Media sosial telah menciptakan banyak perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan bermasyarakat kita. Dunia nyata yang kita jalani saat ini berangsur-angsur mulai sepi karena semua keriuhannya telah dipindahkan masuk ke dunia maya. Dulu, tempat-tempat berinteraksi kita yang identik dengan keramaian, keriuhan sampai keributan dan gontok-gontokan seperti restoran, pusat perbelanjaan atau bahkan pasar tradisional sekalipun, nampaknya telah sedikit berkurang volumenya. Sebab, pola-pola komunikasi verbal yang umum kita lakukan di tempat-tempat itu terdistorsi oleh pola komunikasi baru ala dunia maya dengan keberagaman chat dan emoticonnya.
Maka tak heran bila sosial media juga memporak-porandakan dunia perdagangan konvensional hingga akhirnya banyak pusat-pusat perbelanjaan dan pertokoan yang dahulu sangat digdaya kini telah kehilangan daya dan mati gaya. Media sosial dan dunia online perlahan membajak semuanya.
Begitu pula dengan kehidupan berdemokrasi. Ditandai dengan dibentuknya Jasmev oleh para fans dan suporter Jokowi pada pilgub Jakarta, akhirnya pola interaksi politik kita memasuki era baru yang lebih sunyi di dunia nyata dan sangat ribut di dunia maya. Pola kampanye konvensional yang meriah kini berangsur pindah ke dunia maya. Artis-artis dangdut ibukota dalam sebuah kampanye bisa saja masih meluap-luap penontonnya, apalagi dengan goyang-goyang kalem mematikan dari Via Vallen, namun baku hantam sebenarnya oleh para tim sukses dan simpatisan lebih memusatkan seluruh daya upaya mereka di media sosial karena jangkauan yang lebih luas dan bahkan mematikan. Kasus Ahok menjadi sebuah pelajaran besar betapa kedigdayaan media sosial dengan semua intriknya mampu menumbangkan popularitas dan elektabilitas luar biasa yang dimiliki Ahok sebelum pilkada.
Namun rupanya, kehidupan berdemokrasi tidak berhenti sampai di masa-masa kampanye saja, pasca kampanye dan pemilihan pun, kehidupan berdemokrasi masih tetap berlanjut pada sisi yang lain. Sosial media pada sisi lain dari demokrasi kita telah menjelma menjadi sebenar-benarnya social control. Kita telah menyaksikan banyaknya fungsi-fungsi pengawasan dan bahkan penghukuman yang diberikan terhadap aksi kesewenang-wenangan para penyelenggara negara melalui jalan “viral” pada media sosial.
Memviralkan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh para oknum penyelenggara negara menjadi sebuah solusi yang dipandang efektif oleh para masyarakat mengingat betapa membosankan dan berlikunya sistem hukum normatif yang ada. Viral ini serupa senjata pemusnah massal tipe baru, bila kita sudah disasar, maka dia akan memusnahkan semua kehormatan dan harga diri kita pribadi bahkan keluarga dan teman tedekat kita secara massal. Sungguh mematikan.
Setali tiga uang, kita juga kerapkali menemukan bahwa keterlibatan masyarakat dalam memberikan sanksi moral melalui media sosial bagi mereka para penyalahguna kekuasaan biasanya akan bertransformasi menjadi speed booster bagi sistem hukum yang biasanya berjalan sangat pelan bila ditempuh dengan jalan “manual”. Banyak kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan yang dibuat viral akhirnya ditindak secara “kencang” juga oleh sistem hukum yang ada karena media sosial telah mengarahkan jutaan pasang mata sebagai pengawas dan penghukum terhadap potensi kongkalikong di dalamnya. Penindakan hukum ala odong-odong langsung berubah drastis sekencang Jet Sukhoi.
Maka tak berlebihan bila kita menyebut bahwa ada banyak esensi demokrasi yang kini berpindah ke media sosial, karena nyatanya pengawasan masyarakat dalam penyelenggaraan negara malah semakin menggeliat dan menemukan performa terbaiknya melalui media sosial. Karena bukankah demokrasi itu sendiri adalah serapan dari bahasa yunani yang berarti Demos (Rakyat) dan Kratos (Kekuatan, Pemerintahan, Kekuasaan), dan hanya di media sosial lah kemudian hakikat Demos dan Kratos ini terwujudkan. Hanya di era media sosial inilah para masyarakat yang menjelma menjadi warganet menemukan peran langsung dalam mengawasi atau bahkan menghukumi hak hidup dan hak keadilannya yang di nodai oleh para penyelenggara negara yang tak amanah.
Maka dari itu kita mesti sadar betul bahwa keberadaan sosial media saat ini adalah sebuah penanda dari babak kehidupan berdemokrasi yang baru, kita tidak punya pilihan selain maju ke depan dan menghadapi era baru ini, berlepas dari banyaknya kekurangan seperti potensi Hoax, Cyberbullying, Ketidakberimbangan berita dan akses-akses negatif lainnya, namun nyatanya media sosial ini juga berpeluang menjadi instrumen berdemokrasi yang Out of The Box dan berdampak signifikan.
Kita hanya perlu menyelesaikan pekerjaan rumah yang tersisa dalam meminimalisir semua penyimpangan. Kita mungkin belum punya formula pasti dan masih setengah jalan dalam mengurangi penyimpangan di media sosial, namun kita pun juga tidak memiliki jalan kembali. Kita tetap harus maju, menerima semua resiko yang ada dan mencoba meramu sebaik mungkin potensi sosial media sebagai instrumen berdemokrasi yang baru.