Semestinya, hari Sabtu , 5 Mei 2018, saya berada di Kabupaten Bulukumba, guna memenuhi permintaan sekaum perempuan, yang terhimpun dalam Korps HMI-Wati (KOHATI}, yang menyelenggarakan Latihan Khusus Kohati {LKK) Tingkat Nasional. Tapi, ajakan penyelenggara itu saya tampik, sebab hingga Sabtu malam, saya masih ada acara di Makassar, yang tak kalah pentingnya untuk saya sambangi. Jadi, agar semuanya bisa teraalisir, saya meminta jalan keluar, supaya digeser ke hari Ahad saja, sebab hari Senin, pun saya sudah harus balik ke Makassar, memenuhi panggilan lainnya. Beginilah resiko “lelaki panggilan”, sejak menabalkan diri selaku pegiat literasi.
Acara yang saya maksud tiada lain, persamuhan Makassar International Writers Festival (MIWF), berlangsung 2-5 Mei 2018, berpusat di Benteng Rotterdam. Festival tahunan ini, sudah memasuki tahun ke-8. Suatu festival literasi berskala international. Dari sekian menu acara yang disodorkan selama festival berlangsung, tidak semua saya bisa hadiri. Maklum saja, saya pun masih harus membajak nafkah, menjaga toko buku, bersemedi di Toko Buku Papirus. Saya hanya membidik satu mata acara, book launch, peluncuran buku , Semesta Manusia, anggitan Nirwan Arsuka Arsuka, pendiri Pustaka Bergerak Indonesia.
Sekira pukul 14.00, saya sudah beredar di Benteng Rotterdam. Berputar-putar mengunjungi berbagai stand pameran, baik yang digawangi oleh beberapa komunitas literasi, maupun beberapa penerbit. Sekadar melihat-lihat perkembangan buku yang lagi best seller. Jadwal peluncuran dan bincang bukunya Nirwan, akan berlangsung pukul 16.00-17.30. Pun, yang menarik bagi saya, sebab kali ini, seorang budayawan, Alwy Rachman akan ikut mempercakapkan buku ini. Dalam benak saya, pastilah sawala ini akan menukik pada kedalaman pengetahuan.
Benar saja adanya. Alwy Rachman mengantar percakapan dengan seikat impresi. Mempertanyakan dan sekaligus menelisik motif, serta memetakan maksud dari hadirnya buku ini. Umpan pengantar tersebut, langsung disambar oleh Nirwan selaku penulis buku. Didedahkannya sekotah latar belakang hadirnya buku ini, senarai isinya, juga obsesi-obsesi pengetahuan yang diimajinasikannya. Ada satu poin yang amat terang kilatannya pada bilik intelektual saya, tatkala Nirwan bicara tentang perkembangan sains dan sastra sebagai medan ilmu pengetahuan.
Sains dan sastra, punya kesamaan. Keduanya bekerja berlapikkan akal budi, waima berbeda dari segi penamaan dan aktivitas. Pengetahuan puncak adalah sastra. Karenanya, sains seharusnya berenang di dalam karya-karya sastra. Sesarinya, karya sastra harus menjadi corong perkembangan sains. Dunia sains, punya batasan-batasan kaidah yang mesti dipatuhi. Sementara, dalam karya sastra imajinasi mendapat ruang jelajah yang tak berujung. Penjelajahan sastra, kredebilitasnya terletak pada koherensi internal sastra itu sendiri.
Ada hal yang menarik dari penabalan Nirwan. Bahwasanya, Perbedaan sains –sastra lama dengan sains-sastra baru. Pada sains-sastra lama, dunia dijelaskan dan digambarkan sebagai sesuatu yang di luar kita. Sementara , perkembangan sains-sastra baru, karya yang mesti lahir, haruslah mengubah dunia. Singkatnya, karya sastra, mengubah dunia lewat bahasa. Karenanya, mengubah bahasa, berarti mengubah dunia. Karya sastra lama, harus diinterogasi, agar menemukan signifikansinya di era kiwari.
Percakapan atas buku setebal 800-an halaman ini, tak terasa sudah memangsa waktu, sehampir satu setengah jam. Pucuk percakapan pun menyata. Tentulah antara durasi waktu dan ketebalan buku tidak sepadan, buat menuntaskannya. Ada simpulan-simpulan personal dari setiap peserta, yang dibiarkan oleh Alwy Rachman sebagai tanda pikir dari setiap penghadir. Alwy tak ingin menyimpulkan percakapan. Sebab, percakapan adalah sesuatu yang melingkar. Begitu pendakuannya, sembari menutup persamuhan intelektual ini.
Ternyata, perbalahan berlanjut ke sudut lain, masih dalam kawasan Benteng Rotterdam. Pun masih melibatkan beberapa penghadir yang ikut percakapan di ruang diskusi buku tadi. Bintangnya masih Alwy Rachman dan Nirwan Arsuka. Ditambah bintang-bintang lainnya. Sudut ruang persamuhan ini memang agak gelap, tapi pendar-pendar pikiran yang saling melintas di antara para pencakap, menerangkan banyak hal, seputaran semesta manusia. Yah, memang manusia tak habis dipercakapkan oleh manusia itu sendiri. Percakapan pun berakhir, benar-benar berakhir pada pukul 23.00. Saya pun langsung pulang, sebab esoknya, akan ke Bulukumba.
Ahad pagi, baskara baru semenjana teriknya. Tetiba saja, seorang kisanak, Muhary Wahyu Nurba, menelpon saya. Semalam ia mencari saya di lokasi MIWF. Saya ceritakanlah kronologis semalam, seperti yang saya tuliskan. Di pucuk pertelponan, saya bilang mau ke Bulukumba, saya harus segera bersiap, sebab mobil langganan saya di terminal sedang menanti. Sisa saya selaku penumpang yang ditunggu. Setiba diterminal, saya buka pesan masuk di WA saya, ada kalimat begini dari Muhary, “salamaki ri lampata, sudah terisi nutrisi semalam, jadi silakan bertarung lagi”.
Pesan Muhary ini, bagi seorang pegiat literasi, semisal saya, sungguh merupakan suplemen penyemangat. Dan, suplemen kata-kata inilah yang menghiduku hingga tiba di Bantaeng, jelang siang. Istirahat kurang lebih enam puluh menit, saya langsung saja mengontak seorang kawan, Dion Syaif Saen, buat pinjam motor, guna saya pakai ke Bulukumba. Jarak tempuhnya sekira tiga puluh kilometer. Jadwal manggung saya di pelatihan LKK Tingkat Nasional itu, pukul 15.00-17.00. Begitu menyata di lokasi, Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Bulukumba, beberapa menit kemudian, saya langsung tancap perbincangan, bertopik, “Membumikan Budaya Literasi: Peluang atau Tantangan Bagi Perempuan?”
Usai mengisi materi perbincangan, saya lagsung balik lagi ke Bantaeng. Jeda sejenak, lalu sekira pukul 20.00, saya ke Teras Baca Lembang-Lembang, markasnya Dion dan kawan-kawan. Mengembalikan motor, plus bercakap-cakap seputaran gerakan literasi, khususnya even literasi yang baru saja usai, perhelatan MIWF. Khusyuk dalam perbincangan, tetiba seorang kisanak menelpon ke Dion. Ternyata, yang menelpon itu adalah seorang kawan pegiat literasi, Denassa, pendiri Rumah Hijau Denassa. Rupanya, malam mini, Denassa akan ke Bulukumba untuk kegiatan yang ada juga kaitannya dengan item literasi. Tapi, setiba di Bantaeng, mobilnya ngadat. Tak bisa melanjutkan perjalanan.
Nginaplah Denassa dan seorang kawannya. Saya dan Dion mengantar ke sebuah wisma, yang tak jauh dari lokasi mobilnya. Di lobi wisma, saya terlibat percakapan intim dengan Denassa. Ada banyak program yang akan disinergikan, yang kesemuanya dalam bingkai gerakan literasi.Mulai dari beberapa even literasi yangakan digelar oleh Rumah Hijau Denassa, program residensi untuk penulis, dan festival komunitas literasi bergandengan dengan program literasi sekolah, kampung literasi, dan aneka topik lainnya, yang saling menguatkan gerakan literasi antar komunitas. Pukul 23.30, saya pamit, lalu menyilakan Denassa istirahat, sekaligus saya mohon maaf tidak bisa temani esok pagi, sebab subuhnya, saya harus balik ke Makassar. Apa pasal? Siangnya, pada hari Senin, pukul 13.00-15.00, saya menjadi pembicara pada suatu pelatihan, dan salah satu materi sajiannya terkait gerakan literasi.
Mendekati waktu yang ditetapkan, saya sudah berada di lokasi pelatihan yang digagas oleh sekelompok anak muda, tergabung dalam Himpunan Pelajar Mahasiswa Massenrengpulu (HPMM) Kabupaten Enrekang. Saya didapuk untuk mengantarkan satu topik pembicaraan, “Membangun Gerakan Literasi”. Bertempat di Aula Balai Diklat PUPR Wilayah Makassar, saya merasa menari, dengan tarian gerakan literasi. Memprovokasi sekaum anak muda ini, agar membangun tradisi literasinya secara personal, agar bisa ikut bergumul membangun gerakan literasi. Pendar-pendar literasi saya berondongkan dari arsenal pikiran dan pengalaman saya dalam bergulat di gerakan litarasi. Hingga batas waktu yang dipatutkan pada saya, persuaan pun berakhir, dengan satu janji, bahwa kita akan bersua lagi dalam momen perjumpaan literasi lainnya.
Usai acara di HPMM ini, saya langsung balik ke mukim. Sesampai di mukim, saya langsung diberitahu, bahwa ada seorang karib yang ingin bertemu. Mau berdiskusi, sekaligus ingin menyerahkan bukunya, buat wakaf buku di Bank Buku Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng. Saya pun, meminta agar mengontaknya, bikin janjian sesudah waktu Isya, biar lebih nyaman. Janji waktu pun tiba, muncullah sang kawan, seorang mantan aktivis mahasiswa, Muhammad Farid, kini melanjutkan studinya di Taiwan, program S3, program doktor bidang teknik otomotif. Hampir sejam saya bercakap, tentang banyak hal, termasuk perkembangan gerakan literasi, yang ia coba kawal di kalangan para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Taiwan. Sederet geliat didedahkan, pendar literasi berkilau di sana. Pun, perjumpaan mesti diusaikan, dengan sebuah penanda, mewakafkan dua eksamplar buku karangannya, berjudul, Ruang Kontemplasi.
Saya tidak langsung tidur usai perbincanagn dengan Farid, tapi mencoba merekap aktivitas saya selama tiga hari belakangan ini, Sabtu, Ahad, dan Senin. Rasa-rasanya, saya terlempar pada seruang terungku tarian literasi. Saya melata dari peristiwa literasi ke hajatan literasi lainnya. Saya seperti dibui oleh gerakan literasi ini, waima sesungguhnya saya lebih banyak terbuai oleh pendar-pendar literasi ini. Setidaknya, tiga hari dibuai oleh pendar literasi. Dan, barulah paginya, saya sadar, bahwa buaian pendar literasi ini, harus saya tulis. Begitulah, semestinya.
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.