Dalam adat istiadat bangsa Makassar, bahkan setelah Islam diterima sebagai agama resmi kerajaan Gowa Tallo sekitar abad ke-16/17, dikenal ada dua bentuk perkawinan. Pertama, perkawinan dengan peminangan. Kedua, perkawinan dengan Silariang (Anynyala). Perkawinan jenis pertama terbilang sebagai suatu proses perkawinan normal yang lazim terjadi sebagaimana juga ditemukan pada perkawinan suku-suku lain di Indonesia, seperti melalui proses peminangan (Mange Assuro), pernikahan, dan pesta perkawinan.
Yang sangat unik disoroti adalah jenis pernikahan yang kedua, silariang. Betapa tidak, bentuk pernikahan ini diliputi dengan drama yang sangat membahayakan sekaligus mengerikan hingga bisa terjadi maut pada laki-laki dan perempuan bahkan dapat mengakibatkan pertikaian dua keluarga besar. Menurut adat, sebagaimana dikatakan Sugira Wahid (2007), silariang (anynyala) artinya berbuat salah, dalam hal ini berbuat salah terhadap adat perkawinan yang diwujudkan dengan kawin lari. Pihak keluarga gadis menderita sirik (malu), sehingga tumasirik (keluarga yang dipermalukan) berkewajiban Appaenteng sirik (menegakkan harga diri atau rasa malu), dengan cara membunuh lelaki yang melarikan anaknya, ada kekecualian yaitu apabila lelaki itu telah berada dalam rumah atau pekarangan rumah anggota adat/pemuka masyakarat, atau setidak-tidaknya telah sempat membuang songkoknya kedalam pekarangan rumah anggota adat tersebut berarti ia telah berada dalam lindungan adat, maka ia tidak dapat diganggu lagi. Bagi kadhi atau penghulu merupakan kewajiban baginya untuk menikahkan mereka yang terlibat silariang (tumanyanyala).
Disinilah letak keistimewaan bentuk pernikahan silariang. Cara ini merupakan suatu tata cara yang dibuka secara adat namun sangat sempit dan berliku karena nyawa adalah taruhannya. Sudah menjadi wacana umum bahwa perkawinan dalam masyarakat Makassar dan bugis adalah merupakan suatu proses yang tidak ringan bila dilihat dari segi sosial ekonomi dan politik. Setidaknya ada beberapa alasan mengapa silariang terjadi. Pertama, si lelaki atau si gadis akan dikawinkan dengan seseorang yang tidak dicintainya atau dipaksakan dari pihak orang tua. Kedua, si lelaki tidak dapat memenuhi permintaan dari pihak si gadis, seperti tingginya mahar atau uang panai atau karena alasan lainnya, padahal keduanya saling mencintai. Ketiga, karena adanya perbedaan strata sosial ekonomi.
Sebenarnya masih ada dua varian lain dari silariang ini, jika dilihat dari motif terjadinya. Pertama, Nilariang yaitu laki-laki membawa lari si gadis ke rumah penghulu sebagai perlindungan untuk dinikahkan, dengan alasan, misalnya, pinangan laki-laki ditolak oleh pihak perempuan sedang mereka saling mencintai. Atau karena alasan si gadis yang dipinang melakukan penghinaan. Kedua, Erangkale, membawa diri. Terjadi ketika perempuan datang sukarela pada laki-laki minta dikawini atau ke rumah penghulu meminta dikawinkan dengan lelaki yang dimaksud, dengan alasan untuk menghindari kawin paksa dari pihak si gadis, si gadis sudah hamil sehingga dikhawatirkan membawa aib keluarga, atau karena alasan si gadis sudah kena pelet dari laki-laki yang pernah dihinanya.
Tidak ada penjelasan yang memuaskan kapan silariang ini mulai berlaku dalam budaya makassar, termasuk dalam lontarak tidak dikemukakan. Sejauh penulusuran penulis, belum ada buku yang menjelaskan secara spesifik kapan jenis budaya ini bermula, bahkan sekaliber Prof. Mattulada sekalipun hanya mengemukakan pengertian dan muatan dari silariang saja.
Jadi setidaknya yang dapat dikemukakan adalah beberapa asumsi. Mahalnya uang panai, penolakan dari keluarga perempuan atau laki-laki karna perbedaan strata sosial ekonomi, perjodohan dengan laki-laki atau perempuan lain yang tidak diinginkan dan berbagai alasan lainnya merupakan penghalang terwujudnya pernikahan yang ideal atau pernikahan biasa. Keadaan seperti itu, tentunya akan selalu terjadi dari generasi ke generasi yang memiliki banyak dampak negatif terhadap kestabilan dan keberlangsungan masyarakat. Di sinilah letak peran penting para intelektual atau panrita dan pemuka adat dalam merumuskan jalan keluar dari kebuntuan-kebuntuan semacam itu.
Akhirnya silariang ini dijadikan sebagai solusi cerdas dan arif sekaligus sebagai sebagai jalan keluar. Diakuinya institusi silariang ini tentu tidak lepas dari pertimbangan sirik itu sendiri dimana pada akhirnya semua pihak akan tegak siriknya setelah melewati berbagai proses secara adat. Tidak ada yang terluka atau hilang siriknya, baik dari laki-laki dan perempuan yang melakukan kawin lari (anyyala), keluarga perempuan maupun keluarga laki-laki, tentu saja, setelah melewati proses abbjik (damai) dimana si Tumanyyala menyediakan sunrang, pappasa (denda karena berbuat salah).
Mereka yang terlibat silariang membutuhkan adrenalin tinggi dan keberanian berlipat-lipat dalam upaya melewati tembok pernikahan sakral yang, terkadang, begitu kokoh dan angkuh. Mereka yang melakukannya biasanya didorong oleh kobaran api cinta yang menyala-nyala, bak Romeo dan Juliet atau bak Dato Museng dan Maipa Deapati. Apa pun rintangannya, sekalipun jiwa taruhannya, tidak lagi menjadi soal ketika motif nyala cinta yang berbicara.
Kalau lah dalam Al-quran dikatakan bahwa perceraian adalah sesuatu yang halal tapi sangat dibenci oleh Allah. Boleh lah kita berkata pula bahwa, dalam budaya Makassar, Silariang itu dapat dilakukan tapi sangat dibenci dan kalau boleh dihindari.
Tulisan ini bukan dalam kajian ingin memperhadapkan antara perkawian silariang dalam budaya Makassar dengan perkawinan menurut Islam atau dengan kata lain dari halal haramnya. Silariang ini adalah salah produk budaya dalam sejarah perjalanan bangsa Makassar, termasuk dalam interaksinya dengan diterimanya Islam sebagai agama resmi masyarakat Makassar. Semestinya lahir jenis silariang baru yang lebih humanis dan mengadopsi nilai-nilai Islam sebagai hasil dari dinamika budaya dengan Islam itu sendiri. Bagaimana pun, budaya itu dinamis dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
Namun yang tak dapat dipungkiri adalah bahwa para intelektual terdahulu telah memiliki kecerdasan dan kearifan luar biasa sehingga mampu merumuskan dan melahirkan budaya yang adiluhung, salah satunya adalah silariang. Jenis pernikahan ini dapat dipahami dengan baik ketika menyelami dengan baik pula konteks budaya Makassar yang bertumpu pada budaya sirik dan pacce. Pelembagaan silariang ini, pada akhirnya, dalam rangka tegaknya sirik na pacce itu sendiri, yang akan membawa masyarakat dalam kondisi yang lebih aman, stabil namun tetap dinamis.
Warisan kecerdasan geneologis historis inilah yang setidaknya dapat mendorong kita menjawab tantangan zaman kontemporer, dengan mencoba menempatkan semua aspek menjadi satu kesatuan yang sejalan dibawah ajaran Islam dalam bingkai negara kesatuan Indonesia atau yang lebih populernya, saat ini, disebut Islam Nusantara.
Pedagang merdeka yang hobinya membaca dan menulis