Di Balik Jemari Penulis

Pada suatu sore yang ranum, di selasar indekos, wangi semerbak kopi menari-nari bersama angin. Aromanya menggelitik syaraf penciuman, memaksa saya membauinya. Menyeruputnya, seteguk demi seteguk. Merasai bulir demi bulir mengalir ke tenggorokan bersama rasa pahit dan manis yang menyatu. Menikmati kopi telah menjadi ritual harian. Anehnya, kopi berkurang nikmatnya jika buku tidak menemani. Maka begitulah sepenggal cerita saya lakoni setiap hari.

Hari ini bersama senja yang terus bergerak menua, selaksa harapan sejatinya menghidu dalam benak tatkala menyeruput kopi. Berharap tubuh ini terbang ke dunia Inspirasi. Atau tenggelam dalam lautan gagasan-gagasan. Tapi ide-ide itu tak jua berguguran untuk dituliskan. Batok kepala menutup rapat, tidak membiarkan otak merespon syaraf-syaraf tangan untuk menuliskan kata-kata. Kredo kopi melahirkan sejuta inspirasi tampaknya tak berlaku kini.

Dilanda kekeringan ide, saya mengajak pikiran bertualang ke masa lalu. Seperti memutar waktu, memilih lembar demi lembar ingatan untuk ditulis. Karena saya harus menulis. Begitulah doktrin yang saya sugestikan untuk diri sendiri.

Saya bukan seorang penulis, walaupun hari ini mencoba menulis. Didapuk sebagai penulis pemula juga kurang tepat, meskipun pernah menulis. Sebab membuat satu  tulisan saja dalam seminggu sudah tidak bisa. Pernah, tapi itu dulu. Kini menulis terasa berat. Kata guru menulis saya yang  seorang penulis, Mauliah Mulkhin, memulai menulis setelah lama vakum, sulitnya sama seperti mendaki gunung.

Berbeda dengan Emha Ainun Nadjib, yang konon mampu membuat satu tulisan dalam kurun waktu singkat. Entah kenapa saya juga menggunakan kata “konon” dalam tulisan ini. Barangkali cerita teman yang seorang penulis masih tergiang-ngiang. Dia mengisahkan cerita tentang Paulo Coelho, yang juga seorang penulis. Katanya, pernah ia menuliskan kata konon untuk memulai cerita dalam salah satu bukunya, kemudian menceritakan kenapa ia menggunakan kata konon digunakannya. Maka begitulah saya menuliskan kenapa menggunakan kata konon dalam tulisan ini.

Sedikit kisah tentang Paulo dengan salah satu bukunya yang paling laris di dunia, Alchemist. Alfian yang seorag penulis, juga pandai bertutur ternyata. Katanya, Paulo mulai menulis di usia 8 tahun. Ia pernah menjuarai lomba menulis di negaranya, Brazil. Adiknya juga konon pernah menjuarai lomba menulis. Hanya bermodalkan tulisan Paulo yang dibuang di tempat sampah. Naskah itu yang dipungut, lalu diikutsertakan dalam lomba menulis.

Seorang penulis besar, selalu lahir dari banyak penderitaan kata Alfian. Termasuk Paulo. Dua kali ia pernah divonis gila dan dikirm ke rumah sakit jiwa. Padahal, ia tidak gila. Setrum di rumah sakit jiwalah yang membuatnya hampir gila. Singkat cerita, bukunya dilarang diterbitkan di Brazil karena ketika diterbitkan kali pertama, buku itu tidak laris. Ia pun enggan menerbitkan bukunya dan mulai berhenti menulis.

Di balik orang sukses, terdapat perempuan hebat. Begitulah kata pepatah. Tanpa memberitahu Paulo, istri keduanya (Ia bercerai dengan istri pertamanya) mendatangi seorang penulis nomor satu di Brazil. Dia membawa serta buku Paulo untuk dibaca penulis tersebut. Kemudian menyarankan kepada Paulo untuk mengirimkan kepada salah satu penerbit besar. Walhasil, buku Alchemist menjadi buku terlaris di dunia.

Begitula kisah tentang Paulo yang diceritakan Alfian kepada saya di meja makan. Memang sudah berkali-kali ia menyarankan untuk membaca karya Paulo.  Tapi jika Anda percaya konsep jodoh, saya barangkali belum berjodoh dengan novel-novel Paulo.

Masih di selasar indekos, dengan kopi yang sisa setengah gelas. Ide untuk ditulis belum juga menghampiri. Saya ingat, seorang pernah berkata bahwa banyak penulis menelurkan gagasannya dalam kondisi perasaan yang berkecamuk. Menderita. Galau. Bahkan ada yang berharap bisa jatuh cinta, lalu patah hati. Kemudian ia menuliskan kisah cintanya. Melampiaskan kegalauannya. Hingga Membunuh kekasihnya di dalam cerita. Bagi saya yang sedang berusaha belajar menulis, menempuh jalan seperti itu tidak bisa saya lakukan. Sebab saya tidak mampu membunuh orang  tercinta, walaupun dalam sebuah tulisan.

Senja benar-benar telah mati. Langit kini berselimut kegelapan. Sedangkan lembaran microsoft word di gawai masih saja kosong. Hanya terdapat seuntai kalimat tanya, “benarkah menulis hanya tentang mengaksarakan ide, melukiskan perasaan lewat bahasa?” Saya tidak tahu. Saya hanya ingin merasa bahagia setelah menulis.

  • Entah pendengarannya seorang kisanak kurang jelas, atau kata-kata saya tak tangkas, sehingga ajakan saya ke satu hajatan disalah-pahami. Betapa tidak, Gusdurian menghelat haul Gus Dur, dia tangkap sebagai acara makan durian, terlebih lagi bakal minum jus durian. Mungkin kata Gusdurian menjadi biangnya. Apalagi sudah masuk musim durian. Sesarinya, hajatan haul Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid,…

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221