Teruslah Berjalan… (Refleksi Pada Suatu Hari Wisuda)

Pada suatu masa, rentang waktu 95-an, usiamu setahun kurang lebih, kami sang orangtua baru dengan penuh semangat mengajarimu berbagai macam keahlian. Mulai mengeja abjad, pada usia hitungan bulan, berbahasa dan bercakap-cakap dengan kalimat yang baku dan tertata kaidahnya. Hingga mengatur dan menjaga interaksi orang-orang dewasa di sekitarmu agar mengikuti aturan dan arahan dari kami. Agar tidak terjadi kesalahan perlakuan yang akibatnya bisa runyam di kemudian hari.

Orangtua manapun di dunia ini sudah pasti ingin memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. Tak ada yang berniat buruk ingin mencelakakan ataupun menjerumuskan buah hati yang sangat disayanginya. Jika ternyata dalam praktiknya terjadi kesalahan, maka bisa dipastikan bukan itu niat mereka. Hanya karena ketidaktahuanlah yang menggiring mereka melakukan kesalahan. Mengapa tidak tahu? Karena tidak ada proses pencarian pengetahuan di dalamnya. Jika terus dirunut ke belakang, mengapa tidak belajar, boleh jadi seribu satu alasan akan mengemuka. Beberapa di antaranya, kurangnya waktu, semangat mencari ilmu sudah terhenti pada batas bangku akademik, dan lain-lain alasan yang mungkin akan panjang jika disebutkan.

Situasi seperti itulah yang kurang lebih terjadi pada masa itu. Semangat belajar pengasuhan harus berjalan bersisian dengan hadirnya peristiwa-peristiwa kecil sehari-hari. Sehingga belajar tidak lagi bisa dilakukan secara santai dan hanya kalau ada waktu, melainkan mesti ditempatkan sebagai sesuatu yang sangat penting dan jadi prioritas di atas keteraturan tata letak perabotan dalam rumah. Perhatian dan komunikasi antar individu yang hidup di dalamnya semestinya menjadi hal terpenting, bukan justru sebaliknya. Maka kami pun memilih untuk berjalan cepat dengan harapan mampu melampaui semua masalah yang satu per satu muncul di tengah perjalanan itu.

Lalu sesekali kita pernah terjatuh, ada kalanya bersamaan, namun paling sering berbeda waktu. Yang lebih kuat menarik bangkit yang lemah, yang masih sehat harus turut membopong yang sakit, dan yang masih berstamina prima harus rela melakukan usaha yang berlipat sambil terus menyemangati yang lainnya. Karena jalan masih sangat panjang, perlu perbekalan yang lebih banyak lagi.

Hingga hari ini semangat belajar itu terus terpelihara dengan baik dalam rumah kita. Motto “Alah bisa karena biasa” menjadi alas pijakan untuk kita terus mencoba dan berusaha melakukan hal-hal yang lebih baik dari hari-hari kemarin. Walaupun lingkungan tempat kita tinggal menerapkan budaya dan kebiasaan yang berbeda dalam beberapa hal. Ingin rasanya mengubah mereka sebagaimana yang kita inginkan, akan tetapi keinginan itu adalah sesuatu yang mustahil. Maka kita pun memutuskan untuk membalik situasinya. Mengubah manusia dan lingkungan sekitar dengan mengubah perilaku kita sendiri. Begitulah hukum kehidupan mengajarkannya.

Fase demi fase pertumbuhanmu berhasil engkau lalui. Belajar dan bereksperimen dengan berbagai persoalan hidup yang mendera bahkan menciutkan nyali. Sekali dua kali kita nyaris menyerah, dan memilih untuk berhenti berjalan. Namun tangan-tangan tak kasat mata seolah menarik kita untuk bangkit dan bergerak meskipun hanya perlahan. Dalam remangnya cahaya, di tengah badai emosi yang berkecamuk, spiritualitas pun diuji.

Di antara cobaan dan godaan yang menggedor-gedor perasaan, kita pun saling menyemangati. Menangis, tertawa, karena sedih dan terkadang karena haru bahagia menghias hari-hari yang berlalu. Hingga tanpa kita sadari, di ufuk, mentari menyembul malu-malu, dan perlahan hati-hati ini menghangat kembali dengan semangat baru. Perjalanan pun kembali kita lanjutkan.

Hari ini sebuah gelar baru telah engkau sandang. Menjadi noktah yang nyaris tak terlihat di hamparan warna senada di jagat akademisi. Kecuali engkau mampu mengubahnya menjadi sebuah warna yang mencolok penglihatan. Karena sekadar gelar sarjana tak akan berarti banyak tanpa melengkapinya dengan perangai yang sujana. Bukankah ini tema yang acapkali kita perbincangkan saat ngobrol atau diskusi bersama? Bahwa segala sesuatu yang sifatnya asesoris belaka, tak kan bertahan lama, dan tak kan mampu mengubah apa-apa.

Kini, engkau harus bersiap untuk bertarung ide dan kinerja di tengah lautan manusia yang mengantri menunggu diberikan kesempatan. Namun kami tahu engkau bukan bagian dari jenis kelompok ini. Engkau bisa menciptakan model kehidupan seperti yang kau mau. Bukan hasil bentukan dan pendiktean dari pihak lain.

Jalan masih sangat panjang. Tantangan dan rintangan masih akan terus hadir menguji nyali. Jika tak siap engkau kan tergilas. Maka persiapan yang matang menjadi sebuah pilihan bijak. Jangan berhenti lalu menyerah, tetaplah melangkah walau harus perlahan.

 

 

 

 

 

 

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…

  • —mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221