Krisis Protes Mahasiswa dan Logika Biner Kampus

Sekilas pandangan saya melihat aksi protes solidaritas Mahasiswa atas skorsing yang dialami temannya di Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Negeri Makassar (UNM), yang menurut pengalaman saya yang pernah mengecap kehidupan mahasiswa awal abad 21 silam, aksinya begitu wah. Pataka-pataka lengkap, sound system, speaker mantap, di masa kami hanya menggunakan megaphone, orasi dan baca puisi variatif. Sangat mengharu biru melihatnya dari balik jilbab mahasiswi-mahasiswi yang menontonya dari lantai 2 gedung FE UNM (12 Juli 2018).

Saya tidak mengurai kronologisnya, karena saya bukan anggota Komisi Disiplin Fakultas (laporannya mungkin bisa dilihat pada komisi yang bersangkutan). Hal ini untuk menghindari klaim kebenaran dan pembenaran pada kedua pihak: pihak mahasiswa dan pihak birokrasi kampus. Tapi sebagai bagian dari entitas kampus yang prihatin melihat tindakan skors tersebut, dan juga miris melihat protes ‘solidaritas mahasiswa’ se-UNM siang tadi.

Dalam benak saya, cara pandang logika biner, benar-salah, kawan-lawan, kamu-saya, Loe -gue, kalian-kami, tidak akan menyelesaikan masalah dengan elegan. Tapi bisa saja elegan, jika kita melihat, kamu adalah “saya yang lain”. Kalian adalah “kami yang lain”. Sehingga apapun hasilnya bisa lapang dada dan bukan saling pasang badan dalam menyelesaikan masalah.

Saya menulis ini bukan karena latah, karena memang saya suka menulis, bukan hendak membantah sejumlah klaim kebenaran yang beredar di linimasa menurut versi masing-masing. Tulisan ini hadir dengan versinya sendiri. Menurut versi mahasiswa, hanya karena protes dan meminta transparansi sehingga diskorslah mahasiswa yang dianggap kurang etis dalam pandangan birokrasi kampus. Pada sisi lain, mahasiswa melakukan protes secara brutal (bukan anarkis) pada saat melakukan aksi pada Kamis (24/5/2018) lalu. SK skors 11 Juli 2018. Perihal tidak etis dan detail hal yang diprotes bukan bagian dalam tulisan ini.

Seperti yang sering saya kemukakan pada berbagai kesempatan tentang pentingnya membaca. Membaca secara kultural, membaca bahasa tubuh, situasi, hingga geopolik, dengan alat indera, akal, dan hati, seharusnya menjadi ciri pembeda masyarakat intelektual dan selainnya. Karena dengan pembacaan yang bagus akan menghindarkan kita pada kebuntuan komunikasi dan terjebak pada cara pandang “oposisi biner”. Bagaimana perasaan orangtua yang diteriaki oleh anaknya, atau anak yang aspirasinya tidak ditanggapi dengan serius oleh orangtuanya? Atau bagaimana kalau orangtua dan anak saling curiga mencurigai? dan seterusnya.

 

Inefesiensi Protes Mahasiswa

Saya melihat ada pemborosan sumber daya atau energi mahasiswa dalam *aksi protes tadi siang di FE UNM. Saya tidak menyebutnya gerakan, sekadar protes saja.

Kenapa boros energi? Seberapa urgenkah menggerakkan massa se-UNM, untuk soal skorsing 6 orang mahasiswa? Apakah sudah tepat sasaran atau tidak? Apakah tidak ada upaya diplomatis yang lain yang bisa ditempuh selain pengerahan massa dan teriak-teriak, yang kadang tak jelas diksi dan intonasinya? Bahkan dari kejauhan saya mendengar seperti orang mau eee. Seberapa panik protes tersebut dilakukan sehingga memanfaatkan hampir semua kekuatan broadcast, mobilisasi isu dan massa pada berbagai media, online dan offline. Seberapa genting sampai harus melakukan aksi malam di jalan raya (depan Pinisi UNM)? Dan sejumlah pertanyaan-pertanyaan mendasar dibenak saya? Kalau ingin membentuk opini, dan memenangkan perang informasi, lalu apakah hal tersebut bisa memperbaiki keadaan? Mungkin ya, masih ada ruang negosiasi, mungkin juga hanya berakhir seperti gosip ibu-ibu kompleks.

Kenapa tidak membentuk tim mediasi (apakah elit/senior mahasiswa) yang sedikit soft untuk menangguhkan atau meninjau ulang skors tersebut. Apakah semua masalah yang dihadapi mahasiswa, harus di atasi dengan protes (maaf bukan gerakan) a la “Manajemen Marah”. Jawaban semua pertanyaan di atas pasti akan beragam, dan para pembaca boleh memberikan jawaban yang berbeda.

Mengerahkan kekuatan protes penuh mendatangi FE untuk protes pada pejabat fakultas yang bersangkutan dan tak seorang pun ada di tempat. Hal ini serupa dengan memborong semua partai politik melawan ‘Kolom Kosong’ hasilnya adalah omongan dan mungkin omong kosong. Mengapa tidak belajar dari kasus tersebut yang masih sangat hangat disajikan di menu koran-koran dan linimasa lainnya.

Protes sebagai sebuah tindakan, harusnya memiliki dasar yang kuat, cara dan tujuan yang ingin dicapai. Tujuan, tujuan, dan tujuan. Tujuan yang baik harusnya SMART (Spesifik, Measurable, Achievable, Realistic, Time Bound). Sudahkan dirumuskan itu?

 

Pejabat Kampus: Belajar dari Pengalaman

Beberapa kasus yang melibatkan seteru antara mahasiswa dengan birokrasi kampus yang berlanjut sampai meja hijau. Beberapa kasus, di antaranya, 19/20 majasiswa UNM yang di-drop out (DO) memenangkan gugatan di PTUN pada medio 2011 silam, Rektor mengeluarkan surat DO pada 17 Februari 2016 pada dua mahasiswa UIM, bahkan MA tolak kasasi Rektor UIM. Dan sejumlah kasus lainnya dapat ditemukan dengan mudah di laman pencarian.

Menurut hemat saya, kampus adalah benteng terakhir peradaban (Kak Alwy Rahman). Kampus adalah cerminan masyarakat kita. Jika cerminnya retak, kemana lagi kita bisa melihat contoh yang baik dan berperadaban.

Sokoguru utama kampus adalah Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pendidikan dan pengajaran, Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat. Ketiganya mengandung nilai-nilai mulia. Secara normatif, pendidikan mengajarkan prinsip egaliter dan demokratis. Pendidikan tujuannya adalah memerdekakan manusia. Merdeka dari rasa takut, rasa lapar, kebodohan dan penindasan. Penelitian mengajarkan pentingnya rasionalitas, kejujuran dan konsistensi. Kita tidak dibenarkan mengutip pendapat orang tanpa melampirkan sumbernya. Di situlah kita belajar jujur. Pengabdian pada masyarakat mengajarkan keikhlasan dan semangat berbagi pada sesama makhluk ciptaan Tuhan.

Operasionalisasi nilai-nilai di atas tidaklah mudah. Belajar pada hal apapun adalah hal utama yang, termasuk pada kasus-kasus konflik ‘fungsionaris mahasiswa’ vs birokrasi kampus. Kampus memang bukan pegadaian,slogannya tidak realistis. Mangatasi masalah pasti selalu ada masalah baru, tapi masalah baru sedini mungkin lebih kecil dan lebih mudah di atasi.

Lalu apa solusinya? Pada setiap masalah pasti ada solusi. Secara matematis, Solusinya bisa 1, belum (tidak) menemukan atau banyak. Solusi ibarat ramuan obat, bisa mujarab jika diagnosanya tepat. Tulisan ini hanya refleksi dan keresahan, moga-moga dari sejumput keresahan bisa mengantar pada solusi 3 K. Kritis, Konstruktif, dan penuh Kasih Sayang.

Pasar bebas mengajarkan bahwa jika pemerintah mengontrol harga, kadang hanyalah tindakan sia-sia dan tidak tepat. Harga susah dikontrol, demikian pula mahasiswa. Keduanya sangat dinamis. Harga dinamis karena agen-agen dalam mekanisme suply demand yang kelihatannya sederhana, tetapi di bawah permukaan jual-beli sangat kompleks. Di sana ada preferensi-preferensi fan referensi-referensi sebelum melakukan aksi jual atau beli. Sedangkan dinamisasi mahasiswa kadang mendudukkan harga dirinya pada kekuatan dan kemampuan melawan sesuatu yang dianggapnya menyimpang dari idealismenya. Protes adalah perwujudan tindakan, yang bisa saja dipicu oleh beragam preferensi dan referensi yang beragam. Belum lagi dalam protes massa, secara psikologi massa, memang kadang tidak rasional.

Bahkan, pada kasus hal dianggap tidak etisnya mahasiswa saat demonstrasi pun dapat dijadikan pembelajaran. Mengapa mahasiswa kita hanya mengandalkan “Manajemen Marah” melakulan protes? Darimanakah mereka belajar tentang hal itu? Substansi protesnya apa? Protes ibarat asap. Ia hanyalah fenomena puncak gunung es. Protes bukanlah sumber asap, mengatasi asap tanpa mengatasi apinya, justru bisa menyebabkan kebakaran lebih luas. Demikian pula sanksi (skors), mungkin ia hanyalah efek jera yang diberikan pada si pelanggar tata nilai tapi sanksi bukanlah tujuan utama. Yang utama dari kedua hal di atas adalah sama-sama menemukan akar timbulnya protes dan sanksi. Dan melanjutkan kehidupan yang harmoni, agar cita Tri Dharma PT dapat tercapai, Eureka !

Atau, bisakah kita mengatasi protes sambil menikmati cemilan Protes.

One thought on “Krisis Protes Mahasiswa dan Logika Biner Kampus”

  1. Kalau membaca itu penting, kenapa sy nda pernah dapat pesan positif yang ingin disampaikan di tulisan.tulisannya sekarang. Atau mungkin kosakata ku yang kurang??

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *