Jika Anda hendak membantu orang lain. Pernahkah Anda bersikap cuek? Mungkin Anda merasa secara pribadi tidak berkewajiban menolong orang lain. Pada level sosial tertentu, Anda merasa korban tidak terikat secara kebudayaan dengan Anda. Atau karena dia bukan penganut agama yang sama dengan Anda. Di antara miliaran orang di muka bumi ini, saya yakin ada yang bersikap demikian.
Namun kita tahu, persoalan etika kemanusiaan tidak sesederhana itu. Sejahat-jahatnya manusia, setidaknya minimal dalam sekali pernah melakukan perbuatan baik pada orang lain. Saya saja merasa bukan seorang hero yang kerap berperan di film Hollywood. Tapi sesekali muncul suatu perasaan untuk membantu orang lain. Bahkan, pada suatu peristiwa tertentu, saya kerap merasa bertanggung jawab atas hidup orang lain. Entah mengapa.
Misalnya di suatu hari, ketika saya bertemu korban kecelakaan. Seketika saja timbul rasa tanggung jawab saya kepada sang korban. Dan akan merasa bersalah jika tidak memberikan pertolongan. Perasaan itu hadir begitu saja saat setelah terjadi perjumpaan dengan sang korban. Perasaan itu membebaniku secara psikologis, karena saya diringkus dalam sebuah pilihan: meruntuhkan sejenak egoku dan menolog orang itu atau abai saja. Waktu itu saya memilih memberi pertolongan, bersama pejalan lainnya.
Mungkin Anda juga pernah merasakan hal yang sama dengan saya. Anda pasti pernah terlibat dalam momen-momen etis tatkala melihat orang lain sedang kesusahan. Meski sepercik saja, timbul rasa tanggung jawab yang mencoba membujuk, mendorong Anda untuk melakukan sesuatu. Terlepas dari apakah Anda bergegas menolong atau tidak.
Manusia sejatinya adalah keterbelahan antara yang etis dan yang egois. Pada momen tertentu, perjumpaan etis bisa terjadi dalam relasi sang Aku (subjek) dengan Yang Lain. Hanya saja, manusia terkerangkeng oleh egonya sendiri. Sehingga membuatnya merasa tidak perlu bertanggung jawab pada Yang Lain. Aku hanya bertanggung jawab pada diriku sendiri. Aku hanya bertanggung jawab pada keluarga, dan sesama muslim. Seorang penganut Syiah yang dipersekusi akan sulit mendapat simpati pada para pembencinya. Sebab ego pembenci Syiah merasa tidak bertanggung jawab pada kaum yang dianggapnya sesat.
Tapi, bukan berarti selamanya pembenci Syiah bersikap demikian. Kuncinya sekali lagi ada pada rasa tanggung jawab yang selalu saja datang tiba-tiba dalam perjumpaan sang Aku dengan Yang Lain. Jika seorang anti Syiah merasa punya tanggung jawab antar sesama manusia, melebihi sekat-sekat perbedaan, bukan tak mungkin dia bersedia mengulurkan bantuannya jika melihat seorang penganut Syiah sedang dalam kesusahan.
Hal ini unik sebenarnya. Hingga munculkan pertanyaan, mengapa perasaan tanggung jawab bisa muncul tiba-tiba dalam relasi sang Aku dengan orang lain? Padahal diketahui, seseorang selalu adalah Yang Lain dalam kerangka pemikiran subjek. Dengan segenap keberlainannya, sang Aku bisa saja merasa tidak bertanggung jawab atas nyawa, keselamatan dan beban sosial orang lain.
Sekitar 50 tahun yang lalu, filsuf Perancis Kontemporer, Emmanuel Levinas memperkenalkan konsep “Wajah” (Face – Le visage) untuk mengemukakan pemikirannya mengenai kemungkinan-kemungkinan terjadinya perjumpaan etis sang Aku dengan Yang Lain. Jawaban atas pertanyaan di atas bisa kita lacak pada diskursus etika filsuf Yahudi itu.
Levinas mengatakan, dalam relasi sang Aku dengan Yang Lain, Wajah muncul melalui momen epifani: hadir tiba-tiba dan menyapa sang Aku. Perjumpaan sang Aku dengan Wajah Yang Lain membuatnya tersandera, terpanggil untuk memberikan sesuatu pada Yang Lain. “The face opens the primordial discourse whose first word is obligation which no ‘interiority’ permit avoiding,” demikian tulis Levinas dalam bukunya yang terkenal, Totality and Infinity. Kewajiban itu menjelma dalam bentuk tanggung jawab yang tak bisa dihindari oleh sang Aku.
Konsep Wajah Levinasian ini tidak dipahami sebagai wajah biologis atau fisik. Wajah yang dimaksud adalah Wajah yang tak terlihat, tak dapat disentuh. Namun, kehadirannya dapat dihayati sang Aku hingga mendorongnya untuk bertanggung jawab terhadap Wajah itu. Untuk itulah Levinas mandang Wajah tak mungkin diabstraksikan atau dirumuskan dalam kerangka pemahaman apapun.
Masih dalam Totality and Infinity Levinas menyebut,”….the face is present in its refusal to be contained.” Pada kesempatan lain Levinas juga menyebut wajah sebagai suatu infinity (tak berhingga), transenden, dan suatu alteritas yang tak bisa direduksi dalam totalitas. Sifat Wajah ini adalah implikasi ontologis darinya yang tak terjamah. Hanya melalui relasi langsung yang bersifat etis, Wajah itu bisa menampakkan diri di hadapan sang Aku. Karena Wajah mustahil direngkuh oleh persepsi, maka Wajah hanya bisa dijumpai pada level pra reflektif.
Melalui perjumpaan itu, Wajah menyapa dan memanggil subjek untuk menemuinya: Wajah itu seperti takut ditinggalkan sendirian. Dalam suatu keadaan tertentu, mungkin Anda pernah merasakan adanya sebuah bisikan. Semacam sebuah perintah “tolong aku”, “lindungi saya”, di kedalaman perasaan Anda ketika berjumpa orang lain yang sedang menanggung kesulitan. Merujuk pada Levinas, itu adalah keadaan pra reflektif saat terjadinya perjumpaan sang Aku dengan Wajah.
Sapaan yang dilakukan Wajah mendorong sang Aku tiba-tiba sadar akan tanggung jawabnya di hadapan Yang Lain bahkan sebelum ia melakukan identifikasi, refleksi, persepsi, atau komunikasi terhadap Yang Lain. Implikasi yang lebih kongkret, Wajah Yang Lain meruntuhkan egoisme sang Aku dalam suatu relasi etis. Menjadikannya siap menerima orang lain dengan segala keberlainan dan perbedaannya melalui rasa tanggung jawab.
Keadaan bertanggung jawab ini yang menjadi titik mula ego sang Aku keluar mengambil tindakan demi Yang Lain. Levinas menyebutnya sebagai keadaan eksterioritas. Dalam tafsiran bebas saya, eksterioritas dapat terjadi hanya jika hasil refleksi subjek terhadap pengalaman pra reflektif itu membuatnya memutuskan mengambil tindakan. Karena sesungguhnya kesadaran akan tanggung jawab itu menjebak subjek pada dilema yang begitu tragis: bertindak atau diam saja melihat penderitaan Yang Lain.
Maka jangan heran jika banyak orang yang rela berkorban untuk orang lain. Tulus dan tanpa pamrih. Levinas menyebutnya hubungan yang asimetris. Karena orang-orang seperti itu berhasil menerjemahkan secara kongkret panggilan Wajah Yang Lain untuk bertanggung jawab atasnya. Tanpa peduli dia anak siapa, dari suku mana, penganut agama dan mazhab apa, ego orang baik ini sudah siap memihak pada Yang Lain dengan segala keberlainannya.
Syahdan, setiap orang sebenarnya pernah merasakan momen etis, hingga membuatnya merasa bertanggung jawab atas Yang Lain. Di sinilah kualitas kemanusiaan kita diuji. Apakah memilih menjumpai secara kongkrit Yang Lain, atau tetap membiarkan ego berada dalam interioritasnya sendiri. Pada konteks ini, diri kita sendiri adalah ujian untuk ego kita. Karena teman terbaik sekaligus musuh berbahaya adalah diri kita sendiri.
Jika diperluas jangkauannya, etika Levinasian bisa menjadi jembatan bagi pikiran dalam memandang pluralitas antar sesama manusia. “Metafisika Wajah” Levinasian ini—tanpa bermaksud mempersempit jangkauan teoritiknya—bisa menjadi pendasaran bagi kajian muktikulturalisme. Saat Indonesia sedang diterjang politik identitas dan fenomena intoleransi, etika Levinasian bisa menjadi tawaran alternatif untuk memperkaya khazanah pluralisme.
Sumber gambar: crispme.com
Praktisi media. Peminat ilmu sosial-kemanusiaan. Ketua Komisi Intelektual dan Peradaban PB HMI MPO