Ramadan

Pengalaman puasa adalah pengalaman menemukan otentisitas “sang aku”. Ia cara manusia membebaskan diri “dari” sesuatu dan “untuk” sesuatu. Agama menyebutnya  “sang aku” yang menahan  diri dari  godaan hawa nafsu , sekaligus juga untuk meraih apa yang dibilangkan agama sebagai puncak puasa: takwa.

Dengan kata lain, puasa adalah mekanisme  diri untuk kembali ke keaslian parasnya dengan diraihnya predikat takwa seperti dalam kosakata Al  Quran.

Keotentikan diri yang diupayakan selama berpuasa sepadan dengan bunyi hadis qudsi yang mengatakan barang siapa mengenal dirinya dia mengenal Tuhannya. “Sang aku” yang ril disebutkan ceruk yang mampu membawa pemahaman manusia  mengenal siapa Tuhannya. Dari sang diri yang otentik, manusia dapat membangun kontak dengan Tuhannya. Bahkan diri yang otentik adalah tempat pancaran Tuhannya.

Barangkali karena itulah ramadan berarti membakar. Itulah juga arti selama berpuasa segala kecenderungan yang bersumber dari ego individual dihilangkan dengan cara berpuasa. Ibarat cara memisahkan emas murni dengan yang palsu melalui cara dibakar. Puasa adalah cara diri ditempa pembakaran untuk menemukan diri otentik yang terpancar cahaya ilahi.

Selama ramadan, demi mencari diri otentik, “sang aku” mesti mengedepankan “kemauan Tuhan”. Mengapa “kemauan Tuhan”? Karena selama berpuasa tidak ada kecenderungan ego manusia yang layak dikedepankan. Selama berpuasa kita diwajibkan meninggalkan seluruh pekerjaan yang mengutamakan diri manusia. Semuanya adalah “kemauan Tuhan” yang mesti diutamakan. “Sang aku” diwajibkan menahan hawa nafsunya semata-mata agar jiwa melakukan semua perintah Tuhan.

Dari kacamata sufistik selama berpuasa “diri individual” dikekang dan ditiadakan demi “diri ilahiah”. Ego manusia dilenyapkan untuk memancarkan “diri-Nya”. Dengan begitu, diri ilahiah adalah diri yang “terhubung” langsung secara ruhaniah dengan Tuhan itu sendiri. Dengan kata lain setiap tindakan manusia adalah cermin tindakan Tuhan. Para sufi menyebutnya berakhlak dengan akhlak Tuhan.

Itulah sebabnya, jika sebelumnya bulan Sya’ban adalah bulan milik Rasulullah, maka bulan Ramadan semata-mata bulannya Allah. Semua tindakan kita diusahakan merupakan representase kemauan Tuhan. Karena itu sering dikatakan setiap amalan selama Ramadan akan langsung dibawa ke hadapan Allah tanpa ada penghalang sedikitpun.

Berkaitan dengan itu, ramadan ibarat waktu destitute time-nya Martin Heidegger, seorang filsuf eksistensialis Jerman. Destitute time, bisa dibilang adalah situasi “kekosongan atas kekosongan”, atau dalam konotasi Heidegger sebagai keterputusan manusia terhadap “benda-benda” yang mengikat dirinya.

Menurut Heidegger, dalam situasi ini manusia akan menemukan kedaan natural atas dirinya. Manusia akan menemukan “dasar” dirinya dalam keberadaannya yang penuh. Di kondisi ini manusia mengalami dirinya dengan maksud mencari makna terdalam sekaligus menjadi tempat makna itu sendiri. Menurut kaca mata Heidegger, selama berpuasa manusia memutuskan “keaukannya” dari ikatan-ikatan artifisial yang memalsukan dirinya.

Itulah sebabnya, di batas akhir selama sebulan berpuasa, ada hari khusus untuk merayakan pembebasan “sang aku” setelah keluar dari perjuangannya menaklukkan sang ego. Di hari itu, semua manusia akan mengucap takbir dan menyebut diri telah kembali kepada makna asalnya: fitrah.

Dikondisi fitrahlah, manusia menemukan makna otentiknya. Menjadi manusia seutuhnya.

Di awal abad modern, keutuhan manusia dialamatkan kepada kemampuan berpikirnya. Je pense donc je suis, ungkap Rene Descartes. Aku berpikir karena itu aku ada.

Tapi, di era kiwari keotentikan diri selalu ditandai dengan konsumerisme. I buy therefore I am. Aku berbelanja maka aku ada. Diri otentik bukan ditandai dari perjuangannya mengendalikan hawa nafsu. Malah sang ego dipermak melalui tindakan berbelanja.

Dengan kata lain, otentisitas diri manusia modern bukan melalui perjalanan panjang membangun jarak dengan benda-benda, melainkan upayanya untuk menimbun barang-barang melalui praktik konsumeristik. Melalui semua itu, manusia modern merasa yakin telah memperbarui dirinya dengan barang-barang baru yang dibelinya.

Bahkan, keotentikan manusia kiwari banyak mengalamatkan dirinya kepada citra-citra imajinatif. Melalui dunia informasi identitas manusia menjadi jauh lebih problematis akibat bingkai dunia maya yang banyak menyuguhkan fantasi dan glorifikasi.

Arus informasi yang deras tak terkendali, menurut Heidegger hanya menciptakan apa yang ia katakan sebagai idle talk (obrolan kosong), yakni kondisi komunikasi dalam perbincangan yang tidak membicarakan apa-apa. Tidak ada makna sekali pun di dalamnya. Kata Peter Sloterdjik dalam Heidegger and the Media, “media membicarakan semua hal, namun tidak menjelaskan apa-apa mengenai apa pun” (remotivi.or.id)

Di dalam idle talk, “sang aku” kehilangan dasar kontekstualnya akibat aliran deras informasi. Pemahaman “sang aku” terhadap dirinya yang otentik mengalami kegoyahan lantaran hilangnya ruang permenungan. Tak ada sama sekali waktu yang kosong dari hiruk pikuk interaksi.

Dari pengalaman itu, puasa yang bermakna transformasi ego “diri individual” menuju “diri ilahiah”  tidak sama sekali membekas sebagai praktik moral masyarakat modern. Selama berpuasa akibat “sang aku” yang masih terikat kepada dunia yang serba artifisial ia pada akhirnya hanya menjadi sebatas makna ritual ketimbang transformasional.

Lalu, apa sesungguhnya makna fitrah di hari fitri kelak? Sementara “sang aku” masih ditawan sang ego. Di medan budaya, ego menjelma menjadi pribadi yang gamang dengan identitas dirinya, di medan ekonomi, “sang aku” menyeruak membeli dan menimbun barang-barang, di medan politik “sang ego” membangun sekat sentimentalisme sempit demi kekuasaan, dan di medan hidup sehari-hari praktik kehidupan sosial lebih mudah menyimpan benci daripada menebar rahmat.

 

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…

  • —mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221