Imunisasi Campak dan Rubella, atau Measles-Rubella (MR) menjadi perbincangan hangat mengarah brutal. Kegiatan imunisasi ini memunculkan protes dari berbagai lapisan masyarakat hingga institusi pendidikan tertentu yang menolak untuk melakukan imunisasi. Kelompok masyarakat yang oleh para warganet diberi gelar kelompok antivaksin ini kerapkali menyandarkan argumen utama mereka terhadap dua hal, yakni aspek teologis dan aspek kasus tertentu yang menunjukkan jatuhnya korban akibat imunisasi.
Alasan pertama yakni karena dasar agama. Dalam hal ini, memang kita tidak bisa abai terhaap kebutuhan masyarakat mengenai kepastian status kehalalan dari vaksin tersebut, meski pada dasarnya hal ini hanyalah sebuah persoalan administrasi dan sebuah perbedaan pandangan mahdzab tentang keharaman sebuah benda yang menekankan pada beberapa teori fiqh. Seperti pada teori Istihalah, teori ini meninjau status keharaman benda pada perubahan zat, seperti minuman keras Wine yang telah berubah menjadi cuka, maka hukumnya halal untuk dikonsumsi.
Pada pendapat yang lain, dikenal juga teori fiqh yakni Istihlak, yakni berubahnya status keharaman sebuah benda yang haram atau najis bercampur dengan zat lain yang halal dengan jumlah yang lebih banyak seperti bangkai yang tenggelam di laut yang saat air lautnya berubah menjadi garam, maka garamnya tetap halal.
Pada kasus fatwa MUI ini, karena negara kita yang mayoritas bermahdzab Syafi’i, maka ulama-ulama kita cenderung ketat dan tetap memandang keharaman vaksin karena meskipun hasil Uji Labkesda tidak menunjukkan adanya kandungan babi, tapi pada saat proses pembuatannya masih tetap bersentuhan dengan unsur babi. Hal ini nampak berbeda dari negara-negara lain yang telah jauh-jauh hari menghalalkan vaksin MR karena pemahaman mahdzab dan penggunaan teori fiqh mereka yang sedikit berbeda dari kita.
Jadi pada sisi teologis,keharaman vaksin ini nyatanya bukanlah keharaman mutlak seperti pada daging babi atau minuman keras melainkan hanyalah sebuah perbedaan pandangan dan mahdzab yang sejatinya sangat debatable. Namun berlepas dari keharaman itu, toh MUI juga telah menghukumi imunisasi ini dengan mubah dikarenakan unsur darurat sehingga boleh digunakan oleh masyarakat.
Yang menjadi pertanyaan, setelah MUI membolehkan imunisasi dengan melihat aspek kedaruratan, rupanya kalangan antivaksin bergeming. Hal ini bisa dilihat dari masih maraknya diskusi di dunia maya oleh mereka yang masih tetap enggan untuk mengimunisasi anaknya dan tetap memilih bertahan dengan pendapatnya yang nyatanya merupakan hasil dari copas kasus-kasus tertentu yang sangat kasuistik.
Sebut saja kasus anak yang meninggal pada tahun 2017 setelah diimunisasi yang kini kembali diangkat dan dijadikan pembenaran untuk mengugurkan kesuksesan jutaan imunisasi yang telah dilakukan sebelumnya.Kasus yang minim data dan pembuktian ilmiah ini dijadikan pembanding terhadap ratusan juta kesuksesan imunisasi yang telah dilaksanakan sejak berpuluh tahun yang lalu.
Kita tentunya tidak bisa menafikan beberapa kasus efek samping dari imunisasi ini yang nyatanya memang terjadi di sekitar kita. Maka di sinilah pemerintah semestinya bergerak cepat untuk melaksanakan penyelidikan menyeluruh mengenai kasus efek samping ini dan sesegera mungkin menyebarluaskan hasil dari penyelidikan ini agar kekhawatiran para orangtua tidak semakin menjadi-jadi dan tidak dijadikan bahan provokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Namun berlepas dari kesemua hal di atas, pemerintah sudah harus bergerak memetakan dan mendata tingkat keberhasilan atau bahkan tingkat kegagalan imunisasi di semua daerah, karena bila program imunisasi ini gagal, maka kedepan boleh jadi ada sebuah masalah besar yang mengintai seluruh anak-anak kita. Karena sebagaimana arahan dari Kementrian Kesehatan, bahwa imunisasi MR harus bisa diterapkan pada lebih dari 90% objek imunisasi (Kelompok anak usia 9 Bulan hingga 15 tahun) di sebuah area atau daerah tertentu.
Karena dengan memenuhi target >90% maka kita akan menciptakan lingkungan yang kebal terhadap virus Rubella diakibatkan kesempatan berkembang biak bagi virus ini telah ditutupi oleh 90% populasi yang telah diimunisasi. Hasil dari imunisasi kita berpuluh tahun yang lalu ini jugalah yang sampai sekarang menciptakan kekebalan atau imunitas kolektif sehingga penyakit-penyait mengerikan yang dulu sempat mewabah kini tidak terdengar lagi dan berkurang secara sangat drastis. Hal inilah yang kdang menjadi kesalahpahaman dan dijadikan argumen oleh para orang tua yang merasa tidak pernah di imunisasi namun masih merasa sehat-sehat saja bersama anak-anak mereka.
Kesemua kesalahpahaman di ataslah yang akhirnya mendorong semakin meningkatnya kalangan antivaksin beberapa tahun belakangan ini. Kita dapat menyimak fenomena ini melalui banyaknya drama-drama penolakan imunisasi yang bahkan disuarakan bukan saja oleh orang tua melainkan oleh pihak sekolah sendiri. Maka sepatutnyalah menjadi kekhawatiran, bahwa hal ini merupakan indikator kemungkinan adanya daerah-daerah atau area tertentu yang tidak memenuhi target >90% imunisasi dan berpeluang menghambat terciptanya kekebalan kolektif di masa depan.
Kita mesti banyak belajar dari kasus seorang dokter pencernaan asal Inggris, Andrew Wakefield yang pada tahun 1998 menerbitkan sebuah jurnal kesehatan di The Lancet,sebuah jurnal kedokteran ternama dan prestisius di mana ia memaparkan bahwa hasil risetnya terhadap 12 orang anak menunjukkan gangguan perkembangan yang tidak wajar setelah diimunisasi Cacar, Gondok dan Rubella (MMR).
Namun pada tahun 2000, The Lancet menarik tulisan Wakefield karena terindikasi memiliki data yang fiktif dan terungkapnya skandal penyuapan kepada dirinya utuk menguatkan pendapat seorang pengacara yang tengah berkasus dengan perusahaan produsen vaksin MMR saat itu. Namun apa daya, hasil penelitiannya ini telah terlanjur dimakan mentah oleh banyak kalangan antivaksin di Inggris dan Amerika, dan hasilnya, Amerika yang pada tahun 2000 telah mendeklarasikan negaranya telah bebas dari Cacar, kini pada tahun 2017 malah harus mendapati 2.216 warganya kini terinfeksi cacar.
Ilustrasi: https://www.suara.com/health/2018/08/21/180031/