Ketika Partai Politik Menjadi Klub Sepak Bola

 

“Segala sesuatu tentang moralitas dan kewajiban sebagai manusia, aku mendapatkannya dari sepak bola.”  [Albert Camus]

Lagi dan lagi, tentang politik berselaras sepak bola. Tapi bukan politik sepak bola, melainkan sepak bola politik. Persisnya, kesamaan antara partai politik dan klub sepak bola. Saya amat suka menggunakan analogi sepak bola, buat memahami dinamika politik. Kenapa? Karena keduanya adalah sebentuk permainan. Dan, permainan itu sendiri, tiada lain adalah aktivitas paling purba bagi manusia.

Waima saya bukanlah pengamat politik dan komentator sepak bola profesional, melainkan seorang yang suka bermain, maka soal politik dan sepak bola, saya simpaikan saja dalam tali permainan.

Peristiwa politik paling kiwari, tersimpul pada sibuknya partai politik mendaftarkan bakal calon anggota legislatifnya, di berbagai ajang tingkatan. Dari Kabupaten-Kota, provinsi, hingga pusat. Pun, telah tiba pula pada lahirnya perikatan koalisi partai, guna menentukan calon presiden dan wakilnya.

Di belahan permainan lain, perlagaan sepak bola, tepatnya, perguliran liga di berbagai negara, khususnya daratan Eropa, juga sudah ditiup pluitnya. Khususnya Liga Primer Inggris. Jendela transfer pemain, memasuki injuri time. Sekotah klub memaksimalkan timnya. Ada pemain yang bertahan, tidak sedikit yang dijual, dan banyak pula pemain yang dibeli oleh klub. Intinya, bagi sebuah klub sepak bola, tatkala memasuki musim kompetisi, bagaimana mendapatkan pelatih, manejer, ofisial, pemain, dan kesetiaan supporter.

Sejak partai politik mendaftarkan calegnya, ditambah lagi dengan koalisi partai politik mengusung calon presiden dan wakilnya, jagat perpolitikan tanah air benar-benar dinamis. Beberapa nama caleg pindah partai, dan nama-nama caleg yang masih setia pada partainya. Ada yang pergi, ada yang datang, ada pula yang tinggal. Persis sama dengan klub-klub sepak bola di daratan Eropa, yang sibuk menjual, membeli dan mempertahankan pemain.

Pertanyaannya, mengapa sedemikian persamaannya? Sebab, partai politik di kekinian dan kedisinian tak jelas lagi ideologi politiknya. Lebih mengarah kepada kepentingan pragmatis, agar partai lolos ambang batas parlemtary threshold. Sewajahlah dengan klub sepak bola profesional, yang ingin tetap bermain di liga primer masing-masing. Jangan sampai terdegradasi.

Karenanya, sebagai suatu permainan politik dan sepak bola, tidak perlulah terlalu serius dalam menyikapi perlagaan ini. Sebab, partai politik dan klub sepak bola, punya satu tujuan, bagaimana tetap bisa bermain. Partai-partai besar, semirip klub-klub kaya, dengan  segala kekayaan yang dimilikinya, tentulah lebih leluasa menjual, membeli, dan mempertahankan calegnya. Intinya, ada proses transaksi di dalamnya. Laku transaksional, berlaku di permainan politik, seperti halnya di perlagaan sepak bola.

Jadi, tak usahlah heran. Apatah lagi baper.Kaget boleh. Politik kita adalah politik permainan, yang tertuang dalam permainan politik. Dalam konteks ini, perpindahan pemain, atau bergersernya kekuatan koalisi partai bukanlah soal yang harus ditangisi berlebihan. Sebagai partasipan dari permainan, kita boleh terharu, sedih, dan bahagia menyaksikan drama permainan politik dan sepak bola. Karena, kesemuanya adalah sari diri selaku manusia yang kebutuhan dasarnya perlu bermain.

Coba bayamgkan saja, betapa eloknya sebuah drama permainan. Musim kompetisi politik dan sepak bola pada periode ini, seorang pemain harus bermain berhadapan dengan mantan partai atau klubnya. Musim berikutnya, boleh jadi pindah partai atau klub lagi. Demikian juga dengan peta koalisi, musim politik kali ini bersama dalam satu barisan, musim berikutnya bercerai. Lalu mengapa harus begitu serius memandang perlagaan raga itu, sehingga merusak ketenangan jiwa?

Bolehlah dicatat seadanya saja. Semisal dalam satu partai atau klub, beragam latar belakang pemainnya. Agama, suku, ras, dan budayanya. Tak elok mengelu-elukan para pemain itu berdasarkan keragaman itu. Sebab, pada setiap partai atau klub, pastilah ada kesamaan agamanya, rasnya, sukunya, dan budayanya di partai atau klub lain. Mungkin akan lebih elok kita memandang partai dan klub itu, memainkan timnya sehingga bisa jadi juara.

Sebagai anak bangsa yang menekuni gerakan literasi, pegiat literasi, saya terkadang agak risau melihat respon terhadap permainan politik yang sama dengan perlagaan sepak bola. Ketika partai politik menjadi klub sepak bola. Manakala umpatan, cacian, fitnah dijadikan lapik dalam pemenangan permainan.Terjadi perkelahian antar pemain, pelatih yang mengumpat pelatih lain, supporter tawuran. Wasit dicaci, pemain dimaki.  Apa yang terjadi? Permaian sepak bola itu dikenang sebagai permainan yang memalukan. Perhelatan politik dicatat sebagai perseteruan keburukan.

Para caleg dan capres-wapres sudah didaftarkan. Itu maksudnya, sama saja jendela transfer pemain di sepak bola telah ditutup. Segenap partai politik atawa klub sepak bola sisa bertanding. Pada setiap kompetisi, selalu ada drama. Permainan politik dan perlagaan sepak bola punya aturan mainnya. Nikmatilah pertandingan ini dalam koridor aturan main itu. Sebab, bila tidak, akan ada sangsi pertandingan. Lebih dari itu, sangsi yang lebih berat adalah, jika pertandingan ini ditabalkan sebagai pertandingan yang tidak sportif. Meskipun ada pemenangnya.

Benarlah nubuat Albert Camus, seorang penulis-filsuf Perancis kelahiran Aljazair, telah saya nukilkan di awal tulisan ini. Saya mengutipnya, sebab untuk memudahkan mengalami permainan, sebagai tindakan paling purba sebagai manusia. Dalam sepak bola, yang esensinya adalah permainan untuk menang, perkara moralitas dan potret sebagai manusia, lebih mudah dipahami. Sekali lagi dan lagi, manakala partai politik atau klub sepak bola, terlibat kompetisi, pasti bermain. Keduanya adalah permainan, yang mewadahi aktivitas paling purba dari manusia dan kemanusiaannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *