Peliknya Menjadi Anak (Tetesan Rasa Kemanusiaan di Hari Anak Indonesia)

Sedikit rasa kemanusiaan sungguh jauh lebih berharga daripada seluruh peraturan yang ada di dunia ini. ~ Jean Piaget

 

Sering kali muncul gugatan dan perasaan miris dalam hati, manakala menyaksikan lingkungan anak-anak yang sungguh memprihatinkan. Bukan soal materi semata melainkan pada bagaimana cara orang-orang dewasa berinteraksi dengan mereka. Bagaimana perlakuan orangtua terhadap anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya. Rasa kepemilikan seolah menjadi pembenar atas banyaknya perlakuan yang salah.

Tanpa kita sadari, kelak rekamana-rekaman pengalaman masa kecil ini akan banyak mengendalikan arah hidup mereka dan memengaruhi lebih dari setengah keputusan-keputusan akibat sikap dan pandangan hidup semasa kanak-kanak. Sayangnya hanya segelintir saja yang tergerak untuk mau mengetahui akar masalah dari semua ini dan menjadi sadar setelahnya.

Sebuah fenomena yang menarik perhatian saya, saat menyadari betapa kita telah banyak mengabaikan substansi ketika menghadapi sebuah persoalan. Sejauh ini kita lebih tertarik untuk menilai dan membesarkan sesuatu yang maujud tinimbang sebaliknya. Kita lebih terobsesi mencetak anak-anak yang secara intelektual pintar, patuh pada perintah tanpa berusaha membangun sikap kritisnya. Lebih membanggakan menyaksikan tumpukan prestasinya daripada kebanggaan dalam membangun hubungan emosional yang kuat dan hangat dengan mereka.

Disiplin dan keteraturan itu penting, namun kebahagiaan mereka jauh lebih penting lagi. Saya memaknainya sebagai sebuah perjuangan, bagaimana kita berusaha mengerahkan segenap pengetahuan dan kebijaksanaan kita sebagai orang dewasa yang memiliki otoritas pengasuhan, agar mampu menciptakan harmoni antara jiwa dan raganya. Bukan sesuatu yang tidak mungkin membesarkan anak-anak dalam suasana damai, menyenangkan, serta membahagiakan kedua belah pihak tanpa ada jiwa yang terluka. Saya sangat yakin usaha ini akan membuahkan hasil seperti yang diharapkan manakala ada kesungguhan di dalamnya.

Masa kanak-kanak semestinya menjadi ajang mula penerimaan bagi mereka. Menerima kelahirannya apa adanya, bukan sebagaimana seharusnya mereka diinginkan. Kepasrahan dan penerimaan akan kehadiran mereka merupakan anugerah terindah yang hendaknya dipancarkan secara terus-menerus tanpa mengharap imbalan kecuali ridha Tuhan semata. Kelak perasaan dan sikap awal ini memupuk subur emosinya yang tentunya berpengaruh kuat pada tumbuh kembangnya.

Pelik memang menjadi anak-anak saat harus terlahir di tengah orang-orang dewasa yang tidak mengerti dan tidak peduli soal dunia perkembangan anak. Mereka yang hanya mengerti bagaimana cara melahirkan yang aman, sehingga ibu dan bayi bisa selamat. Anak-anak yang pada masa kanak-kanaknya hanya menjadi obyek kepemilikan yang hanya dipenuhi kebutuhannya secara lahiriah tanpa upaya menumbuhkan ruhaninya. Anak-anak yang tak pernah didengarkan tetapi dituntut untuk selalu patuh mendengarkan nasihat orangtua. Anak-anak yang dituntut sempurna di hadapan orangtua yang justru jauh dari kesempurnaan. Anak-anak yang dipaksa bersikap santun dan patuh di tengah orang-orang yang tidak hirau dengan tata krama dan cenderung seenaknya sendiri.

Di dunia kini kita tanpa sadar semakin berpacu dalam setiap relung kehidupan. Orangtua dan anak sama-sama berlomba merebut panggung penghargaan. Tak mudah lagi kita membedakan mana orangtua usia paruh baya mana usia anak usia sekolah dasar. Mereka sama-sama berlomba menampilkan sisi-sisi kelebihannya di hadapan pemirsa dunia maya. Tentunya yang ditonjolkan adalah atribut lahiriah, bukan hal-hal yang lebih substantif sifatnya. Sulit membedakan yang mana yang harusnya menjadi panutan atau teladan. Tak ada lagi wibawa, atau bahkan harga diri. Anak-anak pun tumbuh dan berkembang dalam asuhan media sosial. Mau meniru siapa, mau menjadi apa, dan mau mematuhi siapa,  semua terjawab di sana.

Lalu secara tiba-tiba anak-anak ini pun bertumbuh meninggalkan masa kanak-kanaknya. Tanpa persiapan, tanpa bekal, dan tanpa pendampingan apa pun. Bertarung di tengah dunia antah-berantah yang masih asing. Berlari bersama orang-orang yang tak dikenal, entah ke mana arah tujuannya. Bentangan jalan yang penuh risiko harus mereka lalui sebab tak ada lagi waktu untuk berbalik arah. Maka kawan-kawan seperjalanan menjadi tempat bertanya yang mudah untuk dijangkau. Ketimbang orang-orang dewasa yang jauh tak tergapai di ujung sana.

Waktu yang terus bergulung tanpa kita sadari. Rasanya  semakin sulit dan berat menjalani peran sebagai seorang anak. Banyak dituntut tetapi kurang dituntun. Diharapkan menjadi anak yang berbakti kepada orangtua, namun seatap dengan mereka yang tidak memberikan contoh bakti kepada kedua orangtua. Dituntut banyak berprestasi tanpa usaha mengenalkan makna keberhasilan yang sesungguhnya. Perbedaan antara yang halal dan haram, yang baik dan yang buruk, yang asli dan yang palsu, semakin tak bersekat. Akhirnya di tengah kebingungan yang tak berujung, anak-anak pun tumbuh besar menjadi pribadi yang terasing. Asing dalam memahami dirinya sendiri terlebih keterasingan dalam memahami lingkungan sekitarnya.

Karena setiap orang dewasa nampaknya masih akan terus disibukkan oleh urusan-urusan yang tak mengenal kata selesai. Anak-anak hanyalah ibarat partikel halus di antara sekian banyak masalah yang saling berdesakan menanti penyelesaian. Maka beruntunglah jika ternyata Engkau berada di tangan orang-orang yang bertanggung jawab. Dan tetaplah bersyukur jika kenyataannya berbeda. Mungkin Tuhan ingin mendidikmu dengan cara yang luar biasa.

Sebagai penawar  dari keriuhan yang kian menjadi, maka kata-kata Jean Piaget di atas kiranya dapat menjadi oase di tengah kekeringan hubungan, kekeringan perasaan, dan lain-lain. Bahwa anak-anak butuh diatur, tetapi di atas segalanya, taburilah peraturan-peraturan tersebut dengan unsur-unsur kemanusiaan yang akan melontarkan mereka menggapai cita-cita tertingginya.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *