Tidak mudah menyodorkan dimensi budaya sebagai cara pandang masyarakat di kekinian dan di kesinian. Apatah lagi menghubungkannya dengan dunia politik, terutama cara berpolitik. Lebih tegas lagi, mengharapkan para politisi menjunjung tinggi warisan budaya negeri, buat dijadikan sebagai panduan berlaga dalam perebutan posisi politik, semisal, anggota legislatif maupun presiden dan wakil presiden.
Mungkin amat tepat, bila saya nukilkan pertanyaan Radhar Panca Dahana, seorang kuncen kebudayaan Indonesia, dalam bukunya, Kebudayaan dalam Politik, “Mengapa kehidupan politik, terutama sistem rekruitmen dan mekanisme lahirnya pemimpin di negeri ini, harus senantiasa ditandai oleh sebuah arena tempur yang secara klasik dapat kita temukan dalam sejarah, mitologi, buku-buku sastra, bahkan kisah-kisah religious?”
“Tidak adakah sistem atau mekanisme lain tempat kader dan pemimpin dapat muncul dalam suasana yang lebih karib, bersahabat, gembira, dan melahirkan diskursus baik secara intelektual, moral maupun kultural yang positif dan membangun? Mengapa hidup harus senantiasa diisi oleh konflik oposisional? Dari mana sebenarnya semua itu berasal dan bermula?” Tanya Radhar lebih menukik.
Penabalan tanya dari Radhar itu, lebih tidak mudah lagi menjawabnya. Sebab, hajatan politik yang dilakoni saat ini, boleh jadi tidak mengakar pada budaya politik, yang berhasil ditransformasikan dalam wujud kontemporer. Karenanya, saya mencoba meraba, motif inilah yang melatari, sehingga Komisi Pemilihan Umum, menyelenggarakan acara serentak, ke seluruh penjuru mata angin negeri, guna menyongsong pemilu serentak 2019. Pemilu yang akan memilih Anggota Legislatif, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, jatuh tempo pada tanggal 17 April 2019.
Acara serentak ini, digelar tepat pada hari Sabtu, 21 April 2018 di seluruh Indonesia. Dan, yang menarik adalah KPU Pusat menginstruksikan agar bentuk acaranya dikemas dalam pagelaran seni dan budaya, yang berpijak pada seni dan budaya masyarakat setempat. Pada acara inilah, saya hadir sebagai penyaksi yang diselenggarakan di Kabupaten Bantaeng. Saya amat antusias selaku penghadir, sebab tajuk helatan yang dijanjikan berbunyi, “Melalui Pagelaran Seni Budaya Membangun Pemilih Berdaulat Guna Menyukseskan Pemilu Serentak 2019”.
Terus terang saya terbui oleh tajuk itu. Bahkan terbuai. Apa pasal, sebab tidak sedikit menu seni budaya yang dipagelarkan, sebagaimana tercantum dalam undangan penyelenggara. Pun, tatkala saya bersua dengan Ketua KPUD Bantaeng, Nurbaeti, kembali merapalkan janjinya, bahwa penyelenggara akan menghadirkan beberapa warisan seni budaya, yang selama ini nyaris tidak dipanggungkan. Saatnyalah, di momen ini, dimensi-dimensi seni budaya Butta Toa-Bantaeng ditampilkan, agar pesan-pesan dalam seni budaya ini dapat mengawal perlagaan politik Pemilu Serentak 2019.
Benar saja adanya. Bertempat di Gedung Balai Kartini Bantaeng, sekira pukul 20.00, pagelaran pun dimulai. Tabuhan Rampak Gendang bertalu-talu menandai acara dimulai. Pun, Tunrung Tallua menyusul mengiringi pejabat, beserta 20 pimpinan dan bendera partai politik peserta pemilu memasuki ruangan. Tunrung Tallua adalah sejenis pukulan gendang, yang selama ini hanya hadir ketika ada acara kerajaan dan keluarga kerajaan, serta bangsawan, kini dihadirkan buat memperkuat legitimasi hajatan politik, yang bakal melahirkan pemimpin negeri. Saya menilai, ini sejenis tafsir kontemporer, bagaimana warisan kearifan lama, menemukan bentuk barunya di waktu kiwari.
Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan. Setelahnya, Ketua KPUD Bantaeng menabalkan sambutan. Pada sambatunya, ia kembali menegaskan pentingnya kearifan lokal dihadirkan untuk mengawal perhelatan politik nantinya. “Kita punya budaya luar biasa, banggalah menjadi orang Bantaeng. Kami ingin, agar partai politik, yang berjumlah 20 selaku peserta pemilu 2019, membanggakan kami sebagai orang Bantaeng. Mari berkompetisi, penuh persaudaraan. Kampanye mesti berisi anti: Hoaks, Sara, dan Uang”. Tegasnya.
Lalu berikutnya, hadirlah Tari Paddeko. Tari ini dimainkan dengan memakai alat alu yang dipukulkan pada lesung. Irama yang dihasilkan amat indah. Sepintas, kelihatannya amat mudah, setiap orang hanya memukulkan alunya pada lesung. Tapi, gerakan yang nampak sangat atraktif. Indahnya irama dan atraktifnya gerak, bisa hadir bila ada kerjasama yang apik, dan kompak. Demikian pula, tampilan berikutnya, ketika ditampilkan Tari Sitobo Lalang Lipa. Tari ini memberi pesan kuat pada proses penyelesaian masalah yang dilakukan secara sportif. Jika jalan musyawarah dan mufakat buntu, maka adu kekuatan secara personal, pun dilakukan untuk melahirkan seorang jawara, sosok pemimpin.
Berikutnya, ada pula Tari Paolle, sebentuk tari yang dipertunjukkan dengan pesan utama, bagaimana harmonisasi hubungan dengan Pencipta, pun hubungan dengan sesame manusia. Hubungan vertikal dan horisontal, sehingga keharmonisan semesta mengada dalam hidup dan kehidupan. Selain itu, tampil pula Pagambusu, musik gambus tradisional, dengan sederet syair penuh pesan bertuah. Susulan penampil lainnya, komunitas seni Pakampong Tulen (Komplen), yang menembangkan Kelong Toriolo, lagu-lagu Makassar. Pada hampiran pucuk acara, sekaum siswa SMA, lewat vokal grup, menyanyikan lagu, tentang kecintaan pada negeri Bantaeng, dan ajakan untuk memilih, lewat lagu yang menjadi andalan KPU. Mendekati pukul 24.00, pungkas sudah rangkaian acara seni budaya ini, buat menandai helatan politik, Pemilu Serentak 2019.
Sebagai salah seorang penghadir, sekaligus selaku pegiat literasi, saya tidak langsung meninggalkan arena, setelah sekotah acara usai. Saya mencoba bercakap secara intim dengan para penghelat dan pelibat acara. Ada banyak agenda seni budaya yang menjadi catatan penting untuk ditindaklanjuti. Perhelatan ini hanyalah pintu masuk dari sebuah rumah budaya anak negeri. Sesarinya, apa yang telah dipanggungkan, dengan sarwa pesan yang dipahatkan pada jiwa, selaiknya menjadi tuntunan, kalau bukan tuntutan bagi para pelaku politik yang bakal berlaga di tahun politik 2019. Hanya dengan begitu, budaya menjadi lapik adekuat, menghidu hajatan politik.
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.