Masyarakat Cerdas dan Upaya Mewujudkan Pemilu Berkualitas

 

Semenjak ditetapkannya pemilihan wakil rakyat dipilih secara langsung, pemilu mengalami berbagai dinamika. Baik positif maupun negatif. Masyarakat Indonesia, semakin ke sini semakin mengerti seluk liku prosesi pemilu. Demikian pun mereka yang awam, tentu memiliki pengalaman dan kesan masing-masing seputar pemilu.

Terhitung dari pilkada serentak 2017, Indonesia memasuki tahun-tahun politik (hingga pilpres 2019). Hampir tak pernah absen, media cetak dan televisi menyuguhkan berita maupun isu-isu terkait sebelum dan sesudah pemilu. Khususnya pilkada DKI, di samping statusnya sebagai ibu kota, betapa menjadi perhatian masyarakat. Bahkan mereka yang tak bermukim di wilayah DKI. Terlepas dari dinamika yang menyertainya, banyak pelajaran yang bisa diambil dari prosesi pemilu di DKI. Demi meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia kedepan tentunya.

Dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu ke depan, kiranya ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Bercermin dari pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, perbaikan dilakukan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam pemilu. Baik penyelenggara maupun peserta pemilu. Di antara hal yang patut disoroti seperti; praktik money politik (politik uang), pemasangan alat peraga, yang sebagian besar dilakukan dalam masa kampanye.
Praktik politik uang misalnya, bisa dibilang sudah sangat akut. Bahkan nyaris dikata hal yang lumrah. “Gimana mau menang kalau tak ada uang?”. Seolah menguatkan, fakta belakangan ini yang berhasil diungkap KPK maraknya pejabat daerah yang kena OTT. Sehingga muncul asumsi betapa erat kaitannya praktik tersebut dengan sebuah jabatan atau kekuasaan. Dengan berbagai metode dan kronologis yang kian “canggih”. Pun hal yang nampaknya sederhana seperti alat peraga kampanye; baliho, spanduk, poster, umbul-umbul, dsb. Tak sedikit kita lihat bertebaran di jalan-jalan. Ya, cukup mengganggu pemandangan. Tak peduli itu dinding, tiang listrik, taman, bahkan dipaku di pohon. Belum lagi kalau sudah konvoi di jalan. Jalanan seakan milik sendiri. Bukan hanya mengganggu, kondisi ini cukup membahayakan. Mulai dari tidak memakai helm, memenuhi badan jalan, bahkan ada yang melanggar lalu lintas. Bukan hanya sesama rombongan tapi juga pengguna jalan lainnya.

Walhasil, muncul anggapan bahwasanya pemilu hanya menjadi ritual rutin politik saja, tanpa makna dan belum tentu membawa perubahan yang mendasar dalam sendi-dendi kehidupan sosial. Bahkan masyarakat hanya dijadkan komoditas politik elit untuk meraih kekuasaan. Maka pemilu hanya tentang mereka yang terlibat di pusaran elit. Hubungannya dengan masyarakat hanyalah apa-apa yang ditawarkan ketika masa kampanye. Sewaktu itulah masyarakat dilibatkan dalam prosesi pemilu selain pamungkasnya ketika di bilik suara (?). Tak heran angka golput cukup tinggi.

Lantas, bagaimana akan lahir wakil rakyat dari rahim pemilu yang demikian?

Tentu, kondisi ini tidak berdiri sendiri. Juga tidak muncul begitu saja. Ia terbentuk dari berbagai faktor dan dari sederet kronologis. Yang agaknya bertolak dari persoalan pendidikan politik. Dan bermuara pada kesadaran politik publik. Dengan itu lah kiranya tercapai demokrasi yang berkualitas. Yaitu, kesungguhan mengelola negara dan kesanggupan mempertanggungjawabkannya. Politik bukanlah pesta sebagaimana sebagian orang menganalogikan, tetapi politik adalah development trusting. Yakni pembangunan kepercayaan. Dan pemilu adalah muara yang menjadi gelanggang perhelatan politik tersebut. Kenapa ini penting, sebab keterwakilan politik adalah perwujudan dari nilai trust. Yang terkadang –kalau tidak boleh menyebut seringkali, dinafikan oleh kalangan elit.

Beberapa upaya normatif yang bisa dilakukan diantaranya (Ferry Kurnia R: “Pilkada serentak untuk tata kelola pemerintahan yang demokratis”) yakni: Pertama, penguatan aspek regulasi yang berkaitan dengan pembiayaan, pengelolaan data pemilih, pencalonan, kampanye, dana kampanye, pemungutan dan penghitungan suara serta rekapitulasi suara. Kedua, penguatan aspek manajemen, kaitannya dengan perbaikan rekruitmen penyelenggara terutama pada level adhoc seperti PPK, PPS, dan KPPS serta perbaikan metode dan intensitas bimbingan teknis dan peningkatan kualitas transparansi hasil penghitungan suara. Ketiga, penguatan aspek sosialisasi dan pendidikan pemilih untuk meningkatkan kuantitas dal kualitas partisipasi pemilih. Keempat, penguatan aspek hukum untuk memberikan jaminan kepastian hukum terhadap proses sengketa.

Selain upaya di atas, yang juga tak kalah penting ialah peran parpol, Ormas, dan LSM. Terkhusus partai politik (parpo), selain menjadi wahana penyalur aspirasi politik, ia juga berfungsi sebagai sarana sosialisasi pendidikan politik. Partai politik berfungsi menyebarluaskan dan menerangkan serta mengajak masyarakat menghayati norma-norma dan nilai-nilai politik. Melalui kegiatan ini, pendidikan terimplementasi. Partai politik membina pemahaman masyarakat sesuai amanat undang-undang. Selain mengadakan kursus-kursus pada tataran internal partai terhadap kader maupun anggota.

Lebih daripada itu, kesadaran politik masyarakat jugalah yang paling penting. Apakah ingin mengulangi pola yang sama, di-treatment hanya ketika pilkada. Karena dengan masyarakat yang cerdas akan memunculkan pemimpin berkualitas. Dengan pemahamannya, bagaimana mungkin ia mewakilkan urusannya pada orang yang tak memiliki kapabilitas untuk itu. Walhasil, dari masyarakat yang cerdas terselenggara pemilu berkualitas, maka akan lahir wakil rakyat yang berkualitas. Berkapabilitas, berkapasitas, dan tentu memiliki akseptabilitas. Yang tidak hanya mengandalkan isi tas.

Tenggarong, 2 April 2018

 

Sumber gambar: merdeka.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *