Merayakan Makna Kemerdekaan dalam Bayang-bayang Penggusuran

“Apakah kamu masih percaya negara?” seorang teman bertanya dengan serius.

“Apakah kita masih bisa mengatakan merdeka jika kemiskinan dan ketidakadilan masih nyata dilihat di depan mata?” lanjut bertanya kembali”

“Ah, sudah mi, pertanyaannmu tidak penting,” jawabku dengan santai

Seriuska ini bertanya cika’,” menatapku dengan tatapan tajam.

“Oke begini, bersama dengan warga Tallo, kami berencana akan mendirikan negara; Republik Rakyat Tallo (RRT) dan menjalin kerjasama serius dengan Negara Cina,” balasku dengan canda.

***

Malam itu hujan puisi berjatuhan di Pantai Marbo Tallo. Pak Ardi salah seorang Ketua RT juga turut membacakan puisi dan setelah itu diikuti secara bergantian oleh anak-anak muda setempat. Hanya bermodalkan pinjaman gitar akustik dan sound system dari salah satu organisasi UKM mahasiswa di kampus dan dengan pencahayaan lampu yang seadanya, bale-bale itu seketika menjadi panggung pertunjukan bagi para pencinta puisi.

Warga sedang merayakan ritus kemerdekaan dengan mengadakan lomba baca puisi khusus untuk anak-anak di Kampung Manggarabombang, Kelurahan Tallo tetapi ternyata di luar dugaan, sekitar ratusan warga yang hadir malam itu betul-betul menikmati setiap bait-bait puisi yang dibacakan.

Yasid, salah seorang anak yang mengikuti lomba baca puisi malam itu, membuat suasana menjadi hening dan membuat para pendengarnya larut terbawa emosi dengan puisi berjudul “Ibu” yang dibacakannya penuh penghayatan. Puisi bukan hanya milik dari yang menulis dan membaca puisi, puisi adalah bahasa perasaan, menjadi milik baginya yang menjadikan rasa sebagai jembatan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Puisi pun bisa menjadi hidup, penuh khidmat di tempat-tempat yang diklaim sebagai kawasan kumuh, ilegal, dan latar ekonomi warganya kebanyakan berkutat dalam kemiskinan.

Merayakan ritus kemerdekaan di pesisir Tallo merupakan tahun kedua bagi saya dan teman-teman Komunitas Ruang Abstrak Literasi. Itu artinya pula kami sudah memasuki tahun kedua mengambil peran dalam gerakan literasi di pesisir Tallo dengan segala dinamikanya yang membuat kami tetap bertahan hingga saat ini.

Tahun ini juga, perayaan kemerdekaan dengan berbagai macam lomba mulai dari olahraga, seni dan permainan tradisional dilaksanakan di dua kampung, yakni Kampung Manggarabombang dan Kampung Gampancayya, Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo.

Tidak banyak waktu untuk mempersiapkan semua hal, mulai dari konsep perayaan hingga teknis persiapan lomba. Tetapi warga terkhusus anak-anak muda di Tallo terlihat begitu kompak dan bersemangat untuk melibatkan dirinya menyukseskan ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-73.Dua minggu sebelum perlombaan dimulai, kepanitiaan bersama terbentuk dengan melibatkan tokoh-tokoh warga setempat, anak-anak muda dan komunitas.

Tahun ini juga kami bersyukur, Komunitas Mata Kita Sul-Sel dan Agen Obat Manjur KPK (Komisi Pemberantasan Anti Korupsi) dan beberapa relawan mahasiswa dari beberapa kampus di Kota Makassar juga ikut berpartisipasi, merayakan bersama kemerdekaan selama kurang lebih satu minggu dengan warga pesisir Tallo.

Di pesisir Tallo kita mencoba merayakan makna ritus kemerdekaan di tempat yang sesungguhnya belum sepenuhnya dapat dikatakan merdeka jika tolak ukurnya adalah terpenuhinya hak-hak dasar sebagai warga negara, seperti hak atas tempat tinggal kesehatan, pendidikan, pekerjaan, kesejahteraan dan lain-lain. Secara kasat mata kita bisa melihat langsung kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh warga pesisir Tallo, salah satu contoh kasus adalah warga kesulitan mendapatkan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari.

Banyak warga yang mengeluh karena mereka harus mengeluarkan biaya setiap bulan kisaran Rp. 300 ribu hingga Rp. 600 ribu untuk membeli air di pedagang air dengan harga Rp. 3.000 per gerobak dengan isi 12 jergen dengan kebutuhan air setiap harinya 3 sampai 5 gerobak.

Belum lagi ketika menyinggung soal tangkapan hasil laut nelayan yang semakin menurun akibat dari limbah industri yang dibuang oleh perusahaan di muara Sungai Tallo dan proyek rakus reklamasi yang semakin luas sehingga daerah tangkapan ikan juga semakin terbatas. Oleh Pemerintah Kota Makassar, pesisir Tallo pun mendapat klaim sebagai kawasan kumuh dan identik dengan kemiskinan yang tentu membutuhkan sentuhan program penataan versi pemerintah.

Melalui program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh) yang merupakan proyek pemerintah pusat atau dikenal dengan sebutan National Slum Upgrading Project, Kota Makassar menjadi salah satu kota dari 269 Kota di Indonesia yang melaksanakan program ini.

Program KOTAKU sekilas merupakan program yang akan bermanfaat karena akan menata kawasan pemukiman yang dianggap kumuh dengan model pendampingan sosial ekonomi untuk keberlanjutan penghidupan warga yang telah tinggal di pemukiman tersebut. Kelurahan Tallo dan Kelurahan Buloa adalah dua kelurahan di Kecamatan Tallo yang dipilih sebagai lokasi prioritas program KOTAKU.

Tetapi fakta lain dari hasil riset yang diterbitkan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) Sulawesi Selatan bersama dengan Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur pada Oktober 2017, mengungkap bahwa program KOTAKU perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Selain karena pembiayaan proyek dari utang Bank Dunia dan Asian Infrastruktur Investment Bank (AIIB) yang akan menambah beban negara, proyek ini juga tidak melibatkan langsung warga yang terkena dampak, mulai dari perencanaan awal dan sosialisasi terbuka.

Sehingga warga menganggap bahwa program KOTAKU justru akan menggusur mereka dari tempat tinggalnya dan berpotensi menghilangkan hak warga atas pekerjaan sertalingkungan yang rusak karena reklamasi. Kesimpulannya bahwa program KOTAKU adalah upaya tersistematis untuk mengusir orang miskin di perkotaan dengan mengesampingkan hak asasi sebagai manusia dan sebagai warga negara.

Merdeka bagi warga pesisir Tallo adalah ketika mereka merayakan ritus kemerdekaan dengan tertawa bahagia, terlibat dalam setiap lomba-lomba yang dipertandingkan atau sekedar meramaikan diri menjadi penonton. Setelah semuanya selesai, mereka akan kembali semula pada suatu kondisi yang sesungguhnya belum merdeka dengan terus bertahan dari kerasnya arus kehidupan yang tidak adil.

Bagi saya ruang untuk memaknai bahwa kemerdekaan bukan hanya tentang simbol-simbol nasionalisme tetapi turut menciptakaan rasa merdeka di tempat yang belum sepenuhnya merdeka dari bayang-bayang penggusuran. Untuk itu saya belajar banyak hal pada warga pesisir di Tallo bagaimana menjadi merdeka dengan cara sederhana.

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…

  • —mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221