Daeng Jokowi, izinkan saya menyapamu dengan panggilan Daeng. Sebab, salah satu julukan Kota Makassar adalah Kota Daeng.
Sejak beberapa hari ini, jelang pucuk Juli 2018, berbagai elemen warga Kota Makassar, menyambutmu dengan ucapan selamat datang. Sebagai missal saja, sepanjang Jalan Andi Pangerang Pettarani, elemen dari Sahabat Rakyat Indonesia, menjejerkan banner Selamat Datang Bapak Presiden RI. Pun, ada elemen masyarakat yang memasang spanduk dan baliho ajakan untuk gerak jalan sehat. Semoga saja masyarakat yang ikut jalan sehat, jiwa dan raganya makin kamil.
Soal sapaan Daeng, saya perlu dudukkan dulu porsinya. Biar esai-surat saya ini, tidak dianggap gegabah dan nyeleneh. Bahwasanya, bagi masyarakat Makassar, kata Daeng ini, bisa berdimensi panggilan dan gelar. Panggilan Daeng, berkonotasi panggilan seorang yang lebih muda pada yang lebih tua. Sementara gelar Daeng, merujuk pada status sosial yang disematkan pada seseorang. Tepatnya, gelar semacam Paddaengang, Biasanya, paddaengang ini diletakkan pada sesudah nama asli. Dan, paddaengang ini menggambarkan harapan, penyerupaan, dan impian.
Jadi, saya menyapa Daeng Jokowi, itu semata sapaan akrab, dari yang lebih muda usianya, pada yang lebih tua. Memang saya dan Daeng Jokowi, sama-sama sudah berumur lebih setentgah abad, cuma, saya baru 51, sementara Daeng sudah 57 tahun. Tapi, tidak menutup kemungkinan, ada elemen masyarakat yang ingin memberikan gelar paddaengang pada Daeng.
***
Daeng Jokowi, perkenankan saya menyambutmu dengan kerinduan yang tertitip pada anging mammiri. Selamat datang di Kota Anging Mammiri. Karena, Kota Makassar dikenal pula dengan gelaran itu.
Bila Kota Daeng mengalamatkan pada sebentuk pola kemasyarakatan masyarakat Kota Makassar, maka Kota Anging Mammiri, mengarahkan pada suasana kebudayaan Makassar. Khususnya dalam berkesenian. Bukankah “Anging Mammiri” adalah salah satu lagu daerah yang amat populer? Lagu karangan Bora Daeng Irate ini, menggambarkan kerinduan yang amat khusyuk.
Lewat kelembutan anging mammiri, elemen-elemen masyarakat Makassar yang merindukan Daeng, telah mereka nubuatkan, yang patrinya tertulis pada ucapan selamat dating di berbagai banner, spanduk, dan baliho. Saya berharap, hembusan angin cukup bersahabat, agar jangan sampai merobek, menerbangkan, atau menumbangkan, aneka pernyataan sambutan hangat itu. Pun, ada harapan yang mengada, moga Daeng, pun, merindukan Kota Anging Mammiri.
***
Daeng Jokowi, permaklumkan saya mengenalkan satu julukan lagi bagi Kota Makassar. Selamat datang di Kota Koko. Maksudnya, Kota Kolom Kosong, yang lebih populer dengan sebutan kotak kosong.
Kota Koko, persisnya, Kota Kolom Kosong, merupakan capaian baru bagi Kota Makassar dalam perhelatan politik. Berdemokrasi. Perkaranya, tatkala Pilkada Serentak 2018, di mana Kota Makassar ikut pemilu untuk memilih wali kota dan wakilnya, ternyata warga Makassar lebih banyak memilih kolom kosong. Saya menganggap ini semacam referendum yang lunak, buat menyatakan pilihan, apa anda setuju atau tidak setuju pada pasangan calon wali kota dan wakilnya, Appi-Cicu?
Berlapikkan pada kemenangan Koko, atau lebih banyak masyarakat tidak setuju pada pasangan Appi-Cicu, bagi saya, ini semacam interupsi yang serius bagi perpolitikan kita. Pasalnya, keunggulan Koko ini, hingga pada tahapan penetapan oleh KPU, masih menjadi perbincangan yang hangat. Mungkin memang bukan yang pertamaka kali kemenangan Koko di Kota Makassar, tetapi dari segi dampak politiknya, menyebabkan pamor Koko melangit. Bayangkan saja, pasangan Appi-Cicu, didukung oleh koalisi sekotah partai politik. Pun, dihidu oleh jejaring konglomerasi.
Warga Makassar yang membariskan dirinya pada pilihan Koko, telah memahat history, sekaligus melukis story. History atau sejarah, maupun story atawa cerita, dua-duanya merupakan alat pewaris ingatan pada peristiwa, guna melawan lupa. Pada sejarah dan cerita, masyarakat itu akan setia pada peristiwa. Jika sejarah merumuskannya dalam bingkai ilmu pengetahuan, maka cerita mengawetkannya lewat karya sastra. Satu bekerja di bidang non-fiksi, satunya lagi bergerak di bagian fiksi.
Pahatan sejarah dan lukisan cerita Koko, akan selalu menguar ke permukaan. Manakala anak bangsa ini melakukan perlagaan politik, mulai dari pemilihan kepala desa, bupati-wali kota, gubernur, dan presiden, yang memungkinkan hadirnya Koko sebagai kontestan pemilu, maka ingatan akan sejarah dan cerita pada Koko yang menang di Kota Makassar, bakal hangat lagi. Pastilah menjadi rujukan perbalahan politik. Jadinya, pasangan yang dikalahkan oleh Koko di Kota Makassar itu, penderitaannya tiada berakhir. Dari generasi ke generasi akan didaur ulang sejarah dan ceritanya. Kecuali, sistem politik berubah. Tapi itu pun akan selalu menjadi pelajaran di sekolah, dan cerita legendaris di masyarakat.
***
Daeng Jokowi, sesarinya, saya sudah menyapamu dengan ucapan selamat datang dalam bentuk three in one, maujud dalam satu paket. Sosial, budaya, dan politik. Kota Daeng, Kota Anging Mammiri, dan Kota Koko.
Dari paket itu, saya ingin menebalkan cetak hurufnya pada julukan Kota Koko. Mengapa? Tahun ini, dan tahun depan nanti, adalah tahun politik. Kunjungan Daeng Jokowi ke Kota Makassar kali ini, pun tidak bisa dilepaskan dari terungku aura dan aroma politik. Di era kiwari ini, jalan sehat pun merupakan bagian dari mobilisasi politik. Itu sah saja. Boleh setuju, boleh tidak. Dan, bagi saya, bukan itu poinnya. Tapi, masalahnya adalah, tatkala Daeng Jokowi harus berhadapan dengan Koko di Pilpres 2019. Waima, kekhawatiran saya berlebihan. Sebab, alamat kearah itu nihil. Gerakan #Gantipresiden, karena #Diasibukkerja, masih berkontestasi.
Daeng Jokowi, tak elok melawan Koko. Ibarat petinju, ia hanya melawan angin. Mau dibilang ada, tak nampak. Mau dikata tiada, jejaknya tampak. Bertinju melawan angin, bak memukul diri sendiri. Kecuali, anginnya, serupa anging mammiri, yang hembusannya mengantar pada kerinduan. Yah, kerinduan pada seorang presiden berkarakter Daeng.
Ilustrasi: Nabila Azzahra.
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.