Badik dan Literasi

Banyak yang merasa bangga. Apalagi penggagas dan pembuatnya. Dianggapnya sebagai suatu penghormatan pada sejarah. Dikiranya sebagai suatu persembahan yang heroik pada masa lalu, dan sebagai sajian yang bombastis pada generasi kini dan nanti. Tapi bagi mereka yang eling, itu merupakan suatu pembodohan, kedunguan dan kemunduran. Namun, semoga, itu hanya sebagai suatu ketidaktahuan atau kealpaan alam sadar semata. Pun bukan sebagai suatu kesengajaan yang terus dipelihara.

Adalah sebuah perbatasan kota: Makassar-Gowa, yang dahulunya satu, kini terpisah oleh sebuah garis demarkasi administratif. Di batas kota inilah—juga menjadi gerbang ke salah satu universitas terkemuka—ada simbolisasi yang sangat paradoks: badik raksasa di satu batas. Sebilah badik yang sudah terlepas dari warangkanya, menikam angkasa dengan gagahnya. Tingginya sekitar dua meter, barangkali juga terbuat dari besi tempaan. Dan semboyan Gowa-Bersejarah di batas lain. Dua perbatasan yang, sekali lagi, sangat paradoks.

Badik yang mengacung ke atas itu adalah sejenis badik lompo battang, seperti orang hamil, khas made in  Makassar. Konon bila terkena badik ini, nyawa tidak akan bertahan dalam dua puluh empat jam. Jenis badik itu berbeda dengan badik Luwu—rupanya sedikit lain, bilahnya lurus  dan meruncing di bagian ujung. Sedangkan  badik Bugis, lagecong, bentuknya dari hulu kecil kemudian melebar lalu meruncing di ujungnya.

Badik itu berbicara banyak. Bukan sekedar sebuah benda runcing nan tajam. Senjata pendek itu lahir dari sejarah panjang Makassar dan Gowa sekaligus, bahkan Indonesia. Ia bukan sekedar senjata yang dipakai dalam pertempuran atau dipakai untuk menjaga diri atau sekedar koleksi, ia punya makna lebih. Sebagaimana dikatakan Barthes, ada dua tingkatan pertandaan (staggered system), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang bertingkat-tingkat, denotasi (denotation) dan konotasi (connotation).  Dan tentu saja, badik itu, sengaja ditampilkan  sedemikian rupa—entah di mana warangkanya—dengan sejumlah pesan yang ingin disampaikan.

Badik raksasa ini tidaklah salah. Ia adalah, tentu, perlambang keberanian, pantang mundur bahkan bisa bermakna amukan. Sangat dibutuhkan dalam melakoni kehidupan. Namun menjadi sangat keliru dan sungguh ahistoris, bilamana badik ini hanya berdiri sendiri, tanpa bersanding intim dengan sebuah pena. Pena, tak terbantahkan, adalah simbolisasi pengetahuan, kealiman dan kecerdasan. Badik-pena mestinya seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, tanpa sisi lainnya, tidak akan dapat dipergunakan dengan baik dan optimal.

Apa konsekuensi logis, bila hanya badik yang dibesar-besarkan (dipakalompo): Pabbambangang na tolo—temperamental bodoh pula. Stigma negatif inilah yang banyak mengemuka di tengah masyarakat.  Sebuah nuansa negatif yang, alih-alih ingin diberantas, malah dipupuk hingga subur yang melahirkan akibat-akibat lanjutan: kebodohan, ketertinggalan, keterjajahan, kemiskinan bahkan keterasingan di tanah sendiri. Apakah telah menjadi penyebab atau akibat, atau sudah menjadi lingkaran setan, entahlah. Mengapa mudah panas dan tersinggung, karena hanya memegang badik di satu tangan, tanpa sentuhan pena yang mendalam di tangan lainnya.

Sejatinya, pena-pengetahuan, akan mendinginkan panasnya keberanian-badik yang menyala-nyala, melembutkan hati yang keras membesi, memberikan timbangan baik-buruk: apakah badik biarlah tetap tenang dalam warangkanya atau, memang, mesti dihunus demi kebaikan yang lebih besar.

Padahal, perpaduan simbolis, antara badik-pena, telah terbukti dalam sejarah tanah ini. Betapa di Makassar ini, pernah menjadi suatu kekuatan sangat besar di Nusantara, bahkan menguasai kawasan Nusantara bagian timur.

Punya semboyan bersejarah, tapi tidak memetik buah terbaik sejarah negeri ini, dari mereka yang lahir di tanah para karaeng ini. Bukankah sejarah adalah cerita dari para tokoh besar, kata Thomas Charyel. Para elit, terutama, mesti mengeja ulang sejarah sub negeri ini—negeri yang ikut membentuk Indonesia.

Sebut saja, misalnya, Daeng Pamatte—syahbandar Kerajaan Gowa-Tallo, sebagai pencetus aksara lontara (sebagaimana dikatakan oleh begawan sejarah Sulawesi Selatan, Mattulada) sebenarnya telah memberi dasar kuat untuk pembangunan literasi kita. Indonesia yang dibangun dari ratusan suku bangsa dan bahasa—yang dahulu disebut sebagai nusantara ini— dalam catatan sejarahnya, hanya segelintir saja yang memiliki aksara yang mandiri : aksara Jawa/Sunda, Bali, Karo (Batak), Rambong-Ogan, Lampung, Rejang dan aksara lontarak Makassar-Bugis. Inilah tragisnya, ketika  keaksaraan yang sudah dibangun hampir sepuluh abad lalu itu lantas dilupakan oleh generasi sekarang.

Yang patut disayangkan, bahkan sangat disesalkan adalah ketidaktahuan para elit—semoga bukan kesengajaan—akan pentingnya simbol-simbol yang sarat makna itu. Mengherankan memang, mereka adalah orang-orang yang berpendidikan, katanya,  tapi tidak menghayati secara mendalam simbol khas dan unik tanah ini. Simbol-simbol yang justru sarat dengan muatan pembelajaran yang berdimensi masa lalu, kini dan akan datang. Ataukah politik sudah menjadi panglima yang sangat berjangka pendek dan membutakan, hingga melupakan pembelajaran yang bertumpu pada local genius yang lebih berjangkauan jauh kedepan.

Apatahlah lagi tantangan literasi kini, bukan sekedar melek huruf, karena memang masyarakat Indonesia  hampir seratus persen sudah dapat membaca bahkan mengalahkan India dan banyak negara berkembang lainnya dari segi persentase. Namun, yang menyedihkan sekaligus menjadi PR besar, adalah rendahnya minat baca  masyakarat termasuk kurangnya karya-karya yang dihasilkan, apalagi dengan munculnya belantara  media sosial yang sangat memikat dengan segala muatan dan dampak negatifnya belakangan ini. Tentu menjadi tantangan, dengan beban yang lebih kompleks bagi pembangunan literasi ke depan.

Di perbatasan ini, sudah berjuta-juta manusia yang lalulalang di bawahnya, bahkan sudah tak terhitung, mereka yang bergelar master, doktor, bahkan professor yang sudah bolak balik di batas kota ini pula. Sudah berapa banyak radiasi yang sudah dipancar dari badik yang sendirian itu. Kota ini, tepatnya Makassar-Gowa, sudah memang panas cuacanya—bisa mencapai 32 derajat—menjadi makin  membara karena radiasi senjata pendek itu.

Kalaulah terpaksa, melewati batas kota itu,  ingatlah sejenak,  sosok universal yang di dalam dirinya bersanding seimbang keberanian tiada tara dan pengetahuan yang tak tertandingi : Ali Bin Abi Thalib, yang memiliki senjata lebih panjang dari sebuah badik—pedang Zulfikar dengan bagian ujungnya yang bercabang dua. Ketika hendak menebas seorang musuh yang sudah tak berdaya lagi, beliau lantas diludahi oleh lawannya tersebut.  Apa yang terjadi. Baginda Ali menyarungkan kembali pedangnya, urung membunuh musuh itu, karena ia tidak ingin membunuh karena kebencian akibat hawa nafsunya, ia hanya ingin membunuh karena kecintaan pada Tuhan yang dilandasi pada pengetahuan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *