Mana yang Anda pilih, ketentraman atau kebenaran? Anda hanya boleh memilih satu di antara dua pilihan tersebut. Saya tidak mengajak bermain teka-teki, melainkan mengajukan sebuah pertanyaan untuk direnungkan dan dijawab dengan kejernihan nurani. Karena hanya dengan kebeningan jiwa, kita bisa melihat jawaban yang tidak tercemari oleh kepentingan dan keakuan.
Bertolak dari realitas kebangsaan kita dewasa ini, saya berasumsi kebanyakan dari kita memilih ketentraman sebagai jalan hidup. Ya, cinta terhadap ketentraman, ketenangan, lebih dominan daripada cinta terhadap kebenaran. Kebenaran hanya menjadi utopia. Buktinya, angka-angka korupsi di Indonesia masih enggan menukik ke bawah. Yang kaya semakin kaya, yang miskin tetap miskin.
Orang-orang memilih kebenaran sebagai jalan hidup, hanya sebagian kecil saja dari manusia-manusia Indonesia. Kebenaran menjadi barang langka yang hanya dimiliki oleh mereka yang berani melawan arus materialisme dan individualisme. Mereka yang memicingkan mata di antara orang-orang yang terbuai dalam mimpi-mimpi. Kebenaran hanya menjadi milik mereka yang mampu melihat realitas secara jernih dan kritis.
Alkisah, sahabat Rasulullah, Abu Dzar Al-Ghifari, disabdakan Rasulullah SAW akan meninggal dalam pengasingan dan kesendirian. Abu Dzar diasingkan karena sangat kritis terhadap perilaku bermewah-mewah para pejabat di masa pemerintahan khalifah Ustman bin Affan.
Dalam novel Muhammad 4, Tasaro GK menceritakan bagaimana Abu Dzar diasingkan dari Madinah ke Damaskus sebelum akhirnya di buang ke padang pasir tak bertuan. Ketenangan dan ketentraman hidup menjauhi Abu Dzar, karena menyerukan kebenaran kepada para pejabat yang sibuk memperkaya diri, demi kenyaman dan ketenangan hidup sendiri.
Di Indonesia ada Soe Hok Gie yang berani mengatakan, “lebih baik diasingkan dari pada menyerah pada kemunafikan.” Sebuah kredo yang menggiringnya ke dunia antah berantah. Dunia yang tidak lagi dikenalinya dan mengenalinya. Soe Hok Gie enggan mengkhianati perjuangan dan kebenaran yang dianutnya. Sedang para pemimpin-pemimpin gerakan mahasiswa – teman seperjuangan Soe Hok Gie kala itu – yang mendapatkan posisi dalam pemerintahan, memalingkan muka dari kebenaran yang diperjungkan dan memilih hidup kbermewah-mewah.
Jalan yang ditempuh Abu Dzar, Soe Hok Gie, dan mereka yang berpegangan pada tali kebenaran, secara otomatis memutuskan tali ketentraman. Sebagaimana perkataan Ralph Wardo Emerson dalam buku Menggugat Pendidikan, bahwa kepada tiap jiwa, Tuhan menawarkan dua pilihan antara kebenaran dan ketentraman. Pada dua pilihan inilah manusia berayun seperti pendulum. Manusia yang lebih didominasi cinta akan ketenangan kata Ralph, ia akan mendapatkan ketenangan, komoditas, dan reputasi, namun pintu hatinya tertutup dari kebenaran. Sedang jiwa yang didominasi cinta akan kebenaran mengapung di atas lembah, ngarai, dan melayang. Ia jauhi dogmatisme, ia teliti semua kutub pertentangan. Dijalaninya ketidaknyamanan dalam ketegangan dan pendapat yang tak jua sempurna.
Kebenaran dan ketentraman laksana dua sisi mata uang yang dilemparkan wasit sepak bola. Kecil kemungkinan koin akan berdiri, sehingga kebenaran dan ketentraman tidak saling menindih. Tetapi bukan tidak mungkin ketika kebenaran menjadi pandangan hidup setiap orang, maka ketentraman akan mengikuti.
Sejatinya nilai-nilai kebenaran senantiasa dipegang teguh manusia, apatah lagi mereka yang pada dasarnya merupakan kaum terdidik. Sebab bangsa Indonesia terlalu lama berkubang dalam krisis multidimensi (politik, ekonomi, dan moralitas). Indonesia seperti terjebak dalam lingkaran setan yang tak berujung, sedang setan-setannya pun terus berevolusi menjadi semakin cerdas dan licin.
Indonesia telah merdeka lebih dari 70 tahun lamanya, tapi kesejahteraan sosial belum tercapai. Keadilan pun masih menjadi milik segelintir orang. Reformasi di bidang ekonomi dan politik juga telah digulirkan sekitar 20 tahun lamanya. Tapi keadaan tidak berubah sebagaimana yang dicita-citakan. Seolah reformasi hanya meremajakan “kaum tua” yang korup.
Saya tidak ragu mengatakan bahwa di luar sana ada aktivis-aktivis reformasi bernasib sama dengan Soe Hok Gie. Mereka mengasingkan diri dan diasingkan karena tetap teguh dengan kebenaran yang diperjuangkannya. Sedangkan beberapa yang lain kehilangan kemaluannya, menginjak-injak kebenaran demi menyejahterakan hidupnya sendiri.
Negara ini kembali berputar-putar pada persoalan yang sama, rakyat kecil pun jadi bingung dan linglung. Yang mereka inginkan adalah bibit-bibit berkulitas, pupuk-pupuk bersubsidi, pendidikan yang merata. Rakyat hanya butuh kesehatan yang terjangkau, harga sandang dan pangan yang murah. Tapi para pemimpin pura-pura lupa akan persoalan kebangsaan, kehilangan konsep, dan berwatak materialistis. Walhasil rakyat tetap jelata dan melata.
Saya tidak tahu, pasca reformasi, gerakan apa lagi yang akan mencoba peruntungan dalam bidang ekonomi dan politik. Transformasi ekonomi politik atau justru revolusi besar-besaran? Yudi Latif dalam Revolusi Pancasila mengemukakan sebuah solusi, bahwa yang dibutuhkan manusia-manusia Indonesia adalah revolusi mental. Selama mentalitas koruptif warisan kolonialisme belum tercerabut dari jiwa-jiwa manusia Indonesia, transformasi atau revolusi apapun tidak akan berhasil.
Oleh karena itu, segala keputusan-keputusan dalam arti politis walau bagaimana kecilnya, harus selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa kata Soe Hok Gie. Kita harus bisa mengatakan kebenaran sebagai kebenaran, salah sebagai kesalahan. Dan tidak menghalalkan kebenaran atas nama golongan atau ormas apapun. Demi terwujudnya negera Indonesia yang damai dan merdeka dalam arti yang sebenarnya.
sumber gambar: www.abc.net.au
Lahir di Bantaeng, 24 oktober 1994. Pelajar di Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar. Aktivis MEC RAKUS Makassar, dan Peserta Kelas Literasi Paradigma yang mencintai kopi dan buku terutama novel sejarah.