Ada dua “Pil” yang hingga esai ini saya tulis masih ramai diperbalahkan. Pertama, Pilkada Serentak 2018. Kedua, Pildun, Piala Dunia 2018. Satu perhelatan politik, lainnya perlagaan sepak bola. Satu olah jiwa, satunya lagi olah raga. Pilkada Gubernur, Bupati dan Wali Kota, usai sudah hajatannya, 27 Juni 2018, namun hasilnya belum final. Tidak sedikit komponen masyarakat yang berbalah akan hasil sementara ini. Khususnya Pilkada Kota Makassar, buntut masalahnya makin panjang. Pasalnya, hasil hitung cepat dari lembaga survey, menyatakan Kotak Kosong, tepatnya, Kolom Kosong selaku pemenang. Buntut kemenengan Kotak Kosong, berbuntut lagi, sebab kisruh selisih suara mulai terbalik hasil perhitungannya. Apa pun hasilnya, Kotak Kosong sudah bertengger di warga Kota Makassar.
Adapun Pildun, Piala Dunia, hingga tanggal 15 Juli 2018, setiap harinya mengasilkan kejutan-kejutan. Di antaranya, para bintang sepak bola redup sinarnya. Nama-nama beken, semisal Ronaldo dan Messi, serta sederet nama papan atas pemain Jerman, tertunduk lunglai, meninggalkan lapangan hijau. Pemain debutan malah yang benderang cahayanya. Tim-tim unggulan pulang satu persatu. Portugal dan Argentina digadang-gadang bertemu di babak 8 besar, malah bersua di bandara. Tim-tim madya tradisi sepak bolanya, justru makin moncer posisinya.
Tatkala hari pemunngutan suara tiba, pagi masih buta, saya sekeluarga berbincang tentang hajatan politik ini. Sembari sarapan, yang lebih mirip rapat penentuan pilihan politik. Perkara Kotak Kosong ini menjadi topik utama. Apatah lagi, salah seorang putri saya, menjadi pemilih pemula. Di mukim saya, ada lima orang yang punya hak pilih, saya dan pasangan, serta tiga orang putri.
Setelah saling mengeluarkan pendapat, saya lalu mengajukan pertimbangan yang agak nyeleneh. Bahwasanya, sudah banyak pemilu yang saya ikuti. Sikap politik pun sudah beraneka. Pernah jadi Golput, juga sudah merasakan memilih calon yang ditawarkan partai politik. Tapi, belum pernah memilih Kotak Kosong. Saya ingin merasakan sensasi memilih Kotak Kosong. Rupanya, pandangan nyeleneh saya, cukup menghidu para pemilih di mukim saya. Termasuk yang baru pertama kali memilih. Ia pun mengajukan pertimbangan, “mending saat ini saya pilih kotak kosong, toh Pilkada mendatang belum tentu ada Kotak Kosong.”
Rinai hujan merintik, mengiringi kami ke TPS dekat rumah. Lima suara dari kami akan menentukan Gubernur Sulawesi Selatan dan Wali Kota Makassar. Pilihan pada pasangan calon gubernur dan wakilnya, masing-masing sudah punya. Demikian pula dengan paket calon Wali Kota dan wakilnya. Untuk calon gubernur, satu suara pada pasangan calon. Hanya kami sengaja mensenyapkannya. Tapi untuk calon wali kota Makassar, pun sepakat memilih Kotak Kosong, demi sensasi yang terjanjikan. Dan, sensasi Kotak Kosong, pastilah berbeda rasanya di antara kami. Bergantung pada kadar kematangan jiwa politik kami. Pastilah beda, antara saya dan putri saya, serta pasangan saya.
Pulang dari TPS, sepanjang hari, kami masih merasakan sensasi memilih Kotak Kosong. Percakapan kami, senantiasa diinterupsi oleh Kotak Kosong ini. Nah, malamnya, di berbagai stasiun televise lokal dan nasional, perbalahan Pilkada Serentak ini menghegemoni siaran. Hanya jadwal pertandingan Pildun saja yang bisa menyainginya. Malam itu juga, dari tayangan televisi, dan urita di media social, merilis berita, bahwa Kotak Kosong menang atas pasangan Appi-Cicu di Pilkada Kota Makassar. Ada sensasi yang meluap-luap, khususnya kami seisi rumah. Muncul takjub yang tak terduga. Para analis politik pun memberikan perspektif akan kemenangan Kotak Kosong.
Sambil tetap mengikuti perkembangan urita Pilkada, saya pun jeda sejenak, sebab ada interupsi dari hajatan Pildun. Segera saja saya khusyuk menonton pertandingan antara Jerman VS Korea. Tidak sedikit yang menjagokan Jerman. Berharap Jerman mengalahkan Korea, agar Jerman bisa lolos 16 besar. Apa lacur, tersaji “Drama Korea”. Jerman keok oleh Korea. Panser Jerman hancur berantakan dibombardir oleh pasukan Korea. 2-0 untuk Korea, yang semua golnya menggetarkan gawang Jerman pada in juri time. Banyak yang tidak percaya akan kekalahan Jerman. Termasuk komentator yang terbata-bata mengulas hasil pertandingan. Ternyata, bola masih bundar. Sebelum pluit wasit ditiup panjang, sebagai tanda usai perlagaan, sekotahnya bisa saja terjadi.
Lalu, apa sebenarnya hubungan dua kejadian ini? Keoknya Jerman dan berjayanya Kotak Kosong? Bagi saya ini peristiwa besar. Sebab, melahirkan History (Sejarah) dan Story (Cerita). Izinkan saya menukil Pierre Nora, penulis berkebangsaan Perancis, lewat karyanya, “Di antara Ingatan dan Sejarah”, sebagaimana Alwy Rachman, seorang budayawan kelahiran Makassar, menabalkannya, bahwa, “ingatan tak pernah dikenali melebihi dua bentuk legitimasinya: ingatan sebagai sejarah dan ingatan sebagai literasi.” Dan, sebagai penegasan, saya sepadankan literasi sebagai wujud terdepan dari cerita.
Peristiwa kekalahan tim Jerman dari Korea dan keunggulan Kotak Kosong atas pasangan Appi-Cicu adalah sebentuk ingatan. Dari ingatan inilah lahir history, sekaligus story. Tim Korea dan sekaum pemilih Kotak Kosong adalah pembikin sejarah dan pencipta cerita. Dari catatan sejarah inilah, sejarah sepak bola Korea dan Kejayaan Kotak Kosong akan selalu dikenang. Pun, bertolak dari keoknya tim Jerman dan kekalahan Appi-Cicu bakal jadi warisan cerita.
Dari sejarah yang tercipta, akan melahirkan ilmu pengetahuan tentang sepak bola dan diskursus politik. Berlapik pada cerita, akan terwujud karya literasi, serupa karya-karya sastra yang berlatar sepak bola dan wacana politik. Saya membayangkan, betapa banyak asumsi teoritis persepakbolaan dan perpolitikan yang bakal tersaji berkat peristiwa ini, sebagai ingatan sejarah. Begitu pula, saya berharap, akan lahir berlaksa cerita, bahkan mitos-mitos terntang dunia sepak bola dan jagat politik, sebentuk ingatan literasi, ingatan cerita. Setidaknya, Drama Korea dan Kotak Kosong, telah menjadi hulu ledak, akan sejarah dan cerita sepak bola dan politik. Bukankah sepak bola dan politik, merupakan dua hajatan yang melibatkan orang banyak?
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.