Memeluk Hujan

Apa ada orang yang tak merindukan hujan? Apalagi pesan setiap hujan tak sama. Hampir setiap hujan menawarkan makna yang berbeda-beda, makna-makna yang menelusuri di setiap keindahan imajinasi setiap orang. Seolah di dalam setiap tetesan hujan terangkum seluruh makna-makna yang dikandungnya; kegalauan, kesepian, kecemasan, keindahan, kebahagiaan, kerinduan, dan bahkan luka derita penderitaan.

Benar! Hujan tak pernah menitipkan makna yang sama. Hujan tetap dinanti walau di musim penghujan sebab di musim kemarau tak lagi dinantikan, tapi dicari dan berusaha menemukannya. Dan memang seperti itulah cara hujan memainkan perasaan kita dan berdialog dengan kita. Kita harus pandai-pandai menjamu hujan saat ia datang menawarkan maknanya. Karena ia datang begitu saja. Hampir-hampir tak pernah tahu kapan ia benar-benar datang dan benar-benar pergi.

Amat disayangkan, berkali-kali kita hanya mampu mempermainkan hujan. Seolah hujan berafiliasi kepada kepentingan tertentu. Seolah hujan berpihak pada agama tertentu dan punya kepentingan. Bukan kali ini saja, tapi kemarin-kemarin juga begitu, hanya mampu mempermainkan makna-maknanya saja. Padahal hujan turun karena kerinduannya ingin memeluk seluruh penduduk bumi. Dan hujan pun tak ingin dijamu bak seorang Raja, yang akan menyibukkan setiap orang untuk menyambut kedatangannya.

Tugas kita hanya menerima hujan apa adanya. Membirkannya mengalir begitu saja atau mempersiapkan lorong atau kanal khusus agar tepat di kanal itulah air hujan menelusuri makna-makna yang diiginkannya. Sebab hujan sampai kapan pun akan tetap diam dan membisu. Manusialah yang harus aktif memaknainya. Tugas hujan hanya memberi dan tugas kita adalah menerimanya dan menangkap makna-maknanya.

Ada yang berbeda kali ini setiap kali hujan turun. Karena makna keindahan hujan hampir punah, sebab hujan hanya dimaknai sebagai ancaman, terutama saat hujan turun di kota-kota besar. Ibarat monster yang datang dengan giginya yang tajam dan raut wajah menakutkan, siap menerkam keangkuhan para pemilik kota. Dan memang benar, bukan musim penghujan kali ini, musim penghujan kemarin, hujan tetap saja menyisakan korban, tanah longsor, banjir, dan ketenggelaman.

Tugas kita bukan menolak hujan. Tapi menyiapkan kolam raksasa agar air hujan bisa menari-nari di dalam kolam itu. Mungkin akan menghabiskan miliyaran, bahkan triliyunan dalam mewujudkan kolam raksasa itu. Biaya untuk merubuhkan gedung-gedung yang dibangun di atas tangan-tangan indah keangkuhan para pemilik kota. Biaya untuk memaksakan agar orang-orang terpaksa pindah. Dan biaya untuk membangun kolam raksasa yang megah, yang akan memanjakan mata dan hati para penduduk kota agar tidak berlarut-larut dalam tekanan hidup yang mencekam.

Bukankah ini lebih baik karena uang triluyanan itu membuat jutaan orang bahagia. Dan membuat kita semua bisa tidur pulas dalam menyambut air hujan dengan senyuman indah di setiap musim penghujan datang! Bukankah akan lebih indah jika di kota-kota besar orang-orang bisa menyaksikan kolam raksasa agar dengan leluasa mereka bisa membuang ego-ego keangkuhan ke dalam air kebijaksanaan itu! Bukankah kita bahagia, anak-anak kota bisa bermain-main dan berlari-lari di atas kolam raksasa! Bukankah akan nampak lebih indah jika orang-orang kota bisa mancing ikan persis di tengah-tengah kota!

Kali ini hujan benar-benar mengajak nurani kemanusiaan kita. Mencoba mengoyak-ngoyak keangkuhan yang tak berarti. Dan selalu bertanya, “sampai kapan kita akan membiarkan air hujan merenggut nyawa!” apakah kita masih belum bisa belajar dari setiap musim penghujan yang akan menjebak kita dalam kecemasan!

Kali ini kita butuh pembangunan yang berbasis lingkungan. Butuh sistem politik dan politisi yang berbasis lingkungan. Bahkan memaknai kembali kemanusiaan kita berbasis lingkungan. Sebab hanya dengan cara ini kita bisa memeluk semesta dan hujan. Terutama memeluk kemanusiaan kita yang semakin rapuh.

 


sumber gambar: www.apakabardunia.com

 

  • Entah pendengarannya seorang kisanak kurang jelas, atau kata-kata saya tak tangkas, sehingga ajakan saya ke satu hajatan disalah-pahami. Betapa tidak, Gusdurian menghelat haul Gus Dur, dia tangkap sebagai acara makan durian, terlebih lagi bakal minum jus durian. Mungkin kata Gusdurian menjadi biangnya. Apalagi sudah masuk musim durian. Sesarinya, hajatan haul Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid,…

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221