Ishak Ngeljaratan dan Gelora Percakapan

“Bung Sulhan yang baik, baca-bacalah tanpa beban.”  (Ishak Ngeljaratan)

Pagi baru saja  bergegas menapak jalan takdirnya. Terik  baskara masih lembut. Waima kilaunya mulai menyilaukan mata. Saya memacu motor, dari mukim di kawasan selatan kota Makassar, menuju bilangan utara. Saya akan melayat pada seorang guru utama, guru bagi banyak insan, milik berbagai kalangan, pak Ishak Ngeljaratan. Beliau wafat 16 Juli 2018, di Rumah Sakit Stella Maris Makassar, sekira pukul 07.00 wita. Urita meninggalnya, saya peroleh dari berbagai jejaring media sosial. Saat berpulang pada keabadian , saya masih di luar kota. Jadi, esok harinya, baru melayat. Di depan peti jenazah, ada butiran kristal, sebentuk air mata, yang melompat dari kelopak mata, tak tertahan.

Segera saja pecahan-pecahan ingatan pada rumah pak Ishak ini, terpapar. Sekira tiga tahun lalu, saya bertandang ke rumahnya. Menemui beliau, guna satu hajatan, memohon untuk memberikan epilog atas buku saya yang mau diterbitkan, Tutur Jiwa.  Dan, waktu itu beliau, merespons , dan akan membaca dulu naskahnya. Tapi, saat itu juga, beliau sudah memberikan wejangan, pada percakapan yang intim tentang jiwa. Meski beliau tidak jadi memberi epilog pada buku saya, karena seabrek kesibukannya, bukan berarti tidak ada hikmah di baliknya. Saya makin intim berkomunikasi dengan beliau. Lewat fasilitas gadget, kami amat sering bercakap tentang buku itu. Saya kadang malu dan berat hati, sebab, berkali-kali mohon maaf atas belum selesainya epilog itu. Terakhir beliau menyarankan agar diterbitkan saja, tidak perlu lagi menanti epilognya. Apatah lagi, beliau bilang, “Sudah ada prolog dari  Alwy Rachman.”

Bertandang ke rumah beliau, saya tidak intens. Lebih banyak ketemu di luar rumahnya. Terutama di forum-forum percakapan, atawa pas bertemu di suatu tempat yang tidak direncanakan. Seingat saya, pertama kali mengunjungi rumah pak Ishak, saat saya dan beberapa orang sahabat, mengantar pulang beliau, setelah selesai orasi di gedung DPRD Sul-Sel, saat mahasiswa menduduki gedung wakil rakyat itu, pada Reformasi 1998. Beliau sebenarnya ingin pulang sendiri, sebagaimana kebiasaannya. Tapi kami harus menjaga beliau. Soalnya, perkembangan situasi sosial politik tak begitu baik. Kunjungan  saya kali ini, beliau sudah  tenang di keabadian. Wajah beliau amat cerah, secerah surya yang menyinari persada tanpa memilih objek.

Pertemuan pertama dengan pak Ishak, saya sudah lupa persisnya. Ingatan saya hanya tertumbuk pada momen ketika mulai menjajal kehidupan sebagai aktivis gerakan mahasiswa, akhir 80-an. Saya termasuk orang yang penasaran dengan beliau. Pasalnya, ada beberapa senior saya yang berdiskusi, saya hanya menguping, dan yang dibincangkan adalah seputar “berbahayanya” pikiran-pikiran pak  Ishak Ngeljaratan. Bahkan, ada juga senior yang menyarankan untuk tidak terpengaruh dengan pikiran-pikiran beliau. Sebagai anak muda yang tenggelam dalam pergumulan intelektual, tentulah anjuran ini merupakan petunjuk jalan, agar segera merambah di mana rambahan pikiran-pikiran pak Ishak sering diuarkan. Berbagai forum diskusi yang melibatkan pak Ishak selaku pembicara, sering saya sambangi. Pun, mendaras tulisan-tulisannya di media cetak.

Setibanya saya pada usia aktivis mahasiswa, yang memegang peranan penting di organisasi kemahasiswaan, maka salah satu narasumber utama yang sering saya buru, buat dijadikan pembicara. Tentulah tindakan saya ini tak sepi dari kritikan kawan sejawat yang menganggap seorang  pak Ishak dengan pikirannya yang berbahaya. Belakangan, lebih dari itu, kadang saya menjadi teman panelis beliau, di beberapa acara kaum muda mahasiswa sebagai narasumber. Kadang saya merasa tersanjung, karena beliau biasa mengucapkan, bahwa , “Kalau sudah ada Bung Sulhan, sudah cukup. Tidak perlu lagi saya datang.”

Sekali waktu, ada acara pelantikan pengurus organisasi kemahasiswaan ekstra universiter, yang mengundang pak Ishak, juga melibatkan saya sebagai panelis. Beliau lebih duluan tiba di lokasi acara, meski saya juga tidak terlambat. Acara itu bertempat di salah satu gedung Universitas Negeri Makassar. Begitu saya tiba, beliau langsung berkata, “Wah bagaimana ini anak muda, saya lebih duluan tiba. Padahal rumah saya di Tamalanrea, naik pete-pete lagi.” Saya yang disapa dengan ungkapan itu, agak malu juga. Perkaranya, rumah saya cukup dekat dengan tempat acara, pakai motor lagi. Sejak saat itu, setiap ada acara yang saya mau datangi, selalu ingat pak Ishak. Karenanya, seingat saya tidak pernah lagi telat datang.

Masih di acara itu. Sebelum acara dimulai, terjadilah percakapan ringan di selasar gedung. Saya bilang, “Mohon maaf pak Ishak, adik-adik ini mengundang di hari Minggu. Takutnya, mengganggu acara ibadahnya, Pak.” Umpan saya ini langsung disabet oleh beliau, “Bung Sulhan, orang Kristen itu masuk gereja, kalau saya, gereja yang masuk saya.”  Kawan-kawan muda mahasiswa tertawa dengan candaan pak Ishak. Entah apa yang dipahami 0leh candaan itu. Tapi bagi saya, ini sesungguhnya, ungkapan sari dirinya, sebagai seorang yang inklusif dalam memahami agama. Lalu kami lanjut di ruang diskusi. Kala acara seremonial berlangsung, ada percakapan yang menarik bagi saya. Saya berdampingan  dengan beliau sesama panelis. Setengah berbisik pak Ishak bertutur ke saya, mulutnya nyaris menyentuh telinga saya, katanya, “Bung Sulhan, bisakah saya menjadi Moslem, tanpa harus menyatakan diri secara formal sebagai Moslem?”

Bisikan pak Ishak ini, lebih merupakan  pertanyaan tinimbang pernyataan. Saya yang didadak seperti itu, terus terang kelimpungan. Tidak ada argumentasi yang saya ungkapkan. Saya pun meraba, pak Ishak sudah punya jawaban, namun yang dia sasar adalah pandangan keagamaan saya. Hingga tulisan ini saya torehkan, saya tidak pernah menjawab tanya itu secara verbal. Namun, interaksi yang intim dengannya, sudah merupakan laku jawab. Apatah lagi, di acara diskusi itu, dalam mempercakapkan soal yang dibincangkan, pak Ishak melontarkan pandangan keagamaan yang unik. Beliau bilang begini, “Sulhan seagama dengan Soeharto, tapi belum tentu seiman. Saya dan Sulhan tidak seagama, tapi seiman.”  Saya menduga-duga reaksi para peserta diskusi yang mengambil tema seputar reformasi kekuasaan politik. Tidak sedikit peserta yang terhenyak oleh sodokan ungkapan itu. Namun bagi saya, makin menemukan suatu rangkaian cara hidup beragama, secara inklusif.Percakapan yang intim, sejak di pelataran gedung, sampai pada perbalahan di forum, sekotahnya adalah bukti keinklusifan seorang Pak Ishak dalam beragama.

Lain waktu, seorang junior saya di lembaga kemahasiswaan ekstra universiter, meminta pandangan pada saya, tentang siapa pembicara untuk sebuah topik diskusi bertemakan penerapan syariat Islam. Saya langsung saja mengusulkan nama pak Ishak, ditambah oleh panelis lain. Rupanya, panitia itu setuju dengan usulan saya. Tibalah hajatan itu. Banyak yang protes akan acara itu. Bagaimana mungkin bicara soal syariat Islam, yang pembincangnya adalah seorang non-muslim? Saya hadir di acara itu selaku pendengar. Seorang peserta nyaris menginterupsi, sesaat setelah acara baru dimulai. Saya yang duduk di dekatnya, mencoba mencegahnya, membujuknya agar tenang. Menyarankan agar ikuti saja dulu diskusi, nanti pada babakan tanggapan baru beraksi. Setujulah junior saya itu. Acara pun dibuka.

Berpidatolah penyelenggara. Ucapan perdana yang dilantunkan adalah, “Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh, dan dan selamat pagi jelang siang.”  Tetiba saja pak Ishak berdiri, menginterupsi pidato. Bunyi interupsinya, “Cukup assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh saja, tidak usah ditambah selamat pagi atau siang. Itu sudah cukup. Apalagi kalau selamat pagi dan siang itu saudara tujukan pada saya. Islam itu adalah rahmatan lil alamin. Dan, salam itu, merupakan pernyataan keselamatan yang meliputi seluruh alam.” Penyelenggara yang berpidato itu, kelihatannya agak gugup, sambil tersipu. Dan, junior yang saya cegah tadi itu, heran bin ragu. Akibatnya, sampai persamuhan bubar, tidak pernah ia wujudkan interupsinya.

Tak sanggup saya menghitung, apalagi mengingat persuaan dan percakapan dengan pak Ishak. Penggalan ingatan di atas, hanyalah segelintir pecahan ingatan dari intimnya gelora percakapan intelektual; yang saya rasakan bersama beliau. Hebatnya lagi, pak Ishak tidak memilih tempat diskusi. Di pelataran toko buku saya, Papirus, pun pernah jadi pemantik diskusi, bersama komunitas anak muda.

Beberapa waktu lalu, saya melihat pak Ishak berdiri di pinggir jalan. Kayaknya lagi menunggu kendaraan umum. Saya ada di seberang jalan. Saya lalu memutar motor, ingin menyapa. Syukur kalau ada percakapan yang penuh gelora. Setiba di titik bahu jalan, di mana pak Ishak berdiri, beliau sudah tidak ada. Angkutan umum sudah membawanya pergi. Lalu, berlaksa waktu datang kemudian. Urita duka menyapa, Pak Ishak telah berpulang pada keabadian. Saya hanya bisa mematung di hadapan peti jenazah. Lelaki asal Kepulauan Tanimbar itu, memulai tidur panjangnya, dalam damai bersama Tuhan.

Sepulang dari melayat, saya raih kembali buku pemberiannya, sewaktu bertandang ke mukimnya, hasil buah pikirnya, Wajah dalam Cermin Retak. Saya ingin mendarasnya lebih khusyuk lagi.  Biar gelora percakapan tertaut  kembali, walau dalam alam yang berbeda. Saya membuka halaman sampul bukunya, termaktublah pesan bertuah, tulisan dan tanda tangan beliau, seperti yang saya nukilkan di mula tulisan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *