Peradilan Media Sosial, Sebuah Autokritik

Beberapa waktu yang lalu, warganet di Indonesia khususnya di Sulawesi-Selatan sempat dihebohkan dengan tindak kepongahan seorang Lurah yang menolak menandatangani surat keterangan usaha seorang warganya hanya karena berbeda pilihan saat pilkada. Saat dibagikan, video lurah ini hanya butuh waktu satu malam saja untuk dikomentari oleh belasan ribu warganet. Akun facebooknya pun tak luput dari kemarahan netizen yang merundungnya dengan semua kata-kata kotor beserta isi kebun binatangnya.

Kasus pak lurah hanya satu rangkaian kasus dari sekian banyak kasus indisipliner dan tidak terpuji yang melibatkan para aparat negara. Mereka yang sejatinya adalah “Abdi Negara” nyatanya tidak betul-betul menjadi abdi dan mengabdi pada masyarakat. Yang terjadi adalah sebaliknya, masyarakat yang dijadikan abdi untuk mengemis apa yang sebenarnya menjadi hak mereka.

Karena kepongahan para oknum aparat negara inilah sehingga dunia maya kita menjadi tidak pernah sepi dari aksi viral memviralkan khususnya bagi mereka yang merasa ditindas oleh sistem yang dijalankan para penyelenggara negara. Secara normatif, para masyarakat korban kesewenang-wenangan ini sebenarnya memiliki banyak sekali legal standing untuk menempuh jalur hukum “manual”, tapi bukan rahasia umum lagi bahwa efisiensi dan efektifitas di jalur ini sungguh berliku.

Maka dari itu, beberapa tahun belakangan ini, sosial media kerap dijadikan solusi cepat bagi mereka yang merasa ternodai rasa keadilannya. Perkembangan media sosial sebagai solusi memperjuangkan keadilan inilah yang akhirnya menempatkan facebook menjadi opsi yang paing banyak digunakan bagi mereka dalam menuntut balas. Facebook dengan potensi viralnya menjadi alat yang paling ampuh untuk mendakwa dan memvonis para tertuduh dengan jarak waktu yang jauh lebih cepat dibandingkan perangkat hukum manual yang ada.

Di facebook, anda akan menemukan pengadilan maya yang sungguh efisien dan efektif, karena dengan hanya bermodalkan video atau screenshot yang menunjukkan kesalahan si pelaku maka vonis akan langsung dijatuhkan dan hukuman perundungan pun akan langsung dilancarkan. Saking kejamnya hukuman ini, maka semua orang-orang terdekat terdakwa pun akan terseret juga didalam penghukuman. Makanya kadang tak berlebihan juga jika kita menyebut sosial media dan kemampuan viralnya telah menjelma menjadi senjata pemusnah massal terbaru, karena senjata ini mampu memusnahkan semua harga diri pribadi, keluarga dan orang-orag terdekat kita secara massal.

Keengganan masyarakat dalam menempuh jalur hukum normatif ini semestinya dapat kita lihat dari sisi positifnya bahwa fenomena ini adalah sebuah autokritik bagi semua penyelenggara negara khususnya para penegak hukum, karena rupanya produk hukum normatif akhir-akhir ini pada beberapa situasi tidak lagi dijadikan sebagai sebuah alternatif terbaik oleh masyarakat terutama oleh mereka yang berasal dari kelas menengah ke bawah yang secara tersirat tidak memiliki daya tawar yang cukup kuat dalam sistem hukum kita. Fenomena maraknya pengadilan dunia maya ini semestinya menyadarkan kita betapa rendahnya kualitas penegakan hukum yang pada banyak kasus berjalan seperti odong-odong.

Di lain sisi, pengadilan media sosial selain menawarkan vonis dunia maya yang serba cepat, pada akhirnya juga kadang mampu mengubah peradilan normatif menjadi berjalan kencang. Kita bisa melihat banyaknya penegakan hukum terhadap kasus indisipliner dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oknum penyelenggara negara yang bila dijalankan secara normatif akan terkesan lambat atau malah akan mentah, tapi bila sosial media dan viralnya sudah berperan dalam mengawal kasus-kasus seperti ini, maka biasanya penegakan hukum yang lemotnya seperti odong-odong akan langsung melesat sekencang jet sukhoi.

Meski nyatanya peradilan dunia maya belum bisa dijadikan sebuah acuan positif mengingat potensi hoax, sabotase dan ketidakberimbangan konten yang juga marak, tapi lagi-lagi ini adalah sebuah autokritik terhadap aparat dan sistem penyelenggaraan hukum normatif kita, bahwa rupanya dalam banyak situasi, negara belum mampu menghadirkan dirinya dalam membela hak keadilan setiap lapisan masyarakat.

Kita juga tidak boleh abai bahwa media sosial di lain sisi memiliki sisi positif yang betul-betul bisa memaksimalkan peran serta masyarakat dalam mengawasi sistem bernegara kita. Kita tidak punya jalan kembali, era media sosial telah mengambil-alih banyak dari sendi kehidupan bernegara kita. Mau tidak mau kita tetap harus berjalan kedepan, dan memilah-milah sisi positif media sosial dan memaksimalkannya sebagai sebenar-benarnya social control dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Ilustrasi: Nabila Azzahra

  • Entah pendengarannya seorang kisanak kurang jelas, atau kata-kata saya tak tangkas, sehingga ajakan saya ke satu hajatan disalah-pahami. Betapa tidak, Gusdurian menghelat haul Gus Dur, dia tangkap sebagai acara makan durian, terlebih lagi bakal minum jus durian. Mungkin kata Gusdurian menjadi biangnya. Apalagi sudah masuk musim durian. Sesarinya, hajatan haul Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid,…

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221