“Orang yang tahu cukup adalah orang yang sudah berkecukupan”. (Dao De Jing, Lao Zi)
Bulan Maret 2018, belum sampai semadya jalannya. Tepatnya antara tanggal 6-10, saya ikut nimbrung di persamuhan Palopo Literasi Festival, yang bertempat di areal Taman Baca Kota Palopo. Letak perhelatan ini, berada di jantung kota. Tak jauh dari Istana Datuk Luwu, pun beberapa langkah saja dari mesjid tua, Mesjid Jami Palopo. Pagelaran literasi ini, dihamparkan oleh sekaum altruist, yang terhimpun dalam berbagai komunitas literasi. Waima saya tidak ikut acara secara keseluruhan, hanya dua hari saja, namun aura getaran momen ini, cukup terpahat dalam tulang sumsum kembara saya selaku pegiat literasi.
Sepulang dari festival itu, diatas bus antar kota yang membawa saya balik ke mukim, Makassar, seorang kisanak dari pulau seberang, menjapri saya di medsos. Amat elok jikalau saya nukilkan kiriman pesan, yang bernuansa nasehat itu. Dikisahkan bahwa, seorang pemimpin spiritual, sesosok Imam, dari suatu negeri, berdialog dengan seorang pengikutnya, tentang buah jeruk, yang menyebabkan seorang ibu, didapuk telah berdosa.
Kira-kira begini kisahnya. Oleh Ibu Marzieh Hadidehchi (Dabbaq) menceritakan : Suatu hari di Neauphle-le-Chateau aku membeli jeruk dua kilo karena harganya murah. Karena udara dingin, aku berpikir kita akan punya persediaan jeruk hingga tiga atau empat hari. Ketika Imam melihat jeruk-jeruk itu, beliau berkata, “Untuk apa semua jeruk ini ?” Saya menjawab, “Jeruk harganya murah dan saya beli untuk beberapa hari.” Imam berkata, “Kamu telah melakukan dua perbuatan dosa.
Pertama, kita tidak membutuhkan semua jeruk ini. Kedua, mungkin saja di Neauphle-le-Chateau ada orang yang belum sempat membeli jeruk karena sebelumnya harganya mahal dan sekarang harganya murah mereka dapat membelinya, sementara kamu membeli jeruk untuk kebutuhan tiga sampai empat hari. Kembali ke sana dan kembalikan sebagiannya.” “Tidak mungkin mengembalikannya,” jawabku. “Harus ada jalan untuk itu,” ujar Imam. “Aku harus melakukan apa?” tanyaku. Beliau mengatakan, “Kupas jeruk-jeruk itu dan berikan kepada orang-orang yang belum memakannya. Semoga dengan cara ini Allah mengampuni dosamu.”
Entah suatu kebetulan. Tapi, sesungguhnya tiada yang kebetulan di dunia ini. Sebab, Tuhan tidak bermain dadu, saat mendedahkan takdir kejadian. Pasalnya, tidak lama setelah pesan kisanak itu saya eja, saya memicingkan mata, meresapi hakikat terdalam akan sajian akhlak tingkat tinggi dalam bermasyarakat, tetiba saja pesan japri berikutnya, datang dari pasangan saya di mukim. Ia bilang, “sudah ada lima orang tetangga yang melaporkan kondisi pohon pisang kita di belakang rumah”.
Lalu aku jawab, “wow, aku baru berangkat pagi ini. Kemungkinan tiba malam”. Setelahnya, aku bertanya, “sejak kapan menguning?” Karena agak ada gangguan, maka saya inisiatif menelponnya, bahwa cari jalan keluar saja, agar segera ditebang. Tidak lama kemudian, pesan japrinya masuk, tertulis, “sudah saya bagi-bagi ke tetangga”. Rupanya, begitu pasangan saya memberi tahu tetangga belakang rumah, bahwa saya malam baru tiba, maka tetangga pun berinisiatif menebang pisang itu. Soalnya, lumayan besar pohonnya, buahnya pun lebih sepuluh sisir. Maklum buah perdana.
Orang di mukim saya mengambil secukupnya saja. Sekira setengah saja. Beberapa sisir dibagi ke tetangga. Pun, ada jua yang dikirim ke sanak saudara. Perkara bagi-bagi pisang ini belum berakhir ceritanya. Sebab, selain pesan lewat japri, ia pun menuliskan di linimasa facebooknya, “Sejak kemarin sudah ada enam tetangga yang melaporkan kondisi pisang di belakang rumah. Yang mau makan pisang goreng, ayo ke sini”. Sembari menampilkan gambar pisang, guna menguatkan ajakan itu.
Selama di atas bus, saya selalu merenungkan dua peristiwa yang dipesankan kepada saya. Tentang kisah jeruk dari seorang Imam dan seorang Ibu, juga cerita tentang pisang dan tetangga. Pada prinsipnya, dua peristiwa itu, mempunyai pesan yang sama. Pentingnya berbagi, dan mengambil secukupnya saja. Sebab, dengan begitu, kita akan merasa cukup. Berkecukupan dalam hidup. Jika setiap orang mengambil secukup kebutuhannya, bukan lebih karena dorongan keinginan, betapa tentramnya hidup dan kehidupan bermasyarakat.
Kacaunya tatanan hidup dan kehidupan, berakar pada ketidakmampuan diri mendefenisikan kebutuhan diri. Sehingga, seringkali terjebak dalam tuntutan keinginan sebagai tuntunan. Padahal, sesarinya, antara kebutuhan dan keinginan adalah dua hal yang berbeda, namun tidak banyak insan yang bisa menelisik perbedaannya. Kisanak yang hidup berdasarkan kebutuhannya, itulah seorang yang selalu merasa cukup. Sementara, manusia yang melata berlapik pada keinginannya, itulah sewujud keserakahan. Bagi orang serakah, dunia dengan segala isinya, belumlah cukup buat dirinya. Itulah sejatinya ketamakan.
Telah ditorehkan dalam Udanavarga, kitab suci Budha, bahwa, “kalau membuang semua ketamakan, Anda akan menikmati kebahagiaan yang paling tinggi. Hanya orang yang melekat pada ketamakan yang tidak mungkin bisa merasa puas dalam hidup. Karenanya, tak peduli dia itu siapa, semua perlu memilki kebijaksanaan, melenyapkan ketamakan untuk menikmati hidup berkecukupan”.
Cerita tentang jeruk dan pisang, dari setting peristiwa yang berbeda, sekadar contoh dari laku dan lakon hidup dari para pemantik kehidupan yang bernubuat serba cukup. Benarlah penabalan Lao Zi, seperti yang saya petikkan di mula tulisan ini, yang bila ditegaskan lebih jauh, akan bermuara pada penjelasan, bahwa, “mendapat banyak atau sedikit, bagi orang yang tahu cukup, itu sama saja, tidak ada bedanya, selalu merasa bahagia dalam hidup”. Singkatnya, bila butuh hidup berkecukupan, cukup hidup secukup kebutuhan saja.
Sumber ilustrasi: http://www.nu.or.id/post/read/68851/puasa-dan-pesan-tentang-kesederhanaan
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.