Tulisan ini merupakan naskah awal sebelum dikirim ke situs resensi buku dan ulasan film Karepe.com dengan judul The Motive: Cara Busuk Menjadi Penulis. Ini versi spoilernya.
—
Alvaro, suami dengan istri seorang penulis best seller memutuskan hidup sendiri di flat sederhana di suatu sudut kota Sevilla. Ia mengambil keputusan itu pasca memergoki Amanda (María León), istrinya, bercinta di atas mobil bersama rekan kerjanya. Namun selingkuh hanyalah kedok. Ia minggat karena ingin merealisasikan hasrat terpendamnya: menjadi penulis terkemuka.
Menjadi penulis terkemuka bagi Alvaro dilakukan dengan menciptakan karangan yang ia sebut “sastra tinggi”. Karangan yang ia nilai akan menjadi penanda pencapaian fenomenalnya.
Lantas apa itu “sastra tinggi” dalam imajinasi Alvaro? Apalagi dalam suatu pertengkaran dengan Amanda, tersampir dialog-dialog yang menjurus kepada suatu pengertian mengenai “sastra tinggi” dan yang mana dianggapnya “sastra rendahan”. Anehnya, dari jalan pikiran Alvaro –seperti tersurat dari dialog cekcok mulut mereka– “sastra tinggi” bukan tipe sastra seperti karangan istrinya yang berhasil meraih penghargaan best seller, karangan yang disebutnya pasaran dan melangit-langit.
Dari sudut pandang demikian, jalan pikir Alvaro seolah-olah mendudukkan dirinya sebagai orang yang vis a vis melawan arus sastra maenstream. Setidaknya saat ia menilai pencapaian sastra di negerinya, yang menganugerahkan istrinya sebagai pengarang terbaik sebagai keputusan yang mengada-ngada.
Apabila mencerna isi pengertian sastra menurut Alvaro, mengingatkan saya mengenai perdebatan ideologi kepenulisan sastra di negeri sendiri yang sampai hari ini banyak memengaruhi perkembangan sejarah sastra di tanah air.
Kembali ke ke tokoh kita. Scene awal yang menunjukkan air muka Alvaro begitu serius hingga matanya berkaca-kaca saat mendengarkan kata-kata inspiratif di seminar penulisan, mengisyaratkan betapa tokoh kita ini sangat mencintai dunia tulis menulis. Saking cintanya, di waktu bersamaan, ia rela mengorbankan menghadiri malam penganugerahan kepenulisan istrinya di tempat berbeda.
Namun, setelah ditelepon berkali-kali, datang juga ia di malam penganugerahan. Walaupun demikian, apa lacur, selama kedatangannya, di dalam diri sang tokoh kita ini terpendam hasrat mendalam untuk menjadi penulis hebat. Di dalam pikirannya, penghargaan yang diraih Amanda bukanlah apa-apa.
Dari sisi ini sudah dapat ditebak walaupun tidak punya bakat menulis, Alvaro sosok yang ambisius. Terbukti, selain bekerja sebagai notaris, Alvaro menghabiskan banyak waktunya mengikuti kelas menulis sastra yang dibimbing Profesor Juan (Antonio de la Torre), si guru menulis. Tidak tanggung-tanggung sudah tiga tahun ia mengikuti kelas ini. Di kelas inilah, ia melipatgandakan hasratnya agar dapat melahirkan karya monumental yang dirasanya akan melampaui pencapaian istrinya.
Namun, seperti penyakit purba setiap penulis, Alvaro terserang mental block. Idenya kering seperti raib ditelan obsesinya sendiri. Dia sebenarnya hanya butuh kalimat pembuka sebagaimana penulis-penulis andal memulai karangannya. Tapi apa? Dengan cara apa agar inspirasi ibarat tarikan nafas yang datang berkali-kali dengan ringan? Justru yang terjadi adalah setiap kali ia ingin memulai proyek monumentalnya, yang ada hanyalah layar kosong komputer beserta kesunyian kamarnya.
Untuk mensiasati keadaannya Alvaro mencari segala jenis cara agar dapat menelurkan sebiji ide. Dimulai dengan cara berlari berkeliling di rumahnya sampai mau tidak mau mengikuti saran Profesor Juan dengani trik konyol bin aneh dari Ernest Hemingway: menulis berdiri dalam keadaan telanjang dengan kemaluannya diganjal di atas meja.
Sepertinya, di momen ini Alvaro menunjukkan suatu kenginan besar melakukan revolusi penulisan dari karya yang ia rencanakan. Ia seperti mengafirmasi perkataan Gabriel Garcia Marques penulis One Hundred Years of Solitude: “cara terbaik yang membuat seseorang dapat menjalankan revolusi adalah menulis sebaik yang dapat ia lakukan.” Namun, seperti apakah cara terbaik yang dilakukan Alvaro agar menelurkan karya yang disebutnya “sastra tinggi”?
Nah, di sinilah aturan sederhana yang dari awal dikemukakan berlaku: menulis apa yang dilihat dan apa yang di dengarkan. Dengan rumusan sederhana ini, Alvaro melalukakan cara yang ia anggap paling baik sekaligus paling elementer: mendudukkan pengamatannya sebagai sumber pengetahuan. Ia menjadi seorang penganut filosofi empiris.
Melalui cara itu ia menghidupkan masukkan Profesor Juan agar menjadikan kenyataan sebagai basis karangan. Dalil pernyataan ini didasarkan dari pengakuan gurunya karangan sastra yang unggul mesti mengandung elemen kebenaran. Dengan kata lain, karangan mesti ditimba dari kenyataan yang sebenarnya agar realistis dan seolah-olah memang pernah terjadi. Dengan premis inilah, yang juga dijadikan pernyataan pamungkas Alvaro ketika bersilat lidah dengan istrinya, menjadi tinta semangat karangan novelnya.
Selain menjadi seorang empiris, Alvaro bertindak sekaligus sebagai seorang behavioris dengan memanipulasi kejadian-kejadian di sekitarnya. Di sinilah kepicikan Alvaro sekaligus dikatakan “berbahaya”.
Demi mengembangkan alur ceritanya terutama agar dapat terjadi konflik, ia mendengungkan dan menerapkan bunyi teori perilaku yang ada dalam disiplin psikologi dengan cara mengeksperimenkan jalan hidup tetangganya.
Pertama, ia memanipulasi perilaku dan perasaan Portera (Adelfa Calvo), seorang perempuan paruh baya bertubuh gempal yang miskin kasih sayang dengan mengajaknya bercinta. Melihat bagaimana gelagat dan sikapnya ketika pasca ditiduri, mencatatnya sebagai bahan salah satu karakter novelnya.
Kedua, ia menyusun skenario bersama Portera agar dapat masuk ke kehidupan Montero (Rafael Téllez), seorang pria uzur bekas tentara yang tertutup dan memiliki pistol tua yang ia sembunyikan di berangkas rahasianya.
Ketiga, ia menggunakan keahliannya sebagai seorang notaris untuk pura-pura membantu masalah keuangan Irene (Adriana Paz) dan Enrique (Tenoch Huerta), sepasang suami istri imigran dari Meksiko.
Kepada mereka semualah, di balik kamar apartemennya, Alvaro seperti seekor elang mengawasi seluruh gerak-gerik tetangganya pasca menciptakan motif yang memengaruhi jalan kehidupan tetangganya. Mencatat setiap detil informasi semisal, karakter tetangga-tetangganya, pekerjaan, jenis makanan, posisi berangkas uang si tua Montero hingga masalah percintaan Irene dan Enrique. Dari semesta macam itulah, Alvaro meliuk-liukkan jemarinya menyusun cerita di atas tuts komputernya.
Film yang ikut Festival Film Toronto 2017 dengan judul asli El Autor ini berhasil membawa Javier Gutiérrez dan Adelva Calvo meraih penghargaan aktor terbaik dan aktris pendukung terbaik pada Goya Award 2018, suatu ajang penghargaan film nasional utama di Spanyol. Menurut hemat saya ganjaran yang diraih keduanya cukup sepadan karena akting mereka yang total dan “berani”.
Jadi, jika Anda ingin menjadi penulis dengan cara picik, saya sarankan bergegas menonton film besutan Manuel Martín Cuenca ini. Film ini menyediakan trik busuk sekaligus “berbahaya” ketika Anda kehabisan ide cerita. Rumusnya sederhana: cukup menulis setiap kejadian dari apa saja yang Anda lihat dan dengarkan di sekitar Anda.
Data Film
Sutradara: Manuel Martín Cuenca
Penulis skenario: Manuel Martín Cuenca, Alejandro Hernández
Genre: Komedi, Drama
Pemain: Javier Gutiérrez, María León, Antonio de la Torre, Adriana Paz, Tenoch Huerta, Bald Adelfa, José Carlos Carmona
Durasi: 112 menit
Produksi: Icónica Producciones
Tanggal rilis: 2017
Rating: 6,8/10 (IMDb), 60% (Rotten Tomatoes)
Blogger paruh waktu. Ayah dari Banu El Baqir dan Laeeqa Syanum. Penulis buku Jejak Dunia yang Retak (2012), Kawan Rebahan: Eksistensialisme, Tubuh, dan Covid-19 (2021).