Sejenis adagium klasik berbunyi: Setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah. Jika ungkapan ini diterima, maka fanatisme ‘buta’ tidak semestinya memenjarakan kita. Santai saja menerima kekalahan, demikian pula yang menang, jangan euforia. Respect and Perfect dua hal yang mulia dalam setiap permainan. Kenapa mulia, karena ia sulit dan langka ditemukan dalam pertandingan, ibarat berlian. Kalau kedua hal tersebut tidak ada pada suatu kemenangan, paccei (tidak bisa diandalkan), kata orang Makassar.
Para pendahulu sekelas Nabi dan Pengikut-pengikut setianya, para petarung dalam kisah-kisah samurai, para kesatria-kesatria dalam film klasik, mengajarkan bertarunglah dengan RESPECT, tidak dengan mencederai lawanmu lebih dulu hingga tidak bisa bertarung dengan sempurna dan menunjukkan keahlian dan kemampuannya secara optimal.
Kemenangan yang disertai dengan aib atau kecurangan atau keculasan terhadap lawan, menyerupai kemenangan para politisi-politisi culas. Mereka yang menghalalkan segala cara agar menang. Yaa… segala cara, di sepak bola ada teknik menghancurkan psikologis lawan dengan mencederai pemain kunci. Di politik ada “pembunuhan karakter” keduanya sama kejamnya, dengan kadar yang berbeda. Industri sepak bola tak jauh beda dengan industri politik, dan industri-industri lainnya. Ada taktik dan strategi, dari yang elegant sampai yang terhina.
Strategi culas dan kemenangan, tertulis dan terhampar luas dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam sepak bola Slogan RESPECT oleh pendukung yang tidak respect pada nilai dan kemenangan yang ‘berkelas’. Menghalalkan segala cara dalam hal apapun tidak menunjukkan ‘kita’ selaku pemenang. Atau mencari-cari alasan untuk membenarkan tindakan culasnya, bukankah pemenang. Begitu kira-kira pesan dalam film The Cars. Bahkan dalam kalah pun, Nathan Algren (Tom Cruise) Katsumoto dalam film The Last Samurai memberikan teladan kalah yang terhormat.
Setiap laga emosional sejumlah analis, status, dan tulisan microblog berseliweran. Bahkan, ada yang sangat fanatik, dengan pembenaran “dalil pokok”, pokoknya harus menang, pokoknya tim saya yang benar. Btw, santai saja, ini hanya permainan, ini hanya bisnis kenikmatan. Penonton yang baik dapat mengambil pelajaran dari setiap tontonan kenikmatan, dan nikmati klimaks tanpa menganggu kenikmatan dan klimaks orang lain. Cheeer…
Cheerless (sedih, tanpa kegembiraan) di satu pihak dan euforia di pihak lain. Bahkan tak jarang ejekan, sumpah serapah dan makian keluar dari para pendukung tim. Mereka yang fanatik.
Fanatisme ini menyerupai otak reptil, kalau tidak kabur ya, menyerang. Seolah-olah tidak ada alternatif lain. Sebagaimana pandangan Margareth Treacher ketika meneguhkan dukungan kebijakan pada pandangan pasar neoliberal. There is no alternative, katanya. No Socialism, no communisme, nothing else. Begitulah watak reptil, cara berpikir biner, dan sejenisnya. Sayalah pemenang, yang lainnya loser.
Dalam khasanah pelajaran matematika kita mengenal Logika Biner. Cara pandang benar-salah, lawan-musuh. Pada kondisi tertentu, gaya berpikir ini benar, tapi tidak untuk semua kondisi. Menurut saya, gaya berpikir beginian adalah awal mula radikalisme, fundamentalisme. Fanatisme yang berlebihan bukan hanya bisa merusak akal sehat, tapi juga bisa mengacaukan dan mengobrak-abrik pertemanan dan persaudaraan. Bahkan tak jarang nama Tuhanpun di bawa-bawa seenaknya. Yaa, semacam cocoklogi. Hanya slogan, relaks dan santailah yang sedikit bisa membuat keadaan lebih senyap.
Betapa mudahnya kita terbelah, dalam kasus yang sebenarnya remeh-temeh. Padahal, kita bukanlah pinang, durian, semangka, apel, kelapa yang nanti dibelah baru bisa dinikmati saat berbuka puasa. Kita adalah manusia yang padanya bukan sekadar takaran benar-salah atau musuh-kawan. Ini bukan perang, ini hanya permainan, hanya bisnis kenikmatan, dst.
Akhirnya, kita bisa belajar pada Logika Fuzzy, bahwa kenyataan atau peristiwa bukan hanya bersisi dua (benar-salah). Ada sejumlah peluang yang bisa terjadi. Misalnya, dual antara Striker (sebut saja Salah) dengan Bek (Misalnya, Ramos), pilihannya bukan hanya dua, salah satunya pasti cedera atau tidak cedera, ini kalau cara pandang biner. Tapi ada kemungkinan lain, keduanya bisa tidak cedera, atau keduanya bisa menghindari risiko cedera yang parah, kalau cedera tetap bisa melanjutkan permainan, dst. Itulah Logika Fuzzy. Para Fans bola umumnya masih terjebak pada pemetaan biner, dan fanatisme pula. Kalau dia bukan Madrid pasti Barca, kalau dia Barca paati dia dukung Liverpol. Nah, itulah realista fans yang sedikit banyak mewakili kondisi masyarakat kita.
Masyarakat yang sakit adalah masyarakat yang cara berpikirnya masih terjerembab dalam logika biner, atau otaknya masih diselimuti otak reptil. Keduanya terpenjara dalam fanatisme, yang sangat boleh jadi akan menganggu mimpi indahnya dalam tidur. Atau tidak bisa melihat keindahan sebuah permainan, atau abai melihat logika bisnis kenikmatan dan rating suatu acara tivi. Permainan yang baik adalah yang permainan yang indah, demikian filosofi Arsene Wenger dan pelatih-pelatih pecinta keindahan bola lainnya, termasuk peluang bisnis di dalamnya. Nah, kalian dapat apa, kalau tidak menikmati indahnya permainan. Salam Respect and Perfect.
Ketua Masika ICMI Makassar, Dosen di Fakultas Ekonomi UNM, dan pegiat di Kelompok Studi Praxis FE UNM.