Tak mudah menciptakan kisah yang menarik. Kisah yang memberikan gelora. Melambungkan imajinasi kita untuk menemukan makna-makna yang ada dibaliknya. Melantunkan kisah dalam bahasa fiksi, bisa dianggap sebagai satu anugerah yang tak hadir di dalam setiap insan. Padahal salah satu fakultas yang dimiliki manusia disebut dengan ‘creative imagination’. Melalui fakultas ini manusia bisa merangkai suatu kisah yang tak pernah terjadi sama sekali di dunia ini.
Berkat fakultas ‘creative imagination’ ini, manusia bisa menciptakan suatu keindahan di dalam imajinasi. Dan hasil kreasinya bisa diekspresikan dalam bentuk roman, novel, cerpen, bahkan film. Alam imajinasi lebih luas dari alam yang kita huni sekarang ini.
Para filsuf dan sufi salah satu di antara mereka yang diberikan kekuatan mengaktualkan potensi ‘creative imagination’. Mitos Sisyphus salah satu karya Albert Camus yang cemerlang. Camus mengisahkan mitos yunani kuno, Sisyphus. Ia separuh manusia – separuh tuhan. Camus ingin menyampaikan pesan melalui mitos tersebut, manusia tak kan pernah puas dari keinginan-keinginannya. Manusia selalu berjalan melawan arah kodratinya.
Kisah Laila-Majnun salah satu kisah fiksi sufistik yang sangat indah. Kisah percintaan Laila dan Majnun yang tak ada wujudnya di dunia nyata. Nizam sengaja mengurai kisah tersebut untuk menjelaskan kepada kita gambaran cinta seorang hamba kepada TuhanNya. Laila adalah simbol Tuhan dan Majnun simbol dari seorang hamba.
Kisah-kisah fiksi sengaja diciptakan agar membawa dan menuntun imajinasi kita sampai kepada tujuan yang dimaksud. Jadi memang benar, fiksi berasal dari kisah-kisah rekaan atau khayalan yang tidak ditemukan di dunia nyata. Namun fiksi tersebut sengaja diciptakan agar mampu mengaktifkan imajinasi kita. fiksi adalah energi untuk mengaktifkan imajinasi agar sampai pada makna yang dimaksud.
Jadi kita bisa mendefinisikan fiksi sebagai kisah rekaan atau khayalan. Dan tak salah juga jika didefiniskan sebagai potensi yang mampu mengaktifkan imajinasi kita. Dalam logika, bab definisi, kita diajarkan cara atau metode dalam mendefinisikan sesuatu. Terkadang kita mendefinisikan sesuatu melalui objek pembahasan, bisa juga mendefinisikan sesuatu melalui tujuan dari objek pembahasan tersebut, atau dengan cara yang lain. Ketika seseorang mendefinisikan fiksi sebagai potensi untuk mengaktifkan imajinasi agar sampai pada makna yang dimaksud, berarti orang tersebut sedang mendefinisikan fiksi melalui tujuannya. Sebab fiksi sengaja dibuat untuk menyampaikan pesan atau maksud tertentu pada pembaca.
Coba perhatikan definisi filsafat, terkadang filsafat didefinisikan dari objek pembahasannya yaitu suatu ilmu yang membahas tentang wujud qua wujud. Ada juga filosof yang mendefinisikan filsafat dari tujuannya yaitu untuk menyempurnakan jiwa manusia. Sokrates mendefinisikan filsafat untuk melatih diri menuju kematian. Tapi saya lebih suka definisi guru saya, filsafat adalah derita.
Salah satu kaidah dalam filsafat, ‘tak ada perdebatan dalam satu peristilahan’. Maksudnya setiap orang berhak membuat definisi tertentu selama orang tersebut menjelaskan definisinya. Dan setiap orang berhak memaknai suatu peristilahan, selama orang tersebut menjelaskannya.
Salah satu adab dalam berdiskusi atau berdebat, kita harus menggunakan istilah yang sama agar sampai pada tujuan yang dimaksud. Dan jika mengeritik seseorang dengan menggunakan istilah yang berbeda serta tidak menggunakan istilah yang digunakan oleh orang tersebut, tentu tak kan ada hasilnya kecuali berubah menjadi satu debat kusir. Kau di sana, aku di sini, tak pernah bertemu.
Tapi kalau mengatakan kitab suci sebagai fiksi, mungkin lain soal. Bahasa fiksi berbeda dengan bahasa Quran (kitab suci yang saya yakini). Bahasa Quran, bukan bahasa sastra, ilmiah, sains, filsafat, sufistik, dan fiksi. Bahasa Quran adalah bahasa wahyu. Bahasa yang berasal dari pengalaman batin kenabian di dalam diri Rasulullah saw. Bahasa berasal dari pengalaman atas suatu fenomena tertentu. Pengalaman itu bisa di alam materi, imajinasi, dan di dalam pengalaman batin ruhaniah seseorang.
Ada penelitian yang menarik tentang Quran, Lesley Hazleton, seorang peniliti Yahudi. Dia mengakui, Quran tidak mungkin dipahami melalui terjemahan. Bahasa Quran harus dipahami dari bahasa Quran itu sendiri. Hasil penelitian ini direkam oleh TED di Youtube, Lesley Hazleton: A “tourist” reads the Koran.
Kalau kita baca literatur tentang perdebatan bahasa Quran, jauh sebelum ini sudah ada yang mengatakan kalau Quran adalah fiksi, bahkan ada yang mengatakan sebagai bahasa mitos. Jadi mengapa harus marah saat ini? Apa karena diangkat di layar televisi sehingga membuat kita marah dan jika tidak terekam di media tivi tidak akan membuat kita marah? Mengapa kita tidak marah sejak dahulu kala? Apakah karena kita tidak tahu atau karena kurang baca?
Ilustrasi: gofindalice.com