Pada tahun 1995, di daerah bagian selatan Prefektur Hyogo, Kobe, Jepang, gempa bumi berkekuatan 6,9 skala richter mengguncang selama 20 detik dan menghasilkan 6.434 korban tewas. Gempa ini melakukan dua hal pada warga Jepang. Melakukan pukulan mematikan namun di satu sisi melakukan belaian kasih sayang untuk menyadarkan pemerintah jepang bahwa gempa bumi nyatanya harus diterima sebagai bagian kehidupan dari mereka yang berdiam di daerah-derah pertemuan lempeng tektonik.
Berkaca dari kasus gempa inilah, akhirnya jepang melakukan evaluasi besar-besaran dalam hal program pendidikan mitigasi bencana dan pengawasan bangunan tahan gempa yang diberlakukan secara nasional, merata dan tegas.
Kembali ke nagara kita, Indonesia. Semoga kita tidak lupa, bahwa nyatanya terhitung sejak tahun 2004, kita telah melalui 3 kasus gempa bumi yang sangat besar, destruktif dan sungguh mematikan. Pada tahun 2004, Gempa Aceh yang berkekuatan 9,3 skala richter diikuti oleh tsunami setinggi puluhan meter telah menghasilkan kerusakan yang teramat parah hingga menelan 283.106 korban jiwa.
Setahun kemudian, pada maret 2005, gempa berkekuatan 8,6 skala richter kembali mengguncang Sumatera, tepatnya di Pulau Nias, Sumatera Utara. Meski tidak berdampak tsunami, gempa ini tetap berujung mematikan karena menelan hingga 1.346 korban jiwa. Lagi-lagi, setahun kemudian, pada tahun 2006, gempa bumi kembali menimpa salah satu daerah padat di Indonesia, yakni Yogyakarta. Meski hanya berkekuatan 6,2 skala richter, namun karena kepadatan pemukiman dan rapuhnya sistem bangunan warga, alhasil tercatat 6.234 warga harus meregang nyawa dibawah reruntuhan bangunan mereka sendiri.
Dan terakhir pada 5 Agustus 2018, gempa sebesar 5,1 skala richter mengguncang Lombok dan disusul kembali dengan gempa yang lebih besar yakni 7 skala richter pada 19 gustus 2018. BNPB melansir korban jiwa pada gempa lombok ini mencapai 515 orang dan korban luka 7.145 orang, belum lagi dengan rusaknya infrastruktur berupa rumah warga yang mencapai 73.843 unit. Sungguh semua kejadian di atas sangat miris bila hanya berakhir pada sebuah catatan buku dan file-file saja. Berakhir tak lebih dari sebuah bacaan “ringan”.
Semua kejadian gempa bumi di atas sudah sepatutnya menjadi bahan evaluasi bersama, bahwa kejadian gempa meski tidak menghasilkan tsunami, nyatanya masih mampu menelan ribuan korban jiwa akibat tertimpa reruntuhan bangunan. Maka patut kita mencermati, bahwa dengan diakhirinya status tanggap darurat di Lombok dan diganti dengan masa pemulihan dan rehabilitasi bangunan, nyatanya kita semua masih terjebak pada persoalan-persoalan yang meskipun substantif namun hanya berlaku dalam jangka waktu yang pendek. Semestinya, di lain sisi, pemerintah juga harus mulai memaksimalkan konsep-konsep pembangunan jangka panjang yang berwawasan bencana.
Sebagai sebuah perbandingan, mari kita bersama-sama melihat perda mengenai ketentuan pembangunan gedung ataupun perumahan yang sebagian besarnya masih menerapkan aturan-aturan lama mengenai kebencanaan yang hanya fokus pada peraturan mengenai rekomendasi Peil Banjir atau surat keterangan bebas banjir saja. Kita belum menemukan masifnya upaya pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam menerbitkan Perda terkait ketentuan pembangunan bangunan yang harus tahan gempa. Direktur Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum, Imam S. Ernawi mengugkapkan bahwa menurut catatannya baru 30% kabupaten/kota yang memiliki Perda terkait tata cara perencanaan bangunan tahan gempa.
Dilain sisi,. Minimnya pembangunan bangunan tahan gempa selain disebabkan oleh landasan hukum yang masih kurang dan tidak mengikat, juga disebabkan karena terbatasnya sumber daya manusia di bidang bangunan tahan gempa. Kalaupun ada, aksesnya sangat sulit dan biaya konsultannya cenderung lebih mahal dibandingan pendirian bangunan konvensional.
Kita harus mengingat bahwa kita mempunyai puluhan ribu kuota beasiswa melalui LPDP, Bappenas, BUMN serta donatur luar negeri setiap tahunnya yang bila ditetapkan 10% saja dari total seluruh kuota ini khusus untuk merekrut para Fresh Graduate Tekhnik Arsitektur, Tekhnik sipil dan jurusan lain dengan disiplin ilmu yang sama, maka beberapa tahun kedepan kita sudah mampu menghasilkan ratusan bahkan ribuan ahli bangunan tahan gempa yang bisa kita sebar ke seluruh Indonesia dan memulai program pembangunan kita yang baru yang lebih berwawasan bencana.
Yang terakhir, para pelaku pasar, khususnya pemerintah dan para kontraktor perumahan dan gedung, semestinya melaksanakan inovasi konsep pembangunan dan marketing yang lebih memfokuskan pada produk-produk gedung dan perumahan yang berwawasan bencana. Bila dimanfaatkan dengan baik, ada potensi keuntungan besar yang menanti mereka jika mau menerapkan konsep bangunan berwawasan bencana khususnya bangunan yang tahan gempa. Ada puluhan juta konsumen khususnya di sepanjang pesisir sumatra, Jawa, Nusa Tenggara hingga Maluku yang merupakan daerah rawan gempa yang pasti akan sangat antusias untuk memiliki hunian tersebut.
Terakhir, kesemua solusi diatas, baik itu peenyediaan SDM yang mumpuni terkait bangunan tahan gempa, penguatan dasar hukum khususnya Perda dan pengubahan konsep pasar mengenai bangunangedung dan perumahan yang berkualitas hendaknya harus dijalankan bersama-sama dan terhubung satu sama lain agar hasil yang kita dapatkan kelak bisa maksimal dan merata, sehingga di masa depan kita telah memiliki Blue Print mengenai konsep pembangunan yang lebih arif dan berwaawasan bencana.
Pria kelahiran Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan ini adalah alumnus dari UIN Alauddin Makassar jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Saat ini salah satu kesibukan utamanya adalah sebagai ASN di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bantaeng. Juga sebagai Direktur Ranu Prima College cabang Bantaeng dan inisiator Ikatan Guru Indonesia ( IGI ).Bantaeng. Dan, bergiat di komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng. Telah menerbitkan buku Sawah dan Kebun Kurma di Tengah Laut (2019) dan Mengikat Rindu di Ranting Rapuh (2019).