Pencurian di dalam Gedung Bioskop

Siang itu saat aku sedang membaca buku Detektif Cilik di ruang tamu. Ayah dan Bunda mengajak aku pergi ke bioskop. Mereka ingin mengajakku menonton film. Mereka melakukan itu untuk mengisi hari liburan sekolah. Maka dari itu mereka mengajakku menonton. Aku sih setuju saja asal filmnya sesuai usiaku.

Tidak lama kemudian aku, Ayah dan Bunda tiba di gedung bioskop. Setiba di sana Ayah pun langsung membeli tiket menonton untuk kami. Penonton film begitu ramai saat itu.

Aku pun akhirnya menonton film sesuai usiaku.  Itu pun Ayah  yang memilihnya. Jadi aku perlu di dampingi Ayah dan Bunda.

Kini tiba waktunya pertunjukkan film dimulai. Aku, Ayah dan Bunda pun langsung menuju ke ruangan yang cukup besar tapi tertutup dan kedap suara. Di sana ternyata sudah banyak para penonton untuk menyaksikan film hari itu.

Seusai aku, Ayah dan Bunda mendapatkan kursi sesuai nomor tertera di tiket ternyata film yang kami tonton pun di mulai. Aku pun duduk sesuai nomor kursi yang tertera. Sebelumnya aku melihat-lihat lebih dulu orang-orang yang menonton film saat itu. Setelah itu aku duduk dengan seksama.

***

Aku begitu sangat menikmati film itu. Apalagi film itu menceritakan tentang sekelompok anak kecil yang menyelamatkan  gajah yang tersesat. Hewan itu perlu dilindungi dan diselematkan dari para pemburu liar. Akhirnya gajah pun terselamatkan atas kerja sama anak-anak kecil seusiaku, di dalam film itu. Lalu ditempatkan ke suaka gajah yang disediakan oleh para relawan peduli gajah. Anak-anak yang menyelamatkannya pun ikut gembira.

Satu jam lebih tidak terasa aku menonton film itu. Tahu-tahu sudah tamat jalan ceritanya.

“Ayo kita balik, Sayang! Filmnya sudah selesai,” Bunda tetiba mengagetkan lamunanku.

“I-iya, Bunda!” seruku.

Dengan gontai aku melangkah meninggalkan gedung bioskop itu. Tapi saat ingin keluar terdengarlah suara jeritan seorang Ibu yang kehilangan tasnya. Saat itu semua pun penonton dibuat panik.

Akhirnya datang petugas keamanan dan manager gedung bioskop ikut mencari tas Ibu yang hilang itu. Semua bangku penonton diperiksa. Ternyata hasilnya nihil.

“Ibu tadi duduk di mana saat tas itu masih ada?” tanya petugas keamanan bioskop.

Begitu yang aku dengar dari petugas keamanan itu. Sebenarnya aku tidak ingin menguping pembicaraan mereka. Tapi karena  penasaran aku mencoba mencari tahu siapa yang mencuri tas milik Ibu itu. Dan naluri detektifku bergejolak. Begini-begini juga aku punya kelompok detektif di sekolah lho?

Namun saat aku ingin menemui Ibu itu dihalangi oleh petugas keamanan. Mungkin karena aku masih kecil. Jadi mereka menganggap aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ugh, kesal!

Tapi aku tidak kehabisan akal. Akhirnya aku meminta bantuan Bunda untuk bisa menemui Ibu yang kehilangan tas tadi. Bunda ternyata mau membantuku. Bunda pun menemui petugas keamanan bioskop yang tadi menghalangiku.

“Boleh anak kami membantu Ibu yang kehilangan tas itu, Pak? Siapa tahu anak kami ini bisa membantunya. Karena di sekolahnya ia mempunyai kelompok dektektif,” ucap Bunda.

Aku melihat Bunda mempromosikan kelompok detektifku jadi malu. Tapi apa yang dilakukan Bunda ampuh juga. Petugas keamanan bioskop itu akhirnya mau mengizinkan aku untuk menemui korban pencurian di dalam gedung bioskop tadi.

“Maaf, Bu, boleh aku melihat ponselnya. Karena aku lihat sebelum film diputar Ibu poto-poto lebih dulu,” kataku. “Oya, kenalkan aku Irfan. Aku kelas V di SD Patriot.”

Ibu itu pun langsung memberikan ponselnya padaku. Usai itu aku langsung mengamati satu persatu poto hasil jepretan Ibu tadi. Aha! Membawa hasil.

Aku melihat seorang laki-laki berjas coklat, memegang ponsel dan berkacamata. Ia duduk di samping Ibu itu. Kemungkinan saat film akan diputarlah ia melakukan aksinya karena kondisinya saat itu gelap.

“Iya, laki-laki ini yang berada di samping Ibu. Tapi mana mungkin ia pencurinya?”

“Namanya pencuri tidak melihat dari penampilan. Karena kesempatanlah yang membuat tindakan pencurian itu bisa terlaksana,” bak Sherlock Holmes, aku pun menjelaskan pada Ibu tadi. Karena itulah cita-citaku yang ingin menjadi detektif seperti tokoh fiksi itu.

Manager gedung bioskop itu hanya menyimak saja penjelasanku. Usai itu ia langsung mengomadoi semua petugas keamanan untuk mencari pencurinya.

***

Setengah jam akhirnya pencurinya berhasil ditangkap. Aku sangat senang sekali. Apalagi Ibu itu berterima kasih padaku sambil memberikan uang. Tapi aku menolaknya.

“Maaf, aku tidak bisa menerimanya! Ini sudah tugasku untuk saling menolong,” jawabku.

Bunda yang melihat aku pun  bangga. Tapi tidak dengan manager gedung bioskop itu. Ia memberikan aku tiket menonton gala primier. Nonton bareng bersama artis cilik pemain film.

“Kalau Om memberikan tiket ini. Pasti kamu maukan,” rayunya.

Aku ragu saat itu.

“Ambil saja, Sayang! Tidak usah bilang Bunda jika yang ini,” Bunda pun berucap sambil melirik ke arahku.

“Terima kasih ya, Om!” seruku sangat senang sekali menerimanya.

“Iya! Kalau begitu Om mau menyerahkan pencuri itu ke kantor polisi dulu ya. Sampai ketemu detektif cilik!” Setelah itu ia meninggalkanku.

Aku kembali melihat tiket itu. Lagi-lagi aku sangat senang sekali menerimanya.

“Ayah nanti boleh ikut tidak?” tetiba Ayah menggodaku.

“Kalau, Bunda bagaimana?” timpal Bunda.

“Pasti dong semua ikut! Lagi pula jika Ayah dan Bunda tidak ikut nanti siapa yang mendampingi aku,” kataku sambil tersenyum.

Ayah dan Bunda pun tertawa. Akhirnya kami pulang dengan hati senang terutama aku. Karena jiwa detektifku bisa menolong Ibu yang hampir kehilangan tasnya di dalam gedung bioskop.[]

 

  • Bara di Dada Pertiwi Di tepian pantai kusaksikan anak-anak angin dengan riangnya berdansa memainkan alismu. Kau tertidur di atas bangkai perahu reyot. Kebayamu yang lusuh, koyak. Payudaramu yang memabukan iman, tampak oleh mataku. Pertiwi. Rupanya, kau baru saja ditindih dagingmu sendiri. Daging yang kau pangku selama tujuh puluh satu tahun tanpa Ayah. Entah, siapa ayahnya?…

  • Beberapa hari lalu, saya menulis satu respon dan koreksi terkait tak mampunya orang kebanyakan memahami metafor, perumpamaan, dan pesan-pesan implisit (baca di sini). Itu saya tulis selepas melihat satu kiriman di linimasa Facebook yang terkesan menggugurkan pesan “menginjak atau membakar kitab suci itu sama sekali tidak menghina Tuhan, dst…” dengan menyamakannya dengan kasus “bagaimana kalau…

  • Cermin benda yang bermanfaat dalam kehidupan praktis manusia. Cermin bagi dunia mode, misalnya, merupakan salah satu perkakas yang paling elementer. Tanpanya, sang pesolek tak mampu melihat bayangan dirinya. Apakah sempurna atau tidak, semuanya bergantung kepada cermin. Seperti sang pesolek, masyarakat umum juga membutuhkan cermin agar bisa menunjang penampilannya. Tak bisa dipungkiri, mulai dari anak sekolahan…

  • Seekor kelabang menggelitik punggungnya. Lima jarinya meraba, ternyata bukan hanya satu. Ada dua. Tidak, ada tiga, empat, dan serasa punggungnya dipenuhi kelabang. Serentak, binatang berkaki berjibun ini menyuntikkan bisanya di punggung Lajana, menyisakan jerit yang lebih serupa lolongan, dan lebam-lebam biru kehitaman di seluruh punggungnya. Nyeri yang melanda, membuatnya bermandi keringat. Dia meringis sejadi-jadinya, dan…

  • Biasanya, begitu memasuki bulan November, segera saja saya beromantis ria, dengan memutar berulang kali, tembang lawas dari Black Brothers, yang berjudul, Kenangan November, yang potongan syairnya, “Terlalu cepat pertemuan ini // terlalu cepat pula perpisahan // namun kenanganku denganmu // di awal Nopember yang biru.” Namun, November kali ini agak lain, saya menyebutnya November yang…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221