Tragedi, Pengenalan Diri, dan LifeStyle

Kata orang, ada dua jenis tragedi kehidupan. Saat kita bisa meraih apa yang kita inginkan dan saat kita tak mampu meraihnya. Tidak meraih dan meraih impian adalah tragedi kehidupan. Tentu lebih mudah memaknai, tidak mampu meraih apa yang kita inginkan adalah tragedi kehidupan. Tapi mengapa saat mampu meraih impian kita menjadi bagian dari tragedi kehidupan?

Tapi coba perhatikan, saat seseorang tidak memiliki kendaraan, orang itu sangat berhasrat untuk membeli kendaraan. Kemudian saat kendaraan tersebut mampu terbeli, beberapa bulan kemudian, kendaraan tersebut menjadi suatu hal yang biasa. Kita mulai terbiasa dengan kendaraan tersebut. Seolah-olah dunia ini diciptakan dengan kebahagiaan yang sedikit dan penderitaan yang banyak. Tragedi lebih langgeng daripada kebahagiaan. Betapa manusia begitu didominasi oleh derita dan tragedi.

Dasar persoalannya ada pada diri manusia dari aspek fisiologi. Indra fisik kita mengalami kekenyangan dan akhirnya biasa dan terbiasa. Dan tragedi kehidupan yang nyata akan bermula di saat entitas-entitas yang ada disekitar sebagai faktor penggerak, perlahan-lahan mulai menurun, sebab tidak lagi mempengaruhi indra fisik kita. Tepat pada saat itu, rasa untuk hidup semakin menurun.

Sebenarnya, inilah yang dimaksud dengan ‘menua’ atau menjadi semakin tua. Indra fisik kita semakin menurun terhadap realitas eksternal. Penglihatan, pendengaran, penciuman, dan indra lainya semakin lemah. Suatu perputaran pergantian secara alamiah dari kenikmatan menuju sakit. Apa ada jalan keluar dari persoalan ini?

Jalan keluar dari persoalan ini adalah melatih diri untuk tidak membandingkan, dan mencoba untuk merasakan suatu kenikmatan dari hal yang paling sederhana melalui latihan-latihan tertentu.

Jadi sebelum kita menua secara fisiologi, sebenarnya kita telah menua secara mental. Penuaan secara mental disebabkan oleh kebiasaan-kebiasaan. Sebab kebiasaan-kebiasaan tersebut tidak memberikan respon ke dalam diri dan diri pun lemah dalam memberikan respon terhadap kebiasaan-kebiasaan. Penuaan secara mental tidak terjadi pada anak-anak sebab anak-anak setiap saat selalu memiliki hasrat.

Penyebab utama penuaan mental karena membiarkan kehidupan  beserta momen-momen waktu yang ada bersamanya tergadai pada kenikmatan di masa mendatang. Bahkan masa mendatang yang dimaksud boleh jadi dalam rentetan waktu sejam kemudian. Dalam kata lain, kita membiarkan kehilangan menikmati kenikmatan di masa sekarang yang sedang berjalan secara beruntun. Karena kenikmatan kita tergadai di masa mendatang.

Jadi meskipun kita memasak sesuatu, makan dan minum pada masa sekarang ini, namun kenikmatannya seolah sirna karena kenikmatan yang kita maksud senantiasa terkait dengan masa depan. Jika demikian, tepat di dalam kondisi seperti itu, ada suatu hal yang terlupakan bahwa, jika kita tak bisa menikmati masa sekarang ini yang sedang berlangsung maka di masa selanjutnya pun tak kan bisa kita nikmati.

Dan pada akhirnya tak ada yang disebut dengan kebahagiaan di masa depan, hanya metafor dan tak mendasar. Menggadai kehidupan kita di masa yang akan datang, secara perlahan satu demi satu akan merenggut momen-momen kehidupan kita. Artinya yang ada hanya masa depan yang belum datang, sedangkan kita menjalani masa sekarang ini sebagai kebiasaan-kebiasaan saja.

Jadi cara melanggengkan tragedi adalah menggadaikan kebahagiaan di masa mendatang.

Semakin besar respon kita dengan cara yang indah dan menunjukkan kesungguhan terhadap realitas yang ada di sekitar, suatu tanda bahwa kita semakin hidup. Begitu pun sebaliknya, semakin acuh kita terhadapnya maka kebiasaan akan menjebak kita, hanya keberulangan-keberulangan dalam menjalani kehidupan, akhirnya menjemukan dan membosankan.

Padahal intinya bagaimana kita melihat, memandang, dan memaknai seluruh momen-momen kita sebagai momen keindahan dan kebahagiaan. Coba perhatikan seorang pelukis, sebelum melukis pepohonan, ia mencoba melihat sedalam mungkin pepohonan tersebut dan dari situ terciptalah lukisan pohon.

Hanya dengan cara ini kita bisa keluar dari lingkaran kebiasaan-kebiasaan yang menjemukan yaitu dengan menjalani hidup dengan baik. Maksudnya melihat dengan baik, mendengar dengan baik, bertutur dengan baik, dan melakukan segalanya dengan baik, agar mampu merasakan kebahagiaan di masa sekarang ini yang sedang berlangsung.

Kata Sa’di:

Aku mencintai seluruh alam karena seluruh alam berasal dariNya,

Apa ada beda sedih dan bahagia bagi seorang arif?

 


sumber gambar: akarpadinews.com

Visited 1 times, 1 visit(s) today
  • Views: 249 REFLEKSI ATAS PERTEMUAN DENGAN TEMAN DAN GURU KEHIDUPAN Penderitaan dalam kajian filsafat didistingsikan dalam tiga perspektif. Perspektif pertama memandang penderitaan sebagai sebuah kondisi yang sebisa mungkin dihindari. Hal ini dapat ditemui dalam filsafat hedonisme oleh penjelasan Epikurus. Perspektif kedua memandang penderitaan sebagai hal yang harus dihindari dan berada di luar kendali manusia. Filsafat […]

  • Views: 753 (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak […]

  • Views: 637 Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang […]

  • Views: 240 “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi […]

  • Views: 245 “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan […]


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221