Berzakatlah, Berinfaklah, Bersedekahlah, dan berwakaflah di Jalan literasi

 

Dua hari sebelum pemerintah menetapkan, dimulainya bulan puasa Ramadan tahun ini, saya sengaja menjapri  seorang pengajar tafsir Alquran, dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Dr. Ahmad Mujahid. Saya ingin minta pandangannya tentang satu soal hukum-fiqh. Sebab, ada inisiasi hajatan yang ingin saya lakukan, tatkala memasuki bulan Ramadan, dengan maksud ingin memanfaatkan momentum bulan suci ini. Inisiasi hajatan itu berlabuh pada penggalangan dana gerakan literasi. Sesarinya, pada setiap soal keagamaan, salah satu tempat bertanya saya adalah pada beliau. Ia adalah guru saya.

Bunyi japrian saya begini, “Salam wa rahmah Ustaz. Mau nanya soal hukum. Bolehkah komunitas literasi menerima zakat harta, infak dan sedekah, lalu dana itu digunakan buat beli buku, untuk bahan bacaan di komunitas literasi Ustaz? Mumpung bulan Ramadan, saya berpikir akan menggalakkan potensi dana tersebut buat pengembangan literasi, khususnya kebutuhan akan buku yang makin mendesak buat memenuhi permintaan komunitas-komunitas literasi , khususnya yang ada di Bantaeng Ustaz. Terimakasih”.

Lalu dibalasnya tanya saya. “Untuk sedekah, infak, dan wakaf boleh. Tapi untuk zakat, menurutku tidak boleh karena untuk zakat ada peruntukan yang pasti, yakni delapan golongan. Meskipun kemungkinan ada ulama yang membolehkannya, tapi saya lebih memilih kehati-hatian dalam zakat, khusus untuk delapan golongan tersebut. Bahkan menurutku untuk pembangunan masjid sekalipun zakat itu tidak boleh. Begitu Daeng Sul pendapatku”.

“Maksud saya zakat harta Ustaz, bukan zakat fitrah”. Saya melanjutkan tanya pada beliau. Apa jawabnya? “Iye termasuk zakat harta, kecuali kalau delapan golongan itu udah tidak ada lagi, maka zakat harta boleh dialihkan pemanfaatannya kepada lainnya”. “Oh begitu Ustaz”, dijawabnya lagi, “Iye, itu pandangan ulama yang aku anggap sangat hati-hati. Meskipun boleh jadi ada pendapat lain yang membolehlan penggunaan zakat untuk selain delapan golongan yang telah ditetapkan Alquran”. Percakapan pun berakhir. Saya tak lupa mengirimkan emoji, tiga tanda jempol, dan tiga tanda maaf.

Berlapik pada percakapan itu, segera saya mencari delapan golongan dalam Alquran, sebagaimana yang dimaksud guru saya. Tibalah saya pada surah At-Tawbah (Pengampunan), ayat 60, berbunyi, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha  Bijaksana”.

Pastinya, delapan golongan itu, Fakir (orang yang tidak memiliki harta), Miskin (orang yang penghasilannya tidak mencukupi), Riqab (hamba sahaya atau budak), Gharim (orang yang memiliki banyak utang), Mualaf (orang yang baru masuk Islam), Fisabilillah (pejuang di jalan Allah), Ibnu Sabil (musyafir dan para pelajar perantauan), dan Amil Zakat (panitia penerima dan pengelola dana zakat).

Saya lalu membatin. Mestikah inisiasi saya bakal terganjal dengan kriteria yang ditetapkan dalam Alquran? Dan soal apa yang sesungguhnya ingin saya ajukan?

Sebagai pegiat literasi, saya sesungguhnya membutuhkan penafsiran baru, yang lebih progresif, atas aktifitas gerakan literasi yang lagi moncer di negeri ini, sebagai jalan keluar dari keterbelakangan anak negeri. Pada konteks ini, saya ingin menjelaskan bahwa gerakan literasi yang dikawal  oleh para pegiat literasi, adalah jalan juang untuk pengentasan kefakiran dan kemiskinan pengetahuan. Kefakiran dan kemiskinan pengetahuan tidak lebih rendah bahayanya dari kemiskinan dan kefakiran material.

Bahkan lebih dari itu, kekayaan pengetahuan, akan mampu mengentaskan kefakiran dan kemiskinan material. Karenanya, pengetahuan harus diupayakan sebagai pengayaan spiritual, buat mengentaskan kefakiran dan kemiskinan material. Dan, orang yang berjuang di jalan ini, semisal para pegiat literasi, harus pula didefenisikan sebagai orang yang berjalan di jalan Allah, fisabilillah. Jadi, tafsir yang saya butuhkan adalah tafsir kontekstual. Sebab, bila tafsirnya tekstual, maka tidaklah memenuhi syarat untuk menerima zakat.

Cobalah dibayangkan. Betapa dahsyatnya, jikalau bulan suci Ramadan tahun ini, ada penggalangan zakat, infak, sedekah, dan wakaf, yang pemanfaatannya untuk pengembangan gerakan literasi, sungguh tak terkira nilai advokasinya. Sebukit dana itu dibelikan buku, kemudian disalurkan pada sekotah komunitas literasi, maka akan didapatkan segunung buku, buat menyangga kebutuhan bacaan anak negeri.

Jika ada keberanian untuk melakukan penafsiran keagamaan yang revolusioner, seumpama ada beberapa keluarga muslim yang bertekad mengeluarkan kewajiban zakatnya, ditambah lagi keinginan berinfak, bersedekah, dan berwakaf di wahana gerakan literasi, dengan cara, sarwa dananya dibelikan buku pada bulan suci Ramadan ini, dengan niat telah menunaikan kewajiban dan keinginan, lalu buku-buku itu dikirimkan ke komunitas-komunitas literasi di seantero negeri, yang terdaftar di kantor pos, pada tanggal 17 bulan berikutnya. Amboi, banyak nian buku yang bakal diterima oleh anak-anak negeri.

Pembatinan saya ini, akan saya  sawalakan dengan guru saya, dan juga guru-guru lainnya. Siapa tau tafsiran revelusioner bisa saya dapatkan darinya. Sebab, saya amat percaya pada beliau. Sejak usia dini, beliau sudah nyantri di Pondok Pesantren IMMIM Putra Makassar, lalu memilih konsentrasi akademiknya hingga tingkat doctoral di bidang tafsir-hadis. Saya hanya membutuhkan fatwa, buat menabuh genderang perang kefakiran dan kemiskinan di bidang pengetahuan. Dan, keyakinan saya, masih mempercayai satu kredo, gerakan literasi merupakan salah satu garda depan pengentasan keterbelakangan dan ketertinggalan bangsa ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *