Insan Cendekia dan Kemerdekaan

“Perjuanganku lebih mudah karena hanya mengusir penjajah. Tapi perjuanganmu akan lebih sulit, karena melawan bangsamu sendiri.” (Ir. Soekarno)

Pagi masih muda, dan puluhan anak-anak muda telah memadati sebuah lapangan. Semangat mereka tampak dari geladi resik yang berulang kali dilakukan. Tampil sempurna dalam upacara memperingati proklamasi kemerdekaan adalah tujuan yang hendak dicapai. Tapi bukan sekadar seremoni, melainkan mereka hendak memaknai momentum bersejarah ini. Mereka adalah para pelajar dari sebuah sekolah menengah atas swasta. Seragam sekolah khas kotak-kotak kecil berwarna biru navi bergaris putih membalut tubuh mereka yang polos. Tubuh sehat yang diharapkan kelak akan menorehkan tinta emas bagi bangsa dan negeri ini.

Mereka berbaris rapi seperti serdadu-serdadu terlatih. Para siswi tampil anggun nan cantik dengan balutan jilbab berwarna hitam. Mereka laksana titisan para srikandi-srikandi yang akan melanjutkan perjuangan pendahulunya. Mengangkat martabat perempuan negeri ini, lewat prestasi dan akhlak. Begitulah mereka dididik di sini. Sebab apalah gunanya negeri ini memiliki perempuan dengan deretan gelar kesarjanaan, tetapi bobrok moralitasnya. Fenomena inilah yang dimata KH. Mustafa Bishri disebut fenomena antagonis akhir zaman. Maka lahirlah tutur Gus Mus yang mahsyur, “gelar semakin tinggi, akal sehat semakin rendah”.

Di sisi yang lain, para siswa tampil gagah dan perkasa bukan dengan topi, melainkan dengan kopiah hitam khas Indonesia. Kopiah itu bak mahkota para raja. Kopiah yang sama yang kerap menghiasi kepala Soekarno dan tokoh-tokoh bangsa Indonesia lainnya. Merekalah generasi muda yang kelak akan melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa ini. Hendak dibawa berlayar ke mana kapal bangsa ini, ada di tangan mereka. Karenanya, mereka harus dididik untuk senantiasa jujur. Jujur sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan. Sehingga kejujuran itu mendarah daging dan menyatu dalam setiap kata dan perilaku mereka.

Kenapa kejujuran? Sebab bangsa kita dewasa ini menderita krisis kejujuran. 73 tahun kita merdeka, korupsi pun semakin merajalela. Jadi sudah selayaknya instansi-instansi pendidikan menanamkan nilai-nilai kejujuran dalam setiap muatan pelajaran yang diberikan. Kejujuran, tanggung jawab, dan nilai-nilai luhur lainnya jangan sekadar menjadi penghias RPP semata, tanpa implementasi dan penghayatan. Toh, tiada guna menjadi terdidik tapi nir moralitas. Karena peradaban dan kemajuan negeri ini, hanya bisa dibangun jika putra-putrinya dididik dalam bingkai keimanan dan akhlak nan luhur.

Upacara telah memasuki momen sakral. Pengibaran bendera pusaka. Aku tidak tahu kenapa mau berdiri di sisi lapangan sejajar dengan tiang bendera yang menjulang ke atas laksana menyangga langit. Sikap hormat beserta takzim menyaksikan kain berwarna merah putih itu bergerak perlahan di tiangnya. Seratus pasang mata memandang bangga dan haru saat angin membelai pusaka negeri ini, laksana seorang ibu membelai kepala anaknya. Ia berkibar dengan gagahnya bak sayap garuda yang perkasa.

Suasana hening. Hanya terdengar kicau burung yang merdu senada dengan alunan nyanyian kelompok paduan suara. Lirik-lirik lagu yang diciptakan WR. Supratman entah kenapa, seperti mantra yang setiap dilantunkan mengundang getar di dalam jiwa. Lagu ini selalu membawa kembali rekam jejak perjuangan para pahlawan, dalam mengibarkan sang saka merah putih.

Angin berembus membawa kesejukan dan suasana 73 tahun yang lalu terlintas. Bau anyir darah. Butiran pelor yang berserakan. Mayat-mayat bergelimpangan. Jerit kesakitan. Ledakan mortir. Deru mesin pesawat yang lewat bah pesawat tempur yang lalu lalang kala itu. Semua melintas.

Terik mentari pagi ini membawa kehangatan, sehangat kabar pilu dari Hiroshima yang dibom atom oleh tentara sekutu 6 Agustus 1945 silam. Disusul kemudian duka lara dari Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Samurai biru menyerah kepada sekutu. Peluang inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para pendiri bangsa untuk memproklamirkan kemerdekaan rakyat Indonesia 17 Agustus 1945. Bertempat dikediaman Soekarno di jalan Pengangsaan Timur, teks proklamasi yang diketik  Suyuti Melik dibacakan oleh Soekarno dan Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Suara batuk-batuk seorang peserta upacara, sedikit memecah sunyi. Tapi batuk itu mengingatkan pada sosok manusia berwibawa dan tangguh yang pernah dimiliki negeri ini. Sang Jenderal Sudirman, jiwanya seolah hadir di sisi lapangan. Di sampingnya sang gerilyawan Tan Malaka berdiri dengan tegap. Berturut-turut Syahrir, Ahmad Wahib, Kahar Muzakkar, dan lainnya. Kini aku tahu mengapa mengheningkan cipta kulakukan. Aku tundukkan pandangan menatap tanah tempatku berpijak, sembari merapal doa untuk para syuhada negeri ini.

Selepas upacara ini, serangkaian kegiatan dilaksanakam oleh siswa-siswi guna menyemarakkan HUT RI ke 73. Lomba voli, lomba makan kerupuk, tadarus, dan beberapa cabang lomba yang lain. Persatuan dan silaturahmi menjadi makna yang hendak diraih. Tapi harus diingat bahwa bagi seorang pelajar, sejatinya memperingati hari kemerdekaan ini adalah dengan belajar, belajar, dan belajar!

Boleh jadi hari ini kita tidak lagi dijajah secara fisik. Imperialisme dan kolonialisme tidak lagi menjadi mode. Tetapi bukan berarti perjuangan kita telah berhenti, karena kita telah merasa sampai pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa. Sebagaimana yang dikatakan Soekarno yang ku kutip di awal tulisan, tiadanya penjajah asing menjadi penanda bahwa perjuangan kita semakin berat. Sebab yang akan kita lawan adalah saudara-saudari sebangsa kita.

Tetapi ingat, kemerdekaan adalah keniscayaan. Oleh karena itu, berjuanglah wahai siswa-siswi dengan terus belajar. “Jadilah murid segala sesuatu. Setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru,” begitulah nasihat Roem Topatimasang. Raihlah predikat insan-insan cendekia yang berbudi luhur. Dirgahayu Indonesiaku. Merdeka!!

2 thoughts on “Insan Cendekia dan Kemerdekaan”

Tinggalkan Balasan ke Muhammad Akshan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *