Dari Sukma ke Rocky

 

Bukan hendak mengajak membahas kata “Sukma”, apatah lagi mendefenisikan lalu menguraikan apa sesungguhnya itu sukma, khususnya dalam kaitan dengan jati diri. Pun, demikian kata “Rocky”, tak ingin mencabarkan sebuah judul film, tentang hayat seorang petinju, dibintangi oleh Silvester Stallone, yang pernah menjadi tontonan populer bertahun-tahun lalu. Saya hanya mau  merapalkan kembali Sukma, sebagai kependekan panggilan atas nama panjang dari Sukmawati Soekarno Putri. Juga Rocky, merujuk pada alamat dari suatu nama panjang, Rocky Gerung. Baik Sukma maupun Rocky, amat moncer popularitasnya belakangan ini. Sukma dengan puisi “Ibu Indonesia”, Rocky dengan ulasannya seputar ,“ Kitab Suci Sebagai Fiksi”.

Saya tidak akan membahas puisi itu. Demikian pula kitab suci sebagai fiksi. Tapi , saya hanya berkepentingan untuk mendedahkan lebih jauh, atas hikmah  apa yang mesti dipungut dari kontroversi, tepatnya polemik  yang ditimbulkan oleh Sukma dan Rocky. Kira-kira singkatnya begini, dari puisi ke filsafat. Puisi yang dibacakan oleh Sukmawati, telah benderang penisbatannya sebagai puisi. Sementara pernyataan Rocky, tidak banyak yang menganggap sebagai pernyataan filsafat. Rocky sendiri adalah pengampu mata kuliah filsafat.

Satu hal yang bisa saya pastikan, gara-gara puisi Sukmawati, sebagai aksi yang menimbulkan reaksi, menyebabkan masyarakat tiba pada dunia puisi. Ramai-ramai orang bikin puisi. Ada yang menegaskan sebagai bantahan atas puisi Sukma, pun tidak sedikit yang memberikan tanggapan atas kualitas puisi itu. Karenanya, saya amat bersyukur dengan kegaduhan dunia perpuisian kita. Sebab, dengan begitu, popularitas puisi naik ratingnya. Apalagi sebelumnya, sudah ada puisi dari Fadli Son yang dibacakan oleh Gatot Nurmantiyo, yang memicu perdebatan pula. Juga puisi Gus Mus yang dibacakan oleh Ganjar Pranowo, seolah menegaskan kesejatian puisi sebagai bagian terpenting dari pengayaan sari diri bangsa ini. Waima, puisi – puisi tersebut, lebih hidup karena ada tunggangan politik yang menerungkunya.

Moncernya puisi sebagai karya sastra dalam kegaduhan ini, semestinya para kritikus sastra, penyair, atau siapa saja yang berkepentingan untuk memajukan perpuisian kita, ambil bagian untuk terjun bebas ke gelanggang melakukan edukasi massal atas kehidupan sastra , khusunya perpuisian kita. Mengapa? Ini momen langka. Sebab, karya sastra dapat menentukan perjalanan suatu bangsa. Ignas Kleden dalam buku, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan , menulis, “Dalam pandangan fungsional,  sastra dianggap sebagai salah satu fungsi dari perkembangan masyarakat dan kebudayaan.”

Konsekuensinya, lanjut Ignas,” perkembangan dalam sastra harus dilihat dalam kaitan dengan fungsi-fungsi lain dalam masyarakat dan kebudayaan, seperti keadaan ekonomi, susunan dan bangunan kelas social, pembentukan kekuasaan dan distribusi kekuasaan dalam soistem politik, peran agama dalam kebudayaan. Kaitan antara sastra dengan fungsi-fungsi  tersebut, ibarat kaitan antara akar pohon dengan hijau daun dan mutu buah sebatang pohon.”

Sama halnya dengan kegaduhan intelektual yang dipantik oleh Rocky. Seharusnya ini juga menjadi pintu masuk, guna melakukan pendidikan massal akan pentingnya filsafat diajarkan secara masif. Saya mau mengutip apa yang dibilangkan oleh Seyyed Hossein Nasr,seorang scholar kelahiran Iran, dosen di George Washington University,  tentantg pentingnya filsafat diajarkan. Terutama kaum terpelajar. Dalam tulisannya, Teaching of Philosohy, Nasr  merekomendasikan pengajaran filsafat secara komprehensif. Baik filsafat Barat, Timur, maupun Islam. Warisan filsafat mesti dikaji . Mulai dari masa klasik, hingga modern. Pantikan Rocky tentang fiksi dalam kaitannya dengan kitab suci, sesungguhnya hanyalah setitik dari berlaksa isu filsafat.

Baik sastra maupun filsafat, amat penting bagi pengembangan kemajuan bangsa ini. Keduanya, sastra dan filsafat berkelindan dalam dunia imajinasi. Bangsa ini butuh imajinasi agar bisa menjadi bangsa yang besar. Setujulah saya pada seorang penyair yang sekaligus kritikus sastra, Aslan Abidin, pengajar di Universitas Negeri Makassar (UNM), dalam suatu percakapan di group WA, Literasi Bantaeng, bahwa, “Persoalan puisi Bu Sukma dan fiksi Rocky Gerung, menjadi masalah yang memang mesti, cepat atau lambat, akan dialami oleh bangsa yang mengabaikan pengajaran sastranya”.

Bagi saya, selaku pegiat literasi, mensyukuri kegaduhan semesta perpuisian  dan jagat filsafat kita. Sebab, kata Alwy Rachman, seorang budayawan asal Makassar, masih di percakapan group WA, “Kayaknya bangsa ini memasuki pengalaman baru tentang diskursus baru. Untuk sementara memang ‘mengguncangkan’, tetapi dalam jangka panjang akan menyehatkan bangsa ini.” Karenanya, mari kita senantiasa meniup api sastra dan filsafat, demi hadirnya imajinasi bangsa ini. Api imajinasi bangsa ini, tidak boleh padam. Cukuplah kekuasaan otoriter Orde Baru yang telah merampasnya.

Buat para kritikus sastra dan penyair, segenap pengajar filsafat dan filosof, Sukma dan Rocky telah memantik api perdebatan. Walau nuansanya amat politis awalnya, karena memang lebih dominan kepentingan politik yang mengiringinya. Sebaiknya segera diambil alih ketersesatan itu. Membiarkan para politisi menunggangi sastra dan filsafat, akan menjadi liarlah karya sastra itu, membuai publik. Mengajukan ke meja hijau, karya sastra dan filsafat akan terbui.  Padahal karya  sastra dan filsafat, harus diapresiasi dan dikritik, serta dipercakapkankan, bukan dimejahijaukan, supaya berkembang. Hanya pengadilan ilmu pengetahuan yang pas sebagai arenanya. Tunjukkanlah jalan yang benderang buat bangsa ini. Agar sukma bangsa ini menggumpal sari dirinya. Biar cita dalam tinju Rocky negeri ini mengarahkan masa depan.

 

Ilustrasi: Nabila Azzahra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *