Seorang perempuan muda cantik dilamar oleh seorang lelaki muda untuk dijadikan istri pada sebuah momentum yang romantis. Namun perempuan itu menolak dengan alasan yang tak diduga oleh lelaki muda gagah Sang Pelamar itu. Padahal mereka berdua telah saling mengenal sudah cukup lama, walaupun pengungkapan isi hati prihal kesukaannya pada perempuan muda cantik itu baru pertama kalinya di momen yang menurutnya indah dan pas untuk menyampaikan rasa suka dan langsung melamarnya. Alasan penolakan perempuan itu cuma satu, bahwa selama beberapa tahun mereka akrab dan berteman hanya menganggapnya sebagai sahabat saja.
Di sebuah lontang (tempat minum tuak) hampir setiap hari mereka berkumpul merayakan persahabatan mereka dengan cara sedikit unik, minum tuak (hingga mabuk) sembari berdiskusi berbagai hal berkenaan dengan keluarga dan kehidupan sosial mereka. Sesekali perayaan itu di hibur oleh musik gitar dan perkusi menyanyikan lagu-lagu daerah berirama langgam. Mereka ini komunitas yang mengklaim diri diikat oleh persahabatan yang kuat. Namun realitasnya di tempat ini kerap pula terjadi perselisihan yang tajam di antara mereka bahkan saling berbunuh.
Dalam hubungan-hubungan yang akrab dan intens dengan lebih sedikit orang yang terlibat, dua hingga mungkin sekira sepuluh orang membangun komunkasi secara baik dalam durasi waktu yang cukup lama. Mereka pun mengklaimnya ikatan psikologis yang mereka lakukan dibilangkannya sahabat. Pada kelompok yang lebih kecil ini pun terdiri dari berbagai tingkatan usia, dari usia remaja hingga usia dewasa. Mereka mengikatkan diri dalam sebuah hubungan yang karib dalam waktu yang cukup panjang. Ada yang karena kesamaan hobi, kesamaan cara pandang tentang hidup, mungkin karena sekantor hingga intensitas pertemuan dan kesamaan suatu hal hingga mereka karib, keakraban karena merasa sependeritaan atau senasib dalam satu atau beberapa hal. Hingga kesemua itu mereka klaim atau membilangkan ikatan-ikatan yang mereka lakukan adalah persahabatan atau sahabat.
Dalam buku kecil Plato berjudul, Lysis yang dirujuk oleh F. Budi Hardiman, lewat bukunya, Filsafat untuk Para Profesional, bertemakan persahabatan membantu kita memahami bahwa persahabatan bersifat triangular (segitiga). Dua kawan bersatu karena ada pihak ketiga yang bernama kebaikan, boleh juga disebut “kepentingan”. Konteks besar pemikiran Plato akan membantu kita memilah bentuk-bentuk persahabatan. Ada kongkalikong dagang, karena kepentingan pengikatnya adalah uang; ada kesetiakawanan bonek (bondo/modal nekat), karena yang dibela adalah harga diri dan kekuasaan; dan akhirnya ada persahabatan yang indah dan benar karena yang menjadi pengikatnya adalah kebaikan yang sungguh-sungguh baik.
Dalam perkembangan selanjutnya, perbincangan berkenaan dengan persahabatan diramaikan pula oleh Sokrates, seorang filosof dan pemikir yang notabene adalah murid dari Plato itu sendiri. Menurut Sokrates klaim-klaim kebaikan pun perlu dikritisi. Bila kebaikan hanya sebatas berbagi dalam bentuk fisikal, seperti, Hippothales mendekati Lysis untuk menjadikannya kekasih dalam cerita Lysis-nya Plato, dengan mendeklamasikan puisi dengan puja-pujian secara fisik dan berharap dapat menjadikannya kekasih dengan beragam iming-iming bendawi. Menurutnya, cara mencintai dan bersahabat seperti ini adalah menggelikan. Karena kebaikan-kebaikan yang dimaksud hanya terbatas pada aspek bendawi.
Relasi cinta dan sahabat atas dasar fisik hanya menciptakan para pemburu cinta yang bodoh, katanya kemudian. Relasi persahabatan ditilik Plato dari dua sudut pandang, dari orang-orang yang terlibat dalam persahabatan (para pelakunya) dan dari hal yang menyatukan mereka yang terlibat dalam persahabatan (objeknya). Dari sisi pelaku persahabatan, lazim diterima bahwa persahabatan mengandaikan resiprositas (kesalingan) antara dua pihak yang saling berkawan.
Tapi bagi Sokrates, ada banyak kasus di mana orang menyahabati sesuatu tanpa berharap ada balasan (resiprositas) dari yang disahabati. Misalnya, orang yang besahabat (philia) atau karib dengan anjing. Dalam cintanya pada anjing dia tahu bahwa para anjing itu tidak bisa membalas persahabatannya sesuai kelaziman. Pun benda-benda yang kita sukai, disahabati dan dipelihara dengan baik tapi Ia tidak bersifat resiprok, tapi persahabatan sebelah pihak hanya satu arah, tanpa berharap balasan.
Mungkin kita berpendapat bahwa relasi persahabatan dengan binatang atau benda lainnya memang tidak bersifat resiprok, namun membangun relasi dengan sesama manusia pasti ada kesalingan berbagi, benarkah ? Sokrates membantah pendapat itu. Beliau memberi contoh, tentang persahabatan atau cinta orangtua kepada anak-anaknya diberikan sebagai bukti bahwa relasi philia memang tidak bersifat resiprok. Orang tua yang menyahabati dan mencintai bayinya berlaku demikian terlepas dari apakah ada balasan dari bayinya. Setelah besarpun orang tua tetap mencintai meski kadang mereka malah dibenci oleh anaknya.
Masih ingat bukan, sebuah lagu kala kita masih kecil, Kasih Ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya mengitari dunia.” Cinta orangtua sepanjang jalan, cinta anak sepanjang galah. Sepenggal contoh di atas mebawa kita bahwa hampir semua orang tua membangun persahabatan dan rasa cinta pada anaknya dan manusia pada sesuatu tidak ditentukan oleh adanya resiprositas.
Mungkin ini pula yang dipersembahkan oleh sebagian pekerja social di pelbagai segmen kehidupan yang melakukan pekerjaannya dengan filosofi altruistic di mana semua pekerjaan yang dilakoninya berdasarkan atau mementingkan kepentingan orang lain tanpa mengharap balasan. Masih ingat kan? Bagaimana, Bunda Tresa, sosok yang monumental itu, melakukan pelayanan kepada para fakir miskin dan secara spesifik bagi orang-orang yang terjangkiti penyakit kusta di Kalkutta, India. Melayaninya sepenuh kasih sepanjang usia tuanya. Beliau tidak berharap sedikit pun balasan dari siapa saja. Sejak usia muda hingga keriput menjangkiti kulitnya waktunya dihabiskan mencurahkan persahabatan dan cinta kepada sesama manusia tanpa tersekat oleh perbedaan ras dan keyakinannya.
Di Jazirah Arab juga dikenal seorang lelaki penuh kasih yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk berkhikmat pada kemanusiaan. Pernah dengar atau baca kan kisahnya. Suatu waktu anaknya bernama Hasan Bin Ali, menjamu para tamu dan musafir di rumahnya di Kota Madinah. Kala seorang musafir dari kampung nun jauh usai menikmati jamuan yang dipersembahkan, mengambil lagi sepaket penganan. Sayyidina Hasan Bin Ali melihatnya dan menanyainya, penganan itu untuk siapa ? lalu langsung di jawabnya, bahwa untuk seorang tua di pinggir kota yang sedang duduk di tepi sebuah kebun kurma nampak kelihatan kelapan. Sayyidina Hasan, tak tahan langsung mengucurkan air matanya, lalu menjelaskan bahwa orang tua itu adalah ayahku yang sedang bekerja di kebun milik orang Yahudi. Semua upah yang dikumpulkan untuk menyediakan penganan para musafir dan fakir miskin yang memasuki kota ini.
Suatu waktu filosof dan pemikir, Aristoteles menyampaikan gagasannya yang singkat dan pendek berkenaan dengan sahabat atawa persahabatan dengan sebuah kalimat pendek “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” “Plato adalah sahabat, tetapi kebenaran adalah sahabat yang lebih besar.”
Ilustrasi: https://www.bintang.com/celeb/read/2667300/editor-says-rindu-keseruan-seperti-dulu-sahabat/page-1
Penulis. Telah menerbitkan beberapa buku kumpulan esai dan puisi di antaranya Jejak Air mata (2009), Melati untuk Kekasih (2013), Dari Pojok Facebook untuk Indonesia (2014), Tu(h)an di Panti Pijat (2015). Anging Mammiri (2017), Menafsir Kembali Indonesia (2017), Dari Langit dan Bumi (2017). Celoteh Pagi (2018), Di Pojok Sebuah Kelenteng (2018), dan Perjalanan Cinta (2019).