiri dari beberapa kampung di dalamnya. kawasan ini di kelilingi oleh perbukitan kars (batu kapur) termasuk di sebuah alur sungai menuju dermaga. Sebuah kawasan pegunungan kars yang konon dikatakan sebagai gunung kars terluas di dunia setelah Tsingy di Madagaskar dan Shilin di Tiongkok China. Oleh sebab itulah UNESCO menetapkannya sebagai situs Word Heritage terhitung sejak tahun 2001.
Rammang-rammang berasal dari kata rammang yang berarti awan atau kabut. Sehingga warganya menyebutnya rammang-rammang atau sekumpulan awan atawa kabut. Menurut warga di sana, penamaan ini diberikan berkenaan dengan suasana kampung ini ketika pagi hari atawa saat hujan turun maka kawasan ini akan dipenuhi awan atau kabut.
Lokasi wisata Rammang-rammang yang terdiri dari gugusan pegunungan kars yang terbentang seluas 45.000 hektare bersambung dengan taman nasional Bantimurung. Dan dari keseluruhan luas kawasannya terbagi menjadi dua kompleks taman hutan batu, yakni, Desa Salenrang dan Desa Berua, dan kedua Desa ini suasananya tak jauh berbeda. Bukan hanya pegunungan kars dan kampungnya yang memesona, tapi juga sungai Pute yang menyambungkan antara desa Salenrang dan Desa Berua masih berpanorama asri di samping kiri kanannya. Tumbuhan mangrove-nya masih mengundang damai kala melintas dan memandangnya.
Muhary Wahyu Nurba, nama beken sahabatku ini, mengajakku nonton di gala premier film yang dibintanginya itu, SILARIANG, Cinta Yang (tak) Direstui. Padahal hari itu bersamaan dengan aqiqah cucu pertamaku. Karena masih ada sela beberapa jam dari pertunjukan maka kusempatkan untuk datang walau akhirnya terlambat sedikit. Memberi apreseiasi pada sahabat dan anak daerah sekampung atas kreatifitasnya mesti menjadi prioritas, dan mereka buktikan bahwa film besutannya tidak mengecewakan, menggerus lelahku setelah mengurus dua event di rumahku yang hampir bersamaan. Lamaran putri ke tigaku dan aqiqah cucu pertamaku. Tiga hari kemudian bersama istri terkasih aku nonton lagi film yang lain, besutan putra daerah lainnya.
Sepanjang perjalanan pulang, kenangku terbang jauh ke tahun tujuh puluhan, terkenang film-film daerah Makassar yang pernah tayang di bioskop di kota tercinta ini. Diantaranya, La Tando Di Toraja, Sanrego, dan Senja Di Pantai Losari, dll.
sumber gambar: bagaya.id
Penulis. Telah menerbitkan beberapa buku kumpulan esai dan puisi di antaranya Jejak Air mata (2009), Melati untuk Kekasih (2013), Dari Pojok Facebook untuk Indonesia (2014), Tu(h)an di Panti Pijat (2015). Anging Mammiri (2017), Menafsir Kembali Indonesia (2017), Dari Langit dan Bumi (2017). Celoteh Pagi (2018), Di Pojok Sebuah Kelenteng (2018), dan Perjalanan Cinta (2019).